Kopi TIMES

Krisis Kelas Menengah di Indonesia

Sabtu, 09 November 2024 - 19:38 | 32.08k
Surya Darma, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Surya Darma, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kelas menengah memiliki peran strategis dalam perekonomian suatu negara, terutama dalam menjaga stabilitas sosial dan ekonomi. Namun, dalam lima tahun terakhir, kelas menengah di Indonesia mengalami tekanan yang signifikan, terutama selama periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Berbagai tantangan ekonomi dan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada kelompok ini telah memperburuk kondisi mereka.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren penurunan jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia sejak 2019. Pada tahun tersebut, jumlah penduduk kelas menengah tercatat sebanyak 57,33 juta jiwa (21,45% dari total populasi). Namun, pada 2024, jumlah ini turun cukup drastis menjadi 47,85 juta jiwa atau hanya 17,13%. Sebaliknya, jumlah penduduk yang masuk dalam kelompok calon kelas menengah justru meningkat, dari 128,85 juta jiwa (48,20%) pada 2019 menjadi 137,50 juta jiwa (49,22%) pada 2024.

Advertisement

Pergeseran ini mengindikasikan semakin banyak masyarakat yang turun dari kelas menengah ke kelompok ekonomi yang lebih rendah, sementara kelompok yang berada di ambang garis kemiskinan semakin bertambah. Hal ini tentunya berimplikasi pada daya beli yang menurun, yang pada gilirannya berdampak pada konsumsi domestik, komponen utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan mengecilnya proporsi kelas menengah, perekonomian Indonesia menjadi lebih rentan terhadap guncangan.

Deindustrialisasi Premature

Di akhir kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia juga mengalami fenomena yang disebut deindustrialisasi premature. Kondisi di mana sektor manufaktur mengalami penurunan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebelum mencapai tingkat pendapatan menengah-tinggi. Pada tahun 2022, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB masih mencapai 32%, namun pada 2023 angka tersebut merosot hingga hanya 18,3%.

Penurunan kontribusi sektor manufaktur turut memicu peningkatan angka pengangguran. BPS mencatat, pada Februari 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,2 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka untuk usia produktif sebesar 4,82%. Sementara Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) melaporkan penutupan sekitar 20-30 pabrik dalam periode yang sama. Kondisi ini menjadi salah satu penyebab mengapa penduduk usia produktif kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Secara teori, kelas menengah seharusnya menjadi motor penggerak utama perekonomian. Namun, mereka justru mengalami keterjepitan akibat berbagai kebijakan pemerintah yang memberatkan. Data BPS menunjukkan bahwa pengeluaran bulanan rata-rata kelas menengah pada 2024 mencapai Rp3,35 juta, sementara Upah Minimum Regional (UMR) hanya sekitar Rp3,1 juta. Ini menempatkan kelas menengah dalam situasi yang ironis dan paradoksal, di mana mereka yang berperan penting dalam menopang ekonomi justru berada di ambang penurunan kelas ekonomi dan sosial.

Kelas Menengah yang Dilupakan

Kebijakan pemerintah dalam periode kedua Jokowi cenderung lebih menguntungkan 20% kelompok terbawah dan kurang dari 10% kelompok teratas. Sementara itu, kelas menengah yang mencakup sekitar 40%-80% populasi sering kali terabaikan. Kebijakan seperti kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada 2022 memberikan dampak signifikan pada harga barang dan jasa, yang secara langsung menambah beban ekonomi dan pada akhirnya berdampak pada penurunan daya beli. 

Ketidakmerataan subsidi energi dan kenaikan harga bahan bakar serta listrik juga memperburuk kondisi kelas menengah. Tapera, kenaikan tarif KRL Jabodetabek, dan iuran pensiun tambahan yang telah menjadi diskursus dan wacana kebijakan pemerintah turut memberi beban psikologis bagi kelas menengah.

Terabaikannya kelas menengah tampak melalui jaring pengaman sosial yang minim tersedia. Selama ini, program bantuan sosial (bansos) lebih banyak ditujukan kepada masyarakat miskin, dengan jaring pengaman sosial yang terbatas bagi kelas menengah. Padahal, kelompok ini juga rentan mengalami kemiskinan apabila tidak ada intervensi kebijakan yang tepat. 

Jika pemerintah tidak segera memberikan perhatian khusus pada kelas menengah misalnya melalui pemberian subsidi atau akses bantuan sosial tunai penurunan jumlah kelas menengah yang dilaporkan oleh BPS mungkin akan semakin buruk. Kondisi ini memperdalam kesenjangan sosial dan ekonomi, berpotensi menciptakan ketidakstabilan yang lebih besar dalam masyarakat.

Menuju Visi Indonesia Emas 2045

Dengan kondisi saat ini, Narasi keberlanjutan yang tidak disertai dengan inovasi dalam kebijakan pembangunan perlu dikaji ulang, karena dapat menjauhkan Indonesia dari target terciptanya 80 persen kelas menengah dan visi Indonesia Emas 2045. Kebijakan yang terus menerus menggunakan pendekatan populis berisiko menghambat kemajuan dan mengabaikan kebutuhan mendasar untuk transformasi ekonomi. 

Oleh karena itu, pemerintah harus mengalihkan fokus pada pengembangan kelas menengah yang kuat dan inovatif. Sebab kelas menengah merupakan motor utama dalam pembangunan jangka Panjang. Mereka memainkan peran kunci dalam menciptakan lapangan kerja, merangsang konsumsi, dan mendorong inovasi.

Untuk menjamin stabilitas ekonomi dan pertumbuhan kelas menengah, reformasi kebijakan perlu dilakukan. Penerapan sistem iuran dan pajak yang dibebankan harus berlandaskan asas keadilan. Investasi besar dalam sektor pendidikan dan layanan kesehatan akan memperkuat fondasi kelas menengah yang sehat dan produktif. Selain itu, pengembangan infrastruktur publik dan diversifikasi ekonomi sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup, mobilitas sosial, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja berkualitas.

Pemerintah tidak boleh terjebak dalam obsesi populisme. pemerintah sebaiknya memprioritaskan upaya untuk menurunkan ketimpangan, dan mendorong kesetaraan kesempatan. Fokus utama harus pada membangun kelas menengah yang resilien dan inovatif, yang akan menjadi fondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif. 

Dengan mengatasi ketimpangan dan memastikan akses yang lebih adil terhadap peluang ekonomi, pemerintah dapat menciptakan lingkungan yang mendukung kelas menengah untuk tumbuh berkembang dan pada gilirannya akan berkontribusi terhadap terwujudnya visi Indonesia Emas 2045.

***

*) Oleh : Surya Darma, Mahasiswa Magister Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES