Kopi TIMES

Antara Ilusi Kebebasan dan Realitas Oligarki

Minggu, 03 November 2024 - 21:47 | 39.40k
Kukuh Bayu Firmansyah S.IP., Masyarakat Sipil
Kukuh Bayu Firmansyah S.IP., Masyarakat Sipil

TIMESINDONESIA, MALANG – Demokrasi di Indonesia, di mata sebagian masyarakat, tampak semakin jauh dari idealisme yang diharapkan. Sejak reformasi 1998, Indonesia telah membangun citra sebagai negara demokratis dengan pemilu reguler, kebebasan berpendapat, dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan. 

Namun, di balik tampilan demokrasi ini, terdapat berbagai praktik dan fenomena yang menunjukkan adanya ilusi kebebasan, sementara kekuasaan sejati tetap berada di tangan segelintir elit. Demokrasi di Indonesia, dengan kata lain, tak lebih dari sekadar "berpura-pura," di mana sistem demokrasi yang dijalankan sering kali hanya formalitas tanpa substansi.

Advertisement

Salah satu masalah terbesar dalam demokrasi Indonesia adalah dominasi oligarki dan politik dinasti. Di berbagai daerah, pemimpin dan pejabat kerap berasal dari keluarga atau kelompok tertentu yang memiliki akses kuat ke sumber daya politik dan ekonomi. 

Meskipun pemilu diadakan secara reguler, kandidat yang maju sering kali terbatas pada lingkaran kekuasaan yang sudah ada. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap sumber daya dan dukungan finansial bagi kandidat independen yang tidak terhubung dengan elit.

Politik dinasti mempersempit ruang kompetisi politik, membuat masyarakat seolah hanya memiliki pilihan dari beberapa nama yang "itu-itu saja." Alih-alih memilih pemimpin yang representatif, masyarakat justru dipaksa memilih di antara kandidat yang telah diseleksi secara ketat oleh partai-partai atau kelompok elit. Dengan demikian, demokrasi hanya menjadi "topeng" yang melanggengkan kekuasaan segelintir orang. 

Fenomena politik uang di Indonesia semakin memperjelas ilusi demokrasi ini. Proses politik, mulai dari pemilihan kepala daerah hingga pemilihan presiden, sering kali didominasi oleh kekuatan finansial. Kandidat yang memiliki dana besar mampu mendominasi kampanye, memengaruhi media, hingga "membeli" suara dalam pemilu. Politik uang tidak hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi, tetapi juga mengubah pilihan rakyat menjadi transaksi yang dipengaruhi materi.

Pada akhirnya, kandidat yang berhasil menang bukanlah yang paling kompeten atau memiliki visi terbaik, melainkan yang memiliki dukungan kapital besar. Hal ini memperlihatkan bahwa suara rakyat seolah "terbeli," dan hasil pemilu bukan lagi cerminan aspirasi rakyat, melainkan hasil manipulasi kapital. Dalam konteks ini, demokrasi Indonesia hanyalah formalitas yang dikendalikan oleh kekuatan finansial dan kepentingan bisnis, bukan oleh kehendak rakyat yang sejati.    

Media adalah pilar penting dalam demokrasi yang berfungsi sebagai penyampai informasi bagi rakyat. Namun, di Indonesia, banyak media besar yang berafiliasi dengan kelompok bisnis atau politik tertentu. Media sering kali tidak objektif dalam meliput kandidat atau isu politik, dan publik disajikan informasi yang telah disaring untuk menguntungkan kelompok tertentu. Alih-alih menyediakan berita yang netral dan informatif, media justru sering kali membentuk opini yang mendukung kepentingan penguasa atau oligarki. 

Dengan media yang berperan sebagai alat propaganda, rakyat hanya menerima satu sudut pandang dan sulit mendapatkan informasi yang berimbang. Manipulasi opini publik ini semakin menjauhkan masyarakat dari hakikat demokrasi yang sebenarnya, di mana rakyat seharusnya bebas mengakses informasi untuk mengambil keputusan secara mandiri.

Demokrasi Indonesia juga diwarnai dengan fenomena di mana pemilu sering kali hanya sekadar formalitas tanpa substansi yang bermakna. Pemilu memang memberi kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin mereka, tetapi pilihan yang tersedia terbatas pada kandidat-kandidat yang telah "disetujui" oleh kelompok elit. 

Proses pencalonan dalam partai politik, misalnya, sangat terpusat dan penuh dengan kompromi yang menguntungkan penguasa partai atau sponsor kapital.
Pemilu yang hanya menjadi formalitas ini berdampak pada apatisme politik di kalangan masyarakat. Banyak orang merasa suara mereka tidak berdampak nyata, karena hasil pemilu sering kali tidak membawa perubahan signifikan terhadap kesejahteraan atau keadilan sosial. 

Apatisme ini mengancam keberlanjutan demokrasi, karena demokrasi hanya bisa berjalan jika rakyat terlibat aktif dan percaya bahwa suara mereka memiliki pengaruh. Untuk membebaskan Indonesia dari praktik demokrasi yang sekadar formalitas, diperlukan langkah-langkah konkret     Untuk mewujudkan demokrasi yang lebih autentik. 

Pertama, transparansi dalam proses pencalonan dan pendanaan kampanye harus diperkuat. Partai politik perlu mereformasi sistem rekrutmen agar calon pemimpin tidak hanya berasal dari kalangan elit, tetapi juga dari rakyat biasa yang kompeten. 

Kedua, pengawasan terhadap praktik politik uang harus lebih ketat, termasuk dengan memperkuat aturan yang mencegah transaksi politik dalam pemilihan. 

Selain itu, independensi media harus dilindungi agar mereka bisa menjalankan fungsi kontrol sosial tanpa tekanan politik atau ekonomi. Pemerintah juga perlu mendorong keterlibatan masyarakat sipil agar mereka lebih kritis dan aktif dalam proses demokrasi.

Demokrasi di Indonesia, dalam praktiknya, sering kali menjadi sekadar ilusi yang dikendalikan oleh kepentingan elit dan kapital. Demokrasi yang berpura-pura ini hanya memberikan kebebasan formalitas tanpa substansi yang bermakna. Rakyat seolah-olah memiliki pilihan, tetapi pilihan tersebut terbatas dan telah diatur sedemikian rupa. 

Untuk mewujudkan demokrasi yang sejati, Indonesia harus memberantas politik uang, mendorong keterbukaan dalam pemilihan, dan melibatkan masyarakat dalam pengawasan demokrasi. Hanya dengan demikian, demokrasi akan menjadi alat bagi rakyat untuk benar-benar berdaulat atas pemerintahan mereka.

***

*) Oleh : Kukuh Bayu Firmansyah, S.IP., Masyarakat Sipil.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES