Penghapusan Piutang UMKM: Solusi Strategis atau Langkah Populis?
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Berdasarkan data dari Kementrian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM), UMKM di Indonesia menyumbang sekitar 61 persen terhadap PDB Nasional dan menyediakan lebih dari 96 persen lapangan pekerjaan. Akan tetapi, pandemi Covid-19 memaksa banyak UMKM menghadapi situasi sulit; mereka terpaksa mengurangi skala operasional, melakukan PHK, atau bahkan menutup usahanya. Hal ini disebabkan oleh gangguan rantai pasok, penurunan daya beli, dan perubahan pola konsumsi masyarakat akibat pandemi.
Meskipun pandemi telah berakhir, dampak yang ditimbulkan belum sepenuhnya hilang. Banyak UMKM masih berjuang mengelola arus kas dan menghadapi beban hutang yang menumpuk akibat pandemi. Hal ini terbukti dari meningkatnya rasio non performing loan (NPL) kredit UMKM per Agustus 2024 yang mencapai 4,05 persen (hampir 60 triliun rupiah) naik dari 3,99 persen atau 56,4 triliun rupiah pada Agustus 2023.
Advertisement
Melihat kondisi ini, Presiden Prabowo baru-baru ini menandatangani PP Nomor 47 Tahun 2024, yang mengatur penghapusan piutang macet untuk UMKM di beberapa sektor utama seperti pertanian, perikanan, dan berbagai industri kreatif. Menilik PP Nomor 47 Tahun 2024, tentunya memiliki tujuan untuk mencapai beberapa kondisi strategis.
Kebijakan tersebut dirancang guna mendorong UMKM yang mengalami kesulitan finansial agar tetap produktif dan dapat memberikan kontribusi bagi ekonomi nasional. Dengan menghapus piutang macet secara selektif, Presiden Prabowo berharap untuk memulihkan UMKM, memperkuat sektor-sektor dan untuk menjaga stabilitas sektor keuangan negara.
Kebijakan ini menarik perhatian publik, sekaligus menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Secara pro, kebijakan ini dapat membantu UMKM bangkit kembali dari tekanan finansial yang berat. Berdasarkan Debt Overhang Theory, utang yang terlalu besar dapat menjadi hambatan bagi investasi dan perkembangan bisnis.
Dengan mengurangi atau menghapus sebagian utang UMKM yang macet, pelaku usaha dapat lebih fokus mengalokasikan sumber daya untuk kegiatan produktif dan ekspansi, bukan hanya untuk membayar kewajiban finansial masa lalu. Hal ini pada akhirnya bisa meningkatkan daya beli masyarakat dan mempercepat perputaran ekonomi.
Secara kontra, kebijakan ini berpotensi menciptakan masalah baru, seperti moral hazard dan ketergantungan terhadap pemerintah. UMKM yang kerap mendapat keringanan utang dari pemerintah mungkin akan menganggap kewajiban membayar utang bukanlah hal yang krusial, sehingga mereka tidak berupaya menjaga stabilitas finansial secara mandiri. Selain itu, Dependency Theory menyebutkan bahwa ketergantungan berlebihan pada bantuan eksternal, seperti bantuan pemerintah, dapat mengurangi inisiatif dan kemampuan adaptasi pelaku UMKM.
Untuk memperkuat dampak positif kebijakan ini dan mengurangi risiko yang ditimbulkan, pemerintah sebenarnya memiliki sejumlah alternatif. Alih-alih menghapus piutang secara keseluruhan berbagai kebijakan alternatif sebenarnya dapat dilakukan pemerintah. Restrukturisasi utang bisa dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu pembayaran atau memberikan potongan bunga bagi UMKM yang berkomitmen melunasi utang mereka.
Pemerintah juga dapat memberikan subsidi bunga kredit atau penjaminan kredit. Dengan subsidi bunga, UMKM tetap bertanggung jawab atas pinjaman mereka, namun dengan biaya yang lebih ringan. Selain itu, selain membantu dari sisi keringanan pinjaman, pemerintah juga dapat membantu dari sisi bantuan teknis atau manajerial dengan membantu mengembangkan kemampuan digital UMKM, memberikan pelatihan manajerial, serta memfasilitasi UMKM dengan sektor swasta.
Pada akhirnya Kebijakan penghapusan piutang UMKM oleh pemerintah merupakan langkah yang tampak ambisius untuk mendukung sektor UMKM dan meningkatkan perekonomian. Kebijakan penghapusan piutang ini dapat menjadi solusi strategis, asalkan diterapkan dengan selektif dan diiringi oleh upaya pemberdayaan yang menyeluruh. Tanpa pendekatan holistik, kebijakan ini berisiko hanya menjadi langkah populis yang menguntungkan secara politis tetapi kurang efektif dalam membangun UMKM yang tangguh dan mandiri.
***
*) Oleh : Hasrat Ifolala Zebua, SST. M.Stat., ASN BPS Kota Gunungsitoli dan Dosen Universitas Nias.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |