
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Wacana kembalinya Ujian Nasional (UN) kembali mencuat, bersamaan dengan pembahasan penerapan kurikulum baru yang diklaim lebih fokus pada pendekatan mendalam atau deep learning.
Meski kedua isu ini masih dalam tahap diskusi, ide untuk mengintegrasikan UN ke dalam konteks pendidikan yang lebih modern telah memicu perdebatan hangat. Apakah UN yang baru akan menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, atau justru mengulang kesalahan lama dalam sistem evaluasi nasional?
Advertisement
Jika UN akan dihidupkan kembali, pendekatannya tidak bisa lagi menggunakan format konvensional yang mengukur kemampuan kognitif tingkat rendah seperti menghafal. Kurikulum baru, meskipun masih bersifat wacana, mengindikasikan perlunya evaluasi yang mencerminkan keterampilan abad ke-21.
Untuk itu, UN harus diredefinisi menjadi instrumen yang tidak hanya mengukur pengetahuan, tetapi juga kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif. Soal-soal berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS) dapat menjadi pijakan penting untuk menciptakan evaluasi yang lebih relevan dengan kebutuhan siswa dalam menghadapi dunia yang terus berkembang.
Selain HOTS, inspirasi juga dapat diambil dari model asesmen internasional seperti PISA (Programme for International Student Assessment), yang dirancang untuk mengukur kemampuan siswa dalam menerapkan pengetahuan mereka dalam situasi dunia nyata. Format soal berbasis analisis dan pemecahan masalah seperti PISA akan membantu siswa tidak hanya menguasai materi, tetapi juga memahami relevansi aplikasinya.
Di tingkat nasional, Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) yang selama ini hanya dilakukan secara sampel juga dapat menjadi elemen penting dalam redefinisi UN. AKM mengukur literasi dan numerasi, kemampuan dasar yang esensial untuk mendukung keterampilan berpikir kompleks. Jika diintegrasikan secara nasional, AKM dapat menjadi standar evaluasi baru yang lebih sejalan dengan visi pendidikan modern.
Namun, tantangan yang dihadapi tidaklah kecil. Salah satu kendala utama adalah kesiapan sistem pendidikan secara keseluruhan. Guru harus dilatih untuk mengajarkan siswa dengan pendekatan HOTS dan model soal berbasis konteks. Siswa pun perlu dibiasakan dengan format pembelajaran yang menantang, yang mendorong mereka berpikir kritis alih-alih sekadar menghafal.
Selain itu, ketimpangan infrastruktur pendidikan di berbagai wilayah Indonesia menjadi persoalan serius. Jika UN baru tetap mengacu pada standar nasional, pemerintah harus memastikan langkah afirmatif bagi siswa di daerah dengan keterbatasan akses dan fasilitas pendidikan.
Sistem penilaian juga memerlukan transformasi yang mendalam. Soal berbasis HOTS atau model PISA, meskipun relevan dengan kebutuhan pendidikan modern, biasanya memerlukan proses evaluasi yang lebih kompleks, terutama jika melibatkan jawaban esai atau analisis. Hal ini menuntut pemanfaatan teknologi seperti Computer-Based Test (CBT) untuk mempercepat proses penilaian sekaligus memastikan transparansi dan keadilan. Namun, ketidakmerataan akses teknologi di Indonesia, terutama di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), menjadi tantangan besar yang tidak boleh diabaikan.
Dalam pelaksanaannya, sistem berbasis teknologi harus dirancang secara inklusif, memastikan bahwa siswa di wilayah yang minim infrastruktur teknologi tidak tertinggal hanya karena keterbatasan akses. Selain itu, materi ujian yang selama ini sering dianggap terlalu Jawa-sentris juga perlu dirombak agar lebih mencerminkan keanekaragaman budaya dan karakteristik lokal di seluruh Indonesia, termasuk wilayah timur yang sering kali terpinggirkan.
Kembalinya UN, jika benar terjadi, tidak seharusnya menjadi repetisi dari model lama yang hanya berfokus pada angka kelulusan. Sebaliknya, UN harus menjadi bagian dari proses evaluasi berkesinambungan yang mengukur kompetensi siswa secara holistik. Pendekatan baru ini dapat mencakup penilaian berbasis proyek, studi kasus, atau analisis situasi nyata, sehingga siswa tidak hanya diuji dari kemampuan akademik mereka.
Tetapi juga dari keterampilan aplikatif yang relevan dengan kebutuhan masa depan. Di daerah dengan akses pendidikan terbatas, perlu ada kebijakan afirmatif yang memberikan dukungan khusus, baik dalam bentuk pembinaan intensif, distribusi perangkat teknologi, maupun adaptasi soal yang lebih relevan dengan konteks lokal.
Wacana kembalinya UN dan penerapan kurikulum baru adalah momentum penting untuk mereformasi sistem pendidikan nasional. Namun, jika tidak dilakukan dengan cermat, kebijakan ini berisiko mengulang kegagalan lama yang hanya membebani siswa dan guru.
Redefinisi UN harus dilakukan dengan pendekatan yang modern, adil, dan relevan, sehingga dapat menjadi instrumen yang benar-benar mendukung tujuan pendidikan: membentuk generasi yang kompeten, adaptif, dan siap bersaing di era global. Apakah Indonesia siap menjawab tantangan ini, atau justru terjebak dalam siklus kebijakan yang tidak berkelanjutan? Waktu yang akan menjawab.
***
*) Oleh : Apri Damai Sagita Krissandi, Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa Indonesia UNS.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |