Pilkada Bondowoso 2024: Harapan dan Mimpi di Siang Bolong
TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Di suatu pagi yang tak begitu cerah, saya menyesap secangkir kopi di sebuah warung yang salah satu pelanggannya adalah lik-lik dengan arit yang terselip di pinggang kiri. Ia datang dan kemudian meletakkan pirantinya itu di atas meja.
“Kopi satu,” katanya sembari menjumput gorengan yang baru dientaskan dari atas wajan.
Advertisement
“Duh, panas,” imbuhnya sembari tertawa menahan malu.
Dengan caping yang mulai lusuh, ia mengeluarkan sebungkus plastik bening. Isinya sebungkus rokok dan tembakau. Ia tak langsung memantik api dan membakar sebatang kretek. Tampaknya ia sedang menanti secangkir kopi panas yang sedang diaduk.
Tanpa ada yang memancingnya tuk berbicara, ia langsung melontarkan pernyataan yang cukup menyedihkan.
“Pupuk sulit. Harga panennya murah. Beras dan semua kebutuhan mahal,” katanya dengan nada memilukan.
Kisah demikian tak sekali-dua kali saya dengar. Kondisi itu menandakan sebuah keadaan yang tentu tidak baik-baik saja; Keadaan dimana, masih ada masyarakat yang dengan terpaksa tetap harus menjalani hidup; Keadaan yang membuat saya menyimpulkan bahwa politik bukan sekadar hajatan lima tahunan, tetapi politik adalah urusan sehari-hari.
Semua masalah sehari-hari berkelindan dengan politik. Kenaikan harga sayuran, daging sapi, harga panen petani murah, pupuk langka dan mahal, hingga biaya skincare dan uang ngopi adalah persoalan sehari-hari, yang semuanya bergantung pada politicall will dan kebijakan pemerintah.
Dan, 2024 menjadi satu faset dalam perjalanan untuk menentukan arah politik dan kehidupan di masing-masing daerah. Termasuk di Kabupaten Bondowoso. Dan pesta itu akan berlangsung beberapa hari lagi. Ya, tak lama lagi, kita akan memiliki nahkoda anyar yang hendak membawa Kabupaten Bondowoso, entah ke arah yang mencerahkan, atau justru mundur menuju kegelapan.
Semua bergantung pada tangan kita yang digerakkan nurani untuk memilih pada siapa kehidupan ini akan diamanahkan. Bagi sebagian orang, Pilkada merupakan ajang politik lima tahunan. Namun, bagi banyak orang, seperti lik-lik yang saya temui itu, Pilkada menjadi salah satu harapan.
Pilkada menjelma sebagai penyemangat dan pengingat akan hal-hal yang layak dijalani dalam hidup, mercusuar harapan yang bersinar menembus kegelapan.
Memang, Pilkada bukan satu-satunya harapan. Pemilu dan hajatan demokrasi lainnya memang bukan faktor tunggal perubahan. Ia bukan dewa yang semua kehidupan kita gantungkan pada pundaknya. Bukan.
Namun, kita semua sepakat, bahwa yang kita nantikan dari Bondowoso adalah perubahan. Kita tahu istilah itu bisa jadi pisau bermata dua. Tapi tak ada salahnya jika kita tetap menyimpan sepercik optimisme.
Saya masih berdoa yang baik-baik untuk kampung saya ini. Berharap, lebih tepatnya. Sebab, bukankah harapan yang membuat dunia ini tetap berjalan? Lagian, kita tak bisa menolak mutlak perubahan jika tak mau disebut manusia gua.
Sebab, lahir dan besar di Bondowoso saya tak melihat perubahan mendasar yang tercipta. Alih-alih membenahi, justru di beberapa titik, saya melihat sengkarut masalah kian kusut, yang bisa menjadi bom waktu. Seperti urbanisasi, pengangguran, bukanlah sumber masalah. Ia merupakan riak dari belasan tahun pembiaran masalah sosial.
Di titik itu, saya melihat secercah harapan. KH. Abdul Hamid Wahid muncul ketika saya sudah tidak terlalu banyak menaruh harapan setinggi bintang kepada calon pemimpin di Bondowoso. Saat pertama kali mendengar beliau berkata, hari itu menjadi hari pertama saya menyaksikan seseorang dengan badan yang tegap sedang mulai menorehkan kalimat pertama dalam buku sejarah Bondowoso.
Gagasan dan ide-ide cemerlang pria yang akrab disapa Ra Hamid itu menjadi oase di tengah kegersangan inovasi-inovasi di Bondowoso. Saya melihat sosok visioner dari beliau yang mampu melihat cahaya saat gelap. Dan membawa cahaya itu untuk orang yang lebih banyak. Sebuah upaya dalam terang petromak di sudut-sudut desa di Bondowoso.
Cahaya itu adalah harapan. Ada banyak harapan-harapan yang seharusnya kita upayakan. Bonus demografi, misalnya. Itu adalah harapan. Namun, kenyataannya, kita menghadapi ancaman yang tak sepele: bonus katastrofi. Sebab mayoritas yang berusia produktif terancam tak punya profesi, sementara negaranya terus digerogoti pejabat korup dan nir-kompetensi.
Kepada Ra Hamid dan Ra As’ad saya sedikit menabung harapan untuk hari depan yang lebih baik. Tentu saja, dukungan saya kepada pasangan itu tak menjadi satu-satunya jalan. Saya tidak sedang mentasbihkan mereka sebagai juru selamat. Karena, saya sadar, perubahan tercipta bila kita bersama. Termasuk keberpihakan elite pemerintah.
Yang terpenting adalah setelah 27 November 2024. Harapan saya lainnya, siapapun yang kelak terpilih, mau tak mau harus tetap dikawal bersama. Kita tak ingin mereka mengingkari janji-janji. Kita semua sepakat, perubahan Bondowoso menjadi lebih baik adalah harapan bersama.
Ala kulli hal, pilihan saya ke pasangan Ra Hamid dan Ra As’ad bukan sekadar patronase dan politik _nderek kiai_. tetapi lebih dari itu. Etape panjang Ra Hamid dan Ra As’ad dalam jalur politik tentu tak bisa dipandang sepele. Dan, di titik itulah, Bondowoso bak menemukan sebuah pohon rindang, yang tak sekadar menaungi, tetapi buah-buahnya pun bermanfaat.
Indonesia pernah memiliki pemimpin seperti Sukarno hingga kini Prabowo. Dari perjalanan panjang sejarah itu pula, bayangan saya terhadap Bondowoso tak lagi pendek. Saya melihat harapan. Harapan yang tidak sekadar pepesan kosong belaka. Ada argumentasi, ada pikiran, ada keberpihakan. Dan, RAHMAD seakan menjawab bahwa mimpi saya terkait kemajuan Bondowoso tampaknya tak sekadar mimpi di siang bolong.
***
*) Oleh : Zia Ulhaq, Pengurus PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |