TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejak pandemi Covid-19, pasar fintech mengalami pertumbuhan besar. Di tingkat global nilainya mencapai 305,7 miliar dolar AS pada tahun 2023. Laporan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Triwulan III 2023 menunjukkan nilai transaksi Uang Elektronik mencapai Rp116,54 triliun, serta transaksi QRIS mencapai Rp56,92 triliun, dengan pengguna sebanyak 41,84 juta dan jumlah merchant 29,04 juta, yang mana sebagian besarnya merupakan UMKM.
Berdasarkan data OJK, outstanding pinjaman peer-to-peer lending per September 2023 juga mencapai Rp55,7 triliun atau tumbuh sebesar 14,28 persen (yoy). Pada tahun 2024, nilai transaksi e-commerce di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 487 triliun, naik 7,33 persen dari tahun 2023. Sementara itu, nilai transaksi ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai US$124 miliar atau sekitar Rp1.775 triliun pada tahun 2025.
Advertisement
Apa itu Fintech?
Menurut OJK, fintech adalah sebuah inovasi pada industri jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi. Produk fintech biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik.
Sementara itu menurut BI, fintech adalah penggunaan teknologi dalam sistem keuangan yang menghasilkan produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis baru serta dapat berdampak pada stabilitas moneter, stabilitas sistem keuangan, dan/atau efisiensi, kelancaran, keamanan, serta keandalan sistem pembayaran.
Secara umum, fintech adalah teknologi keuangan yang dapat memudahkan, efisien, dan efektif dalam melakukan transaksi keuangan. Beberapa jenis fintech yang berkembang di Indonesia, di antaranya: Crowdfunding, Microfinancing, P2P Lending Service, Market Comparison, Digital Payment System.
Industri fintech dianggap mampu meningkatkan inklusi keuangan karena jaringan internet yang luas dapat menjangkau hampir seluruh wilayah. Fintech membuat konsumen dapat menikmati banyak manfaat saat menggunakan solusi dan produk FinTech.
Beberapa manfaat di antaranya adalah layanan yang lebih cepat dan lebih efisien, perlindungan yang lebih baik, inklusi yang lebih baik, dan pilihan bertransaksi yang lebih banyak.
Sejumlah Risiko Fintech
Meskipun berkembang, industri finctech masih mengandung banyak tantangan yang harus diatasi atau dibenahi.
Pertama,fintech rawan keamanan siber atau mudah bobol oleh serangan fiber. Perusahaan teknologi finansial menyimpan informasi keuangan yang sensitif, sehingga menjadi target para penjahat dunia maya.
Kedua, perusahaan fintech dan konsumennya juga berisiko terlibat dalam urusan hukum dan etika. Oleh karena mereka harus mematuhi berbagai peraturan, termasuk peraturan perbankan, undang-undang privasi data, dan standar pemrosesan pembayaran. Namun, peraturan dapat bervariasi menurut sektor usaha sehingga menyulitkan kepatuhan.
Ketiga, perusahaan fintech dan konsumen juga sangat mudah tergoda untuk terlibat dalam aksi pencucian uang. Ini terutama karena perusahaan fintech sering kali menggunakan mata uang kripto yang tidak diatur secara formal, yang dapat menyebabkan pencucian uang ilegal.
Keempat, fintech juga memiliki risiko operasional (gagal beroperasi). Ini terjadi lantaran perusahaan fintech bergantung pada teknologi dan infrastruktur yang kompleks, yang dapat menyebabkan kegagalan atau gangguan operasional. Kegagalan operasional hampir pasti mengakibatkan kerugian finansial, kerusakan reputasi, dan tanggung jawab hukum.
Kelima, layanan fintech juga lebih rentan terhadap risiko pinjaman konsumen daripada layanan keuangan tradisional.
Risiko ini sering disebut sebagai risiko keuangan karena menjadi ancaman terhadap stabilitas keuangan dan kinerja perusahaan fintech. Hal ini karena layanan fintech biasanya memiliki lebih sedikit penyangga terhadap kerugian, yang cenderung tidak dijaminkan.
Keenam, salah satu risiko paling signifikan yang dihadapi oleh perusahaan fintech adalah risiko investasi. Berinvestasi pada peluang yang salah atau membuat keputusan investasi yang buruk dapat mengakibatkan kerugian yang signifikan, yang berpotensi mengancam kelangsungan bisnis.
Strategi Pembenahannya
Tentu saja, berbagai risiko yang melekat pada fintech tidak menjadi alasan untuk membatasi kemajuan penerapan teknologi digital pada industri keuangan. Sebaliknya, risiko-risiko tersebut semestinya mendorong, pihak otoritas jasa keuangan, perusahaan dan masyarakat konsumen untuk mencari solusi pembenahannya agar industri fintech tidak mengalami berbagai kebobolan yang membawa kerugian finansial dan kejatuhan reputasi.
Pertama, untuk mengurangi risiko serangan siber atas fintech, otoritas jasa keuangan perlu menetapkan regulasi dan pihak aparat keamanan siber perlu menegakkan hukum ketat terutama untuk menimbulkan efek jera terhadap pelaku kriminal siber di bidang fintech.
Sementara itu, perusahaan perlu membangun sistem keamanan fintech yang lebih rapih. Perusahaan fintech harus lebih berhati-hati tentang cara mereka menangani dan menyimpan data pelanggan, serta menggunakan langkah-langkah keamanan untuk mengurangi risiko pencurian data.
Perusahaan fintech juga perlu memastikan semua saluran komunikasi yang digunakan aman dan terenkripsi untuk mencegah akses yang tidak sah. Mereka juga perlu menyediakan saluran komunikasi cadangan atau sistem redundan. Saluran komunikasi tersebut membantu mengurangi dampak kejadian atau gangguan yang tidak terduga.
Perusahaan fintech juga perlu didorong untuk mengutamakan transparansi dan komunikasi terbuka dalam organisasi untuk mengurangi potensi ketidakselarasan tujuan.
Pada sisi lain, para konsumen fintech perlu meningkatkan kesadaran untuk melindungi data digital pribadinya
Kedua, untuk mengurangi masalah hukum dan etika, atau untuk meningkatkan kepatuhan hukum dan etika, pihak yang berwenang menyusun regulasi dan pedoman etika fintech perlu yang sederhana, jelas tetapi tegas. Selebihnya, mereka juga perlu melakukan sosialisasi secara rutin tentang regulasi dan pedoman etika fintech itu.
Ketiga, perusahaan fintech dapat mengurangi pencucian uang dengan menerapkan berbagai langkah, termasuk melalui strategi Know Your Customer (KYC). Artinya, perusahaan fintech perlu menerapkan prosedur kontrol yang membantu mengidentifikasi dan mencegah risiko bagi pelanggan baru dan lama.
Cara lain adalah melalui Customer Due Diligence yaitu mengidentifikasi aktivitas ilegal dan kejahatan keuangan lainnya. Selanjutnya, melalui Transaction Monitoring perusahaan fintech dapat memiliki kualifikasi sebagai perusahaan yang AML (Anti-Money Laundering) karena dapat mengidentifikasi adanya potensi tanda bahaya
Selain itu, perusahaan fintech dapat melakukan Adverse Media Screening yaitu membantu mengidentifikasi aktivitas ilegal dan kejahatan keuangan lainnya.
Langkah lain yang membantu mengidentifikasi aktivitas ilegal dan kejahatan keuangan lainnya. Yang disebut Political Exposed Persons Screening. Selanjutnya, adalah menerapkan Automated Monitoring untuk memastikan keakuratan penilaian berbasis risiko dari waktu ke waktu.
Keempat, perusahaan fintech harus melakukan uji tuntas menyeluruh saat memilih vendor. Ini dapat mencakup mengevaluasi rekam jejak vendor, menilai langkah-langkah keamanan mereka, dan memastikan bahwa mereka mematuhi persyaratan peraturan yang relevan.
Selain itu, perusahaan fintech harus mempekerjakan karyawan yang memiliki talenta digital yang mumpuni dan terus mengasah literasi digital melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala.
Kelima, pemberian kredit melalui fintech sangat berisiko kredit macet. Untuk mengurangi risiko gagal bayar pinjaman sebagai pemberi pinjaman digital, perusahaan fintech perlu menerapkan pendekatan yang beragam, memadukan inovasi teknologi dengan strategi manajemen risiko yang kuat. Risiko gagal bayar kepada pemberi pinjaman digital sangat serius, itulah sebabnya mengurangi risiko di awal sangatlah penting.
Pendekatan yang beragam yang memadukan praktik pemberian pinjaman yang bijaksana, manajemen risiko yang intuitif, dan agregasi data holistik merupakan landasan strategi mitigasi risiko gagal bayar pinjaman yang efektif.
Contohnya, perusahaan dapat melakukan strategi penetapan harga berbasis risiko, penyisipan perjanjian, pemantauan pasca pencairan, atau strategi pembatasan eksposur sektoral. Akhirnya, strategi pembenahan demi kemajuan industri fintech dapat dilakukan melalui penerapan manajemen risiko yang efektif.
Terkait itu, perusahaan fintech perlu membangun budaya manajemen risiko dan kesiapan teknologi finansial melibatkan identifikasi risiko potensial, pengembangan strategi untuk mengurangi risiko tersebut, dan peninjauan serta pembaruan strategi tersebut secara berkala. Hal ini juga harus melibatkan semua jajaran eksekutif, dan semua karyawan.
Dalam hal ini, semua warga perusahaan fintech harus memahami pentingnya manajemen risiko dan dilatih untuk mengidentifikasi dan melaporkan potensi risiko teknologi finansial. (*)
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Bendahara Umum PP MATAN, dan Pelaku Industri TI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |