Memulihkan Citra Masyarakat Madura di Tengah Konflik Politik

TIMESINDONESIA, MALANG – Fenomena carok yang menjadi bagian tradisi penyelesaian konflik berbasis kehormatan di Madura, kini menjadi sorotan negatif akibat keterlibatannya dalam perselisihan politik, terutama saat pilkada.
Carok yang dulunya dianggap solusi terakhir setelah musyawarah gagal, kini kerap dihubungkan dengan tindakan kekerasan yang mencoreng citra masyarakat Madura serta melukai nilai-nilai demokrasi yang seharusnya menjadi landasan dalam perbedaan politik.
Advertisement
Menggalai tradisi carok memiliki akar budaya yang mendalam, berlandaskan nilai kehormatan. Dalam budaya Madura, pelecehan terhadap keluarga atau penghinaan terhadap harga diri dianggap sebagai hal yang tidak dapat ditoleransi, sehingga membalas tindakan tersebut adalah bagian dari menjaga kehormatan.
Penyelesaian melalui carok dilakukan setelah musyawarah gagal, menunjukkan sifatnya sebagai pilihan terakhir. Namun, dengan perkembangan zaman dan kurangnya kesadaran, konflik carok mulai kehilangan relevansinya di tengah arus kepentingan politik.
Ketika politik lokal bersinggungan dengan tradisi seperti carok, konsekuensinya bisa menjadi sangat serius. Kekerasan yang muncul dalam momentum pilkada, seperti kasus di Kabupaten Sampang, menunjukkan bagaimana polarisasi politik memperburuk konflik adat.
Kasus pembunuhan terhadap seorang saksi pilkada di Ketapang menjadi contoh nyata. Konflik tersebut dipicu oleh dendam pribadi yang dipadukan dengan tekanan politik, menciptakan spiral kekerasan yang sulit dihentikan.
Implikasi dari kekerasan politik ini tidak hanya dirasakan secara lokal tetapi juga secara nasional. Stigmatisasi terhadap masyarakat Madura sebagai kelompok yang identik dengan kekerasan menjadi salah satu dampak serius. Stereotip semacam ini merugikan masyarakat Madura yang sebenarnya memiliki tradisi yang kaya dan nilai-nilai yang luhur.
Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan pendidikan politik, reformasi penegakan hukum, dan dialog antar-komunitas. Pendidikan politik yang berbasis pada gagasan dan nilai-nilai demokrasi dapat membantu masyarakat memahami pentingnya perbedaan tanpa harus berujung pada konflik fisik.
Selain itu, peran tokoh agama dan masyarakat dalam memediasi konflik perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa tradisi seperti carok tidak lagi digunakan sebagai alat penyelesaian masalah. Aparat hukum juga harus berperan lebih aktif dalam menegakkan aturan dan memberikan sanksi tegas terhadap kekerasan, tanpa memandang latar belakang adat.
***
*) Oleh : Muhammad Dzunnurain, Student Faculty of Teacher Training and Education, English Education Department Unisma.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |