Keadilan yang Terjajah: Skandal Hakim dan Wajah Buruk Penegakan Hukum di Indonesia
TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia dihadapkan pada serangkaian skandal yang melibatkan hakim, yang mengancam integritas sistem peradilan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum. Kasus-kasus ini, seperti yang terungkap dalam penelitian oleh Komisi Yudisial pada tahun 2020, mencatat bahwa 22 hakim terlibat dalam tindakan korupsi dan pelanggaran etika yang serius.
Angka ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan, di mana pada tahun 2019, hanya terdapat 15 hakim yang terlibat dalam kasus serupa. Ini menunjukkan bahwa skandal hakim bukan hanya peristiwa terisolasi, melainkan mencerminkan masalah sistemik dalam dunia peradilan Indonesia.
Advertisement
Aspek pertama yang perlu dicermati adalah minimnya pengawasan terhadap perilaku hakim. Meskipun terdapat lembaga seperti Komisi Yudisial yang bertugas melakukan pengawasan, mereka sering kali terhambat oleh berbagai kendala, termasuk kurangnya sumber daya dan dukungan politik. Ketidakberdayaan ini membuat hakim merasa memiliki kekebalan terhadap tindakan hukum, sehingga mereka lebih cenderung terlibat dalam praktik-praktik korupsi.
Sebagai contoh, kasus yang melibatkan hakim PN Jakarta Selatan yang ditangkap oleh KPK pada tahun 2021 setelah terbukti menerima suap dalam sebuah perkara perdata menunjukkan betapa rentannya sistem peradilan kita terhadap praktik ilegal.
Selanjutnya, faktor lain yang berkontribusi pada maraknya skandal hakim adalah budaya peradilan yang masih mengakar di masyarakat. Banyak hakim yang terjebak dalam pola pikir bahwa mereka berhak mendapatkan imbalan lebih dari hasil putusan yang mereka buat. Hal ini diperburuk oleh sistem remunerasi yang tidak memadai, yang mendorong hakim untuk mencari cara tambahan untuk meningkatkan pendapatan mereka.
Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2022, sekitar 40% responden percaya bahwa hakim menerima suap untuk memengaruhi keputusan mereka, menunjukkan betapa dalamnya persepsi negatif masyarakat terhadap kejujuran hakim.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Ketidakpuasan masyarakat terhadap putusan pengadilan juga menjadi salah satu pemicu utama skandal hakim. Dalam banyak kasus, putusan yang dianggap tidak adil atau merugikan pihak tertentu dapat menyebabkan aksi protes dan menuntut transparansi yang lebih besar dalam proses hukum. Fenomena ini menjadi sorotan ketika putusan kontroversial dikeluarkan dalam kasus-kasus yang melibatkan tokoh publik atau kepentingan besar. Hal ini menciptakan tekanan bagi hakim untuk mengubah putusan mereka, yang terkadang berujung pada praktik penyimpangan etika demi memenuhi ekspektasi publik atau kepentingan tertentu.
Selain itu, adanya pengaruh politik yang kuat dalam proses hukum turut menyumbang pada munculnya skandal hakim. Banyak hakim yang merasa tertekan untuk mendukung kepentingan politik tertentu, sehingga independensi mereka sebagai penegak hukum dipertaruhkan. Kasus yang melibatkan hakim yang ditunjuk oleh pihak-pihak dengan kepentingan politik adalah contoh nyata dari pengaruh negatif ini. Sebuah studi oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) pada tahun 2021 mencatat bahwa sekitar 30% hakim merasa terpaksa mengikuti arahan dari pihak-pihak tertentu yang memiliki kekuatan politik.
Dengan adanya berbagai faktor yang saling terkait ini, sangat penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk bersama-sama menciptakan lingkungan yang mendukung integritas dan keadilan di sistem peradilan. Reformasi dalam pengawasan hakim, peningkatan remunerasi, serta pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi hakim adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk meminimalisir potensi skandal di masa depan. Tanpa adanya perubahan signifikan, skandal hakim akan terus menjadi ancaman serius bagi keadilan dan kepastian hukum di Indonesia. Kembalinya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan hanya dapat dicapai melalui komitmen yang kuat untuk menegakkan integritas dan transparansi di semua lini, serta upaya nyata dalam memberantas praktik-praktik korupsi yang merusak sistem hukum.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |