
TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Dalam sejarah filsafat, August Comte dikenal sebagai tokoh utama yang memperkenalkan positivisme, sebuah aliran pemikiran yang menekankan pentingnya ilmu pengetahuan empiris sebagai landasan utama dalam memahami dunia.
Comte percaya bahwa kemajuan peradaban manusia hanya dapat dicapai melalui penguasaan ilmu pengetahuan yang berlandaskan fakta dan pengamatan. Prinsip-prinsip ini kini menemukan relevansinya kembali dalam era akselerasi teknologi, terutama dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI).
Advertisement
Dalam karya monumentalnya “Course of Positive Philosophy” August Comte menjelaskan dasar-dasar positivisme, termasuk keyakinannya bahwa ilmu pengetahuan berbasis data empiris merupakan pendorong utama kemajuan peradaban. Salah satu inti dari positivisme adalah keyakinan bahwa hanya data yang dapat diverifikasi secara empiris yang dapat diterima sebagai dasar pengetahuan.
Paradigma ini sangat sejalan dengan cara kerja AI modern. Model AI, seperti machine learning, dibangun di atas data yang dikumpulkan, dianalisis, dan diuji secara terus-menerus. Dengan pendekatan ini, AI berfungsi sebagai alat yang mewujudkan semangat positivisme: menggali pola-pola di balik realitas yang kompleks dan memprediksi kemungkinan masa depan berdasarkan fakta yang dapat diukur.
Akselerasi AI sebagai Manifestasi Komtean
Comte juga membagi perkembangan masyarakat manusia menjadi tiga tahap: teologis, metafisik, dan positif. Jika dianalisis dalam konteks modern, akselerasi AI dapat dilihat sebagai manifestasi tahap positif.
AI bukan hanya alat teknologi, tetapi juga diolah menjadi pola-pola yang memungkinkan sistem tersebut membuat prediksi atau mengambil keputusan. Tanpa data yang valid dan terukur, AI tidak akan mampu memberikan hasil yang akurat. Dalam hal ini, positivisme menjadi semacam fondasi filosofis bagi pengembangan teknologi berbasis data.
Teori Tiga Tahapan Peradaban August Comte-yang terdiri dari tahap teologis, tahap metafisik, dan tahap positif-telah memicu diskusi di kalangan para ahli tentang relevansinya dalam memahami perkembangan teknologi modern, termasuk kecerdasan buatan (AI). Berikut adalah beberapa pandangan yang menghubungkan teori ini dengan AI:
AI sebagai Manifestasi Tahap Positif
Beberapa ahli berpendapat bahwa AI adalah puncak dari tahap positif Comte, di mana manusia mengandalkan data empiris, ilmu pengetahuan, dan teknologi untuk memahami dan mengendalikan dunia. Dalam pandangan Luciano Floridi (ahli etika informasi) menyebut AI sebagai wujud era "keempat" dalam evolusi teknologi.
Di mana manusia tidak hanya mengobservasi alam tetapi juga menciptakan sistem cerdas untuk memproses data secara mandiri. Ini mencerminkan semangat positivisme Comte dalam menggali solusi berbasis data tanpa campur tangan asumsi metafisik atau teologis.
Sementara itu Peter Singer (filsuf etika), dalam pembahasan AI, menyebut bahwa manusia kini lebih mengandalkan "algoritma" daripada intuisi atau keyakinan spiritual, menguatkan gagasan bahwa AI adalah alat dominan dalam masyarakat yang telah melampaui tahap teologis dan metafisik.
AI sebagai Alat, bukan Tujuan Tahap Positif
Namun, kritik terhadap pendekatan positivistik juga muncul. Beberapa ahli, seperti Shoshana Zuboff dalam bukunya “The Age of Surveillance Capitalism”, menyoroti bahwa AI sering digunakan untuk tujuan kapitalistik yang tidak sejalan dengan semangat pencerahan Comte.
Ia berpendapat bahwa meskipun teknologi AI didasarkan pada fakta empiris, penggunaannya sering kali memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, yang mengindikasikan adanya sisa-sisa dari tahap metafisik, yaitu ideologi tertentu yang tidak sepenuhnya berbasis data.
Sementara itu, Byung-Chul Han (filsuf), berpendapat bahwa meski AI adalah simbol era positif, penggunaannya sering kali tidak bebas nilai. Ia mengingatkan bahwa teknologi seperti AI dapat menjadi "agama baru," di mana masyarakat menaruh kepercayaan buta pada sistem algoritmik tanpa mempertanyakan dampak moral dan etisnya.
AI di Persimpangan Tahap Metafisik dan Positif
Beberapa ahli menilai bahwa dunia saat ini masih berada di persimpangan antara tahap metafisik dan positif. Nick Bostrom dalam bukunya “Superintelligence”, menekankan bahwa AI menghadirkan tantangan eksistensial, seperti prediksi masa depan manusia yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan dengan pendekatan empiris murni.
Dalam hal ini, perkembangan AI menunjukkan bahwa manusia masih bergulat dengan "metafisika baru" dalam bentuk spekulasi tentang moralitas dan dampak keberadaan entitas supercerdas.
Sementara itu, Yuval Noah Harari, dalam “Homo Deus”, menyatakan bahwa AI dapat dianggap sebagai tahapan transisi di mana manusia menciptakan mitos baru, seperti "dataisme," yang memuja data dan algoritma sebagai sumber kebenaran absolut. Ini menunjukkan bahwa tahap metafisik masih berpengaruh meskipun tahap positif semakin dominan.
Era data besar (big data) yang kita alami sekarang menunjukkan bagaimana pandangan Comte tentang kemajuan ilmu pengetahuan melalui akumulasi dan pengolahan fakta dapat diterapkan. Sistem AI seperti ChatGPT, pengenalan wajah, hingga algoritma prediksi cuaca adalah bukti bagaimana data empiris menggerakkan inovasi teknologi. Jika Comte hidup di masa kini, ia mungkin akan melihat AI sebagai perwujudan modern dari prinsip positivisme: ilmu pengetahuan sebagai kekuatan pendorong utama untuk memahami dan mengendalikan dunia.
Akselerasi AI: Sebuah Refleksi Positivisme Baru
Pengembangan AI yang semakin cepat dapat dipandang sebagai bentuk baru dari positivisme yang lebih pragmatis. Dalam "positivisme baru" ini, data dan teknologi tetap menjadi inti, tetapi harus disandingkan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan etika. Prinsip positivisme klasik perlu diperluas agar dapat menghadapi tantangan dunia modern, termasuk pengelolaan dampak sosial AI dan pentingnya transparansi dalam sistem berbasis data.
Menghadapi era akselerasi AI, diperlukan pendekatan holistik yang tidak hanya melihat AI sebagai produk teknologi semata, tetapi juga sebagai fenomena sosial yang memengaruhi setiap aspek kehidupan manusia.
Di sinilah positivisme dapat beradaptasi, bertransformasi menjadi landasan filosofis yang tidak hanya mengedepankan fakta empiris, tetapi juga membuka ruang bagi pertimbangan etika, keberagaman perspektif, dan dampak jangka panjang terhadap umat manusia.
Komunitas teknologi saat ini memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan AI yang tidak hanya cerdas secara teknis tetapi juga selaras dengan kebutuhan sosial. Dalam pengambilan keputusan berbasis AI, misalnya, harus ada mekanisme untuk memastikan transparansi dan keadilan. Hal ini sejalan dengan semangat positivisme yang menghargai keterbukaan terhadap evaluasi berdasarkan fakta.
Selain tantangan, akselerasi AI membawa harapan baru untuk menjawab permasalahan global yang kompleks, seperti perubahan iklim, krisis kesehatan, dan kemiskinan. Melalui pendekatan positivistik, di mana data dan metode ilmiah menjadi dasar tindakan, solusi yang lebih efektif dan efisien dapat dirumuskan. Namun, optimisme ini harus disertai dengan kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat; kemanusiaan tetap menjadi pengendali utama.
Dengan mengintegrasikan prinsip positivisme yang berorientasi pada fakta dan pendekatan humanistik yang peduli pada nilai-nilai moral, akselerasi AI dapat diarahkan untuk menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, warisan pemikiran August Comte tetap menjadi pijakan reflektif untuk membangun masa depan yang tidak hanya didorong oleh kecerdasan buatan, tetapi juga oleh kebijaksanaan manusia.
August Comte dan positivismenya, meskipun berasal dari masa lalu, menawarkan wawasan penting dalam memahami hubungan antara ilmu pengetahuan dan kemajuan. Di era AI, gagasan positivisme mendapatkan dimensi baru, menjadi pengingat akan pentingnya ilmu empiris sebagai fondasi peradaban modern. Namun, dalam menghadapi tantangan moral dan sosial yang menyertai perkembangan teknologi, positivisme perlu dilengkapi dengan sensitivitas terhadap nilai-nilai etika dan kemanusiaan.
Akselerasi AI bukan hanya soal kemajuan teknologi, tetapi juga soal bagaimana kita, sebagai masyarakat global, memanfaatkan kecerdasan baru ini untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Dalam semangat positivisme yang diperbarui, kemajuan ilmu pengetahuan harus selalu melayani kemajuan manusia.
Dampak Sosial dan Etis
Namun, di balik potensi besar ini, muncul tantangan yang tidak dapat diabaikan. Salah satu kritik terhadap positivisme adalah kecenderungannya untuk mengabaikan aspek-aspek subjektif, nilai-nilai moral, dan kompleksitas sosial yang tidak dapat diukur dengan mudah. Dalam konteks AI, hal ini terlihat dalam bias algoritma, privasi data, dan dampak sosial-ekonomi dari otomatisasi.
Positivisme tradisional, dengan fokusnya pada fakta objektif, mungkin gagal menangkap dimensi etis dan kemanusiaan yang menjadi sorotan dalam perdebatan mengenai AI. Sebagai contoh, ketika AI digunakan untuk memutuskan siapa yang mendapatkan pinjaman atau pekerjaan, pendekatan yang sepenuhnya berorientasi pada data bisa memperkuat ketidakadilan yang sudah ada dalam masyarakat.
Refleksi Teologis AI
Bagi beberapa filsuf teologis, AI tidak sepenuhnya bebas dari tahap teologis. John Lennox, seorang akademisi, menyatakan bahwa AI sering kali dipandang sebagai "penciptaan kedua," di mana manusia memainkan peran Tuhan dalam menciptakan entitas cerdas. Ini menunjukkan bahwa unsur teologis masih ada, meskipun dalam bentuk baru yang lebih terhubung dengan teknologi.
Relasi antara teori tiga peradaban Comte dan AI menunjukkan kompleksitas perkembangan teknologi ini. Banyak ahli sepakat bahwa AI mewakili semangat tahap positif dengan basis empiris dan ilmiah.
Namun, penggunaannya yang sering kali bias, tidak etis, atau kapitalistik menunjukkan bahwa masyarakat global belum sepenuhnya meninggalkan tahap metafisik atau teologis. Kombinasi dari ketiga tahap ini, bahkan mungkin dalam bentuk baru, menggambarkan dinamika unik era AI.
Kemajuan peradaban saat ini mau tidak mau merupakan bagian dari kontribusi August Comte. Salah satu testimoni diajukan oleh Bertrand Russell dalam bukunya “A History of Western Philosophy”. Dalam buku ini, Russell menyatakan pengaruh August Comte terhadap filsafat modern dan bagaimana gagasan positivisme membentuk paradigma ilmiah pada abad ke-19.
Sebagai penutup, meskipun pemikiran August Comte tentang positivisme muncul dalam konteks abad ke-19, ide-idenya tetap relevan di tengah akselerasi AI. Namun, tantangan dunia modern mengharuskan kita untuk mengombinasikan semangat ilmiah positivisme dengan refleksi kritis terhadap dampak teknologi pada masyarakat. Hanya dengan demikian, kita dapat memastikan bahwa AI bukan hanya alat untuk kemajuan, tetapi juga instrumen untuk kebaikan bersama. (*)
***
*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |