96 Tahun Sumpah Pemuda: Bangga Bertanah Air, Malas Berjuang?

TIMESINDONESIA, PACITAN – Hari-hari ini, kita kembali pada nostalgia Sumpah Pemuda. Setiap Oktober, masyarakat berbondong-bondong mengenang peristiwa monumental itu: janji pemuda dari seluruh penjuru Nusantara untuk bersatu dalam semangat dan cita-cita. Tapi apa artinya semua ini sekarang?
Sebanyak 96 tahun telah berlalu sejak janji itu diikrarkan, dan tampaknya masih banyak yang tak beranjak dari buaian mimpi masa lalu, sementara kenyataan terus melangkah di depan mata.
Advertisement
Di satu sisi, kita punya prestasi, sejarah perjuangan yang dibanggakan. Berkat Sumpah Pemuda, negeri ini tumbuh, merdeka, berdiri di atas kakinya sendiri. Namun, di sisi lain, entah sudah berapa generasi pemuda yang hanya berleha-leha menikmati kenangan indah ini tanpa upaya berarti untuk melanjutkan perjuangan yang pernah mereka warisi.
Mereka hidup dalam bayangan masa lalu yang jaya. Namun lupa bahwa kejayaan bukanlah warisan tetap yang bisa diwarisi turun-temurun. Ia menuntut usaha, bahkan pengorbanan, untuk tetap lestari.
Terlena dalam Mimpi
Banyak yang kini menyebut dirinya “pemuda Indonesia”, padahal hidupnya tak lebih dari sosok penikmat nostalgia. Seolah cukup dengan membawa kenangan itu, mereka merasa telah ikut menyumbang dalam perjuangan. Padahal, realitas di sekeliling mereka berbicara lain.
Pemuda yang dulu gigih, bekerja keras, membangun tanah air dengan tetes keringat dan darah, kini terjebak dalam halusinasi akan masa lampau. Mereka hidup dalam cerita masa lalu yang agung, sementara mereka sendiri tenggelam dalam kubangan kemiskinan dan ketergantungan.
Lihatlah anak-anak muda yang kini sibuk dengan media sosial, membangun citra, berkompetisi dalam jumlah “like” dan “followers”. Semangat kebangsaan diukur dalam unggahan, dalam pencitraan, seolah nilai diri bisa diukur dari angka-angka digital. Bukan lagi dari perbuatan nyata. Bukan dari rasa tanggung jawab terhadap tanah air, seperti yang dahulu dibuktikan oleh pemuda yang berikrar dalam Sumpah Pemuda.
Kesuksesan Masa Lalu: Kenyataan atau Fatamorgana?
Banyak yang berkata, "Ah, negeri ini sudah cukup sukses. Kita bisa bangga dengan apa yang dicapai.” Tapi, apa benar kita sudah mencapai yang terbaik? Ketika kita melihat ke sekeliling, kenyataan tak seindah itu.
Pendidikan masih menjadi kemewahan bagi sebagian besar anak muda di pelosok negeri. Kemiskinan terus menghantui banyak keluarga, dan pengangguran menjadi momok yang tak kunjung hilang. Sementara itu, pemuda kita terlena, merasa bahwa hidup ini sudah cukup dengan mengenang masa lalu.
Generasi pemuda masa lalu meraih kesuksesan karena keberanian mereka untuk berjuang, bahkan dengan risiko kehilangan nyawa. Mereka tak sekadar berikrar, tapi berkorban, bertarung melawan ketidakadilan dan penjajahan.
Sedangkan, kita kini terjebak dalam kesuksesan semu yang hanya ada di kepala. Kita tenggelam dalam euforia tanpa makna, halusinasi tentang kejayaan yang sebenarnya tak pernah benar-benar kita raih sendiri.
Terjerembab dalam Kubangan Kemiskinan
Masalah utama yang dihadapi pemuda saat ini adalah kemiskinan struktural yang seolah tak ada ujungnya. Pemuda masa kini menghadapi tantangan yang berbeda, tapi sama-sama berat. Jika dahulu mereka berjuang melawan penjajah, sekarang mereka berjuang melawan kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan sistem yang tak selalu berpihak pada mereka.
Namun, sayangnya, banyak dari mereka yang memilih untuk menyerah pada keadaan. Mereka larut dalam kesenangan sesaat, tak sadar bahwa hidup ini tak bisa hanya dihabiskan dengan bersenang-senang tanpa usaha.
Kemiskinan bukan sekadar tentang uang di saku, tapi tentang kesempatan. Banyak pemuda yang tak memiliki akses pendidikan yang layak, tak punya kemampuan bersaing di dunia kerja, dan akhirnya terpuruk dalam lingkaran setan kemiskinan.
Ironisnya, di tengah kondisi ini, masih ada yang merasa nyaman dengan keadaan, memilih untuk bertahan dalam zona nyaman mereka, walaupun sebenarnya mereka tak pernah benar-benar nyaman.
Melihat ke Cermin
Jika kita benar-benar ingin mengenang Sumpah Pemuda, tak cukup hanya dengan upacara dan perayaan. Kita perlu melihat ke cermin, bertanya pada diri sendiri: apa yang telah kita lakukan untuk negeri ini?
Apakah kita hanya menjadi penikmat cerita masa lalu, atau benar-benar menjadi penerus semangat pemuda masa lalu? Apakah kita hanya pandai bicara tentang kebanggaan sebagai bangsa, atau kita benar-benar bekerja keras untuk mewujudkannya?
Pemuda bukanlah status umur, bukan pula label yang bisa dipakai begitu saja. Pemuda adalah semangat, adalah tanggung jawab untuk membawa perubahan. Seperti mereka yang dulu berikrar dalam Sumpah Pemuda, kita pun perlu berikrar untuk berjuang, bukan hanya bagi diri sendiri, tapi bagi bangsa ini.
Menyongsong Masa Depan dengan Realitas
Masa depan Indonesia ada di tangan kita, dan jika kita tak sadar akan realitas, kita tak akan pernah mampu meraihnya. Sumpah Pemuda bukan hanya soal ikrar di masa lalu, tapi juga tentang janji untuk masa depan.
Janji untuk bersatu, bekerja keras, dan tidak menyerah pada keadaan. Kita tak boleh lagi terlena dengan kenangan, apalagi tenggelam dalam halusinasi kesuksesan yang sebenarnya tak pernah kita capai.
Ironi 96 Tahun Sumpah Pemuda
Ironis, bukan? Di satu sisi, kita terus merayakan Sumpah Pemuda dengan gegap gempita, menepuk dada sebagai bangsa yang besar, tapi di sisi lain kita membiarkan kemiskinan, ketidakadilan, dan kesenjangan kian lebar.
Begitu banyak program yang katanya diperuntukkan bagi pemuda, namun entah mengapa, tak banyak yang benar-benar sampai pada mereka yang membutuhkannya. Berderet jargon tentang "pemuda harapan bangsa," "pemuda agen perubahan," tapi realitasnya, nasib pemuda tetap saja suram di banyak tempat.
Kita berbicara soal kesatuan dan kebangsaan, tapi di saat yang sama, kita sibuk dengan diri sendiri. Lihat saja anak-anak muda yang terjerat dalam ketenaran semu, tak peduli apa yang terjadi di luar layar gawai mereka.
Pemuda yang dulu berjuang bersama dalam semangat Sumpah Pemuda, kini banyak yang lebih tertarik pada pundi-pundi followers, menganggap perjuangan sebagai sesuatu yang jadul dan tak relevan.
Ada yang berkata, "Lihatlah, Indonesia kini bebas, merdeka, berdaulat!" Namun, benarkah demikian? Pemuda kita masih banyak yang terjebak dalam kubangan utang, dipaksa bekerja dengan upah rendah, hanya untuk menyambung hidup.
Mereka tak dijajah oleh bangsa asing, tapi dijajah oleh keadaan, oleh sistem yang seringkali tak peduli pada masa depan mereka. Mereka terpenjara, bukan oleh rantai, tapi oleh ketidakpedulian kita pada arti sesungguhnya dari Sumpah Pemuda.
Setiap tahun, di acara peringatan Sumpah Pemuda, pidato-pidato resmi berisi harapan dan janji mengalir deras, dengan kata-kata berbunga. Namun, di luar panggung, para pemuda itu tetap berjuang sendiri-sendiri, bahkan kerap kali saling sikut demi kesempatan yang kian langka.
Semangat Sumpah Pemuda seolah hanya dihidupkan dalam ritual seremonial, bukan dalam tindakan nyata. Alih-alih bersatu, pemuda kita malah sibuk dengan perpecahan, terbelah dalam berbagai kepentingan dan opini yang seringkali dangkal.
Yang lebih ironis lagi, sebagian besar pemuda bahkan tak lagi mengenal makna Sumpah Pemuda yang sebenarnya. Bagi mereka, Sumpah Pemuda mungkin hanya sejarah hafalan di sekolah, tak lebih dari sekadar tanggal yang harus diingat saat ujian.
Padahal, di masa lalu, janji itu adalah darah, adalah peluh yang dikeluarkan demi persatuan. Kini, di masa kita, makna itu seringkali memudar, tenggelam dalam hingar-bingar hiburan dan pencitraan kosong.
Dan inilah ironi terbesar dari semua itu: masa depan kita ada di tangan pemuda, tapi kita tak pernah sungguh-sungguh peduli pada apa yang mereka butuhkan. Kita terus berharap pada mereka, sambil menumpuk beban tanpa menyediakan jalan yang layak. Sementara kita berdiam diri, kita menuntut mereka untuk bangkit, tanpa sadar bahwa mereka tak pernah benar-benar diberi kesempatan.
Jadi, apa artinya 96 tahun Sumpah Pemuda ini? Hanya seremonial belaka? Sebuah peringatan kosong yang dirayakan tanpa esensi? Atau mungkin, sekadar panggung untuk memamerkan semangat kebangsaan yang tinggal sisa-sisa?
Jika memang begitu, sungguhlah kita hidup dalam ironi: memperingati sebuah sumpah untuk bersatu, sementara di antara kita sendiri, persatuan itu justru kian jauh dari kenyataan.
Maka, marilah kita bangkit. Bukan hanya sebagai pengingat masa lalu, tapi sebagai pemuda yang sadar akan tanggung jawabnya. Kita harus bersatu, bukan dalam nostalgia, tapi dalam semangat untuk benar-benar mengubah negeri ini. Tanpa itu, 96 tahun Sumpah Pemuda hanya akan menjadi cerita lama yang usang, tanpa arti. (*)
***
*) Oleh : Yusuf Arifai, Dosen Fiqh Politik di Ma'had Aly Al-Tarmasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |