Kopi TIMES

Mengukur Legitimasi Calon Tunggal Pilkada 2024

Kamis, 21 November 2024 - 09:51 | 35.54k
Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Sebanyak 1.556 pasangan calon akan memperebutkan kekuasaan di 545 daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota (KPU, 31/10). Meskipun syarat pencalonan dipermudah, menambah jumlah pasangan calon untuk berkompetisi nyatanya cukup sulit.

Jika mendasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi, setiap daerah setidaknya dapat mewujudkan lima pasangan calon. Faktanya, lebih dari separuh daerah hanya diikuti oleh dua dan tiga pasangan calon. Bahkan masih terdapat 37 daerah di mana pasangan calon tidak memiliki lawan tanding.

Advertisement

Pertimbangan untuk memaksimalkan perwakilan dalam komposisi pencalonan, dihadang oleh orientasi mengejar kemenangan. Dalam upaya memperoleh legitimasi, komposisi pasangan calon minus representasi. Perwakilan partai politik dan calon perseorangan yang ada adalah wujud dari kekuatan politik dan modalitas ekonomi.

Betapa tidak, Pemilu baru usai, Pilkada langsung dimulai. Hampir tidak ada kesempatan menyiapkan kader untuk bertarung karena baru pulang dari medan tanding. Apalagi yang bertanding habis-habisan. Akhirnya, memilih orang yang masih memiliki daya tahan dan modalitas yang kuat.

Koalisi partai politik yang memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 melanjutkan koalisinya di tingkat Pilkada. Kemudian mengembangkan koalisinya ke partai-partai lainnya. Terjadilah pembentukan koalisi besar untuk mengurangi risiko persaingan dan memastikan kemenangan.

Daripada mewujudkan representasi pemilih, partai politik cenderung memilih strategi pragmatis untuk mendukung calon dengan peluang paling besar. Akhirnya, partai politik memilih bergantung pada individu dengan populer daripada melakukan kaderisasi internal partai politik.

Defisit Representasi

Pilkada sesungguhnya menjadi sarana representasi bagi pemilih. Melalui Pilkada, partisipasi masyarakat juga diwakili oleh jumlah pasangan calon yang akomodatif. Baik melalui jalur partai politik maupun jalur perseorangan, pencalonan adalah momentum mewujudkan perwakilan pemilih untuk menjadi pemimpin daerah. Semakin banyak jumlah pasangan calon semakin mewujudkan aspek keterwakilan dan menunjang proses demokratisasi pemilihan.

Pilkada dengan semakin sedikit jumlah pasangan calon, menggambarkan kondisi yang semakin jauh dengan demokratisasi. Kondisi Pilkada dengan calon yang minim menunjukkan adanya kondisi kekuasaan dipegang oleh segelintir kaum elit (Nurhasim, 2003), adanya local strong men (Leo Agustino, 2009), partai politik kartel (Sumadinata, 2016) dan kondisi yang penuh dengan Clientilisme (Sukmajati, 2016). Seluruh gambaran tersebut menunjukkan ruang demokrasi di tingkat lokal semakin menyempit dan bergerak secara top-down.

Dalam kondisi calon tunggal, Pilkada menjadi tidak bermakna karena minimnya keterlibatan warga negara untuk mencalonkan diri. Sulitnya benteng yang harus ditembus oleh para kandidat potensial berakibat hanya orang-orang yang memiliki kelebihan dalam aspek posisi, baik sebagai petahana atau keluarganya, ataupun karena kemampuan finansial yang tinggi sehingga mereka mampu untuk menarik partai politik.

Padahal demokrasi adalah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam pemerintahan demokratis, pemilih yang menentukan sendiri siapa yang akan mewakili mereka untuk duduk di pemerintahan dan siapa yang akan menjadi pemimpin di tingkat daerah sehingga eksekutif yang terbentuk dari proses demokrasi ini betul-betul merepresentasikan kebutuhan rakyat.

Defisit demokrasi dimulai dari jumlah pasangan calon yang tidak memperhatikan perwakilan elemen masyarakat. Aspek menghadirkan kembali pemilih sebagai bagian penting dari representasi berdampak pada keterlibatan dan partisipasi pemilih di hari pemungutan dan penghitungan suara nanti.

Tantangan Legitimasi

Jika partisipasi menurun, maka legitimasi pemimpin daerah akan lemah. Meskipun pasangan calon bisa menang dan menduduki jabatannya, tetapi memiliki legitimasi yang rendah karena tidak melalui proses partisipasi yang tinggi.

Jika legitimasi runtuh, pada kepercayaan terhadap demokrasi juga akan ikut berkurang. Dan berdampak pada kepercayaan pada sistem pemerintahan yang dianut. Sebagaimana yang dikategorikan oleh Max Weber (1920), menurunnya kepercayaan pada otoritas hukum bisa mengalihkan perhatian kepada otoritas yang lainnya yaitu otoritas kharismatik dan otoritas tradisional.

Otoritas kharismatik dan otoritas tradisional akan mengembalikan pemilih pada pengabdian pada seseorang yang bersifat individual dan kepercayaan terhadap tradisi yang seringkali bertabrakan dengan demokrasi yang melandaskan pada kepatuhan hukum. Jika hal ini terjadi, maka pemerintahan tidak lagi berdasarkan pada hukum, tetapi mendasarkan pada siapa yang kuat yang akan berkuasa.

Sebagaimana yang dikemukakan Robert A. Dahl (1980), disamping untuk menghindari tirani, Pilkada dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain yaitu terwujudnya hak-hak esensial individu, terdapat kesempatan untuk menentukan posisi dari individu dan adanya kesejahteraan.

Pilkada langsung memberi kesempatan kepada masyarakat pemilih untuk terlibat dalam berbagai proses politik yang lebih kuat. Kondisi daerah dengan calon tunggal mempersempit pilihan pemilih dan mengurangi tingkat legitimasi pemerintahan kedepan. (*)

***

*) Oleh : Masykurudin Hafidz, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES