Refleksi Sumpah Pemuda tentang “Indonesia”: Dari 'Pin Tempat Lokal' Jadi 'Influencer Centang Biru Global’
TIMESINDONESIA, MALANG – Di antara “hiruk-pikuk” senyapnya Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2024, tiba-tiba ada dorongan meronta-ronta untuk mengulik "Indonesia." Nama ini sudah begitu menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Begitu menyatunya sampai tak terasa adanya. Layaknya sinyal Wi-Fi yang baru terasa adanya ketika tidak adanya. Sebutan "Indonesia" juga begitu; hadirnya dirasa biasa, tapi kehilangannya akan membuat semua terasa hampa. Untuk menstimulus vibe-nya, perlu kiranya diungkit tribe asal usulnya timeline-nya.
Awal Abad ke-20 pada era prakemerdekaan, Indonesia dapat dikatakan hanya sekedar sebagai lokasi check-in karena istilah ini tidak lebih dari sekadar lokasi di peta; mirip seperti titik check-in pada aplikasi perjalanan. Kala itu, kata ini hanya merujuk pada wilayah geografis kepulauan yang membentang di Asia Tenggara. Seperti halnya sebuah pulau di tengah lautan tanpa penghuni dan tiada pengikut di media sosial, identitas politik dan budayanya masih samar. Peneliti seperti Benedic Anderson (1983) dalam bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism menyoroti bagaimana konsep identitas kolektif seperti "Indonesia" lahir dari proses politik dan historis, bukan sekadar kenyataan geografis.
Advertisement
Mulai muncul perubahan ketika Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara) menggunakan kata "Indonesia" sebagai bagian dari perjuangan politik melawan kolonialisme Belanda. Bagaikan seorang influencer yang menemukan potensi kata kunci "Indonesia" untuk menggerakkan massa, Soewardi mengangkat istilah ini dari sekadar nama wilayah menjadi simbol perlawanan. Kata kunci ini menjadi nama yang punya kekuatan; jadi hashtag viral dalam menggerakkan kesadaran rakyat akan pentingnya perjuangan untuk merdeka.
Baru sejak Masa Kemerdekaan (1945), Indonesia menjadi verified account di dunia internasional. Indonesia resmi menjadi nama negara merdeka, lengkap dengan status akun “centang biru” di kancah internasional. Berbeda dari sebelumnya, nama ini sekarang membawa identitas politik yang diakui dunia, menandakan perubahan dari sekadar “lokasi tempat kos” ke negara berdaulat yang punya pengaruh. Pada era ini, makna Indonesia menjadi lebih erat dengan konsep kebangsaan, menyatukan berbagai suku, agama, dan budaya dalam satu kesadaran nasional.
Dalam Indonesia Rising: The Repositioning of Asia’s Third Giant karya Anthony Reid (2012), Indonesia di masa ini memanfaatkan identitasnya untuk memperkuat persatuan nasional di tengah keberagaman yang sangat luas. Sama seperti seorang konten kreator yang memahami target audience-nya, Indonesia berusaha merangkul perbedaan dan menjadikannya kekuatan. Pancasila, sebagai ideologi nasional, menjadi guideline untuk memastikan semua konten keindonesiaan tetap relevan dan tidak melenceng dari jalur.
Karena kuatnya guideline Pancasila, "Indonesia" muncul sebagai penguasa algoritma nasional dengan lahirnya Era Orde Baru (1966–1998). Di bawah Orde Baru, makna "Indonesia" mengalami perubahan yang lebih terstruktur. Pemerintah menggunakan kata ini untuk membangun identitas nasional yang terpusat, mirip dengan cara algoritma media sosial mengatur apa yang muncul di feed kita. Semua harus sejalan, semua harus konsisten, dan semua harus sesuai dengan visi pemerintah pusat. Fokusnya adalah stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan persatuan dalam keberagaman.
Michael RJ Vatikiotis (1998) dalam Indonesian Politics under Suharto: The Rise and Fall of the New Order menggambarkan bagaimana Orde Baru menggunakan pendekatan top-down untuk membentuk identitas nasional. Ini seperti seorang admin grup chat yang memegang kendali penuh atas arah obrolan, menghapus segala pesan yang tidak sesuai dengan aturan grup. Namun, pendekatan ini membuat ruang gerak kreativitas dan ekspresi budaya terbatasi, menghasilkan ketegangan yang akhirnya meledak di era berikutnya: Era Reformasi (1998 – sekarang).
Pada saat ini, Indonesia menjadi Platform Open Source. Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia memasuki era reformasi; menjadi lebih inklusif dan terbuka—seperti platform open source di dunia teknologi digital. Setiap orang dan setiap daerah kini punya kebebasan lebih besar untuk mendefinisikan apa artinya menjadi orang Indonesia. Desentralisasi memberikan ruang bagi identitas lokal untuk berkembang, menjadikan Indonesia sebagai jaringan luas yang saling terhubung namun berbeda-beda.
M.C Ricklefs (2008) dalam A History of Modern Indonesia mencatat bagaimana desentralisasi membawa banyak perubahan dalam cara orang Indonesia memaknai kebangsaan mereka. Indonesia jadi platform aplikasi yang mengizinkan user untuk membuat custom widgets sesuai kebutuhan masing-masing daerah; lebih dinamis, lebih personal, tetapi tetap ada kode dasar yang mengikat semua elemen ini bersama. Pancasila tetap menjadi kode dasar yang menjaga agar sistem tidak crash di tengah berbagai update.
Pada era digital dan globalisasi, Indonesia menjadikan dirinya sebagai Content Creator di panggung dunia. Indonesia tidak lagi hanya merujuk pada identitas politik dan budaya, tetapi juga menjadi bagian dari identitas global yang beradaptasi dengan tren dunia. Sama seperti seorang konten kreator yang perlu terus update untuk menjaga engagement, Indonesia harus terus beradaptasi dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial di era digital. Identitas ini tidak lagi hanya bersifat nasional, tetapi juga menjadi bagian dari percakapan global.
Benedict Anderson (2006) dalam karya yang disebutkan di atas, menekankan bagaimana globalisasi memaksa negara-bangsa, termasuk Indonesia, untuk memperbarui cara mereka mendefinisikan identitas. Bayangkan Indonesia sebagai akun yang tidak hanya aktif di platform lokal tetapi juga berusaha menjadi bagian dari tren internasional; mencoba masuk FYP di TikTok global. Tantangan di era ini adalah bagaimana tetap relevan dan diakui dalam dinamika sosial global tanpa kehilangan jati diri.
Kesimpulannya itulah evolusi Indonesia. Seperti aplikasi yang terus di-update, perjalanan makna kata "Indonesia" adalah contoh sempurna dari bagaimana sebuah ide bisa terus berkembang sesuai dengan konteks zaman. Dari sekadar alamat kos lokal, berubah menjadi identitas politik, kemudian menjadi simbol kebangsaan. dan kini menjadi bagian dari narasi global. Sama seperti aplikasi, agar tidak ketinggalan zaman, identitas Indonesia pun harus terus digaungkan agar tetap bisa beradaptasi dan berinovasi dengan kebutuhan dan tantangan era digital.
Seperti aplikasi dengan banyak pengguna, Indonesia memiliki basis pengguna yang sangat beragam, mulai dari mereka yang menggunakan teknologi pramodern hingga generasi digital. Tantangan utama bagi Indonesia adalah memastikan bagaimana identitas ini tetap bisa merangkul semua penggunanya tanpa memecah komunitas. Ketika semua pengguna merasa menjadi bagian dari komunitas besar ini, Indonesia bisa terus relevan dan kuat di masa depan.
***
*) Oleh: Assoc. Prof. Suparto, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang.
*) Tulisan ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rochmat Shobirin |