Kenaikan PPN 12%: Beban Berat Tanpa Kenaikan Upah yang Setara

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada tahun 2025 telah menuai penolakan yang cukup masif dari masyarakat. Salah satu alasan utama di balik gelombang protes ini adalah ketidakseimbangan antara peningkatan beban pajak dengan kondisi ekonomi rakyat, terutama terkait upah yang tidak mengalami kenaikan signifikan di banyak daerah.
Kebijakan ini dinilai memberatkan, khususnya bagi masyarakat menengah ke bawah, yang sudah bergulat dengan biaya hidup yang semakin tinggi akibat inflasi dan naiknya harga kebutuhan pokok.
Advertisement
Dalam banyak daerah, terutama wilayah-wilayah dengan tingkat upah minimum yang rendah, masyarakat menghadapi tekanan ekonomi yang semakin besar. Kenaikan PPN sebesar 12% otomatis akan berdampak pada kenaikan harga barang dan jasa, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan, transportasi, dan layanan kesehatan.
Namun, realitas menunjukkan bahwa tidak semua daerah mengalami kenaikan upah yang proporsional untuk mengimbangi kenaikan biaya hidup tersebut. Ketimpangan ini menjadi akar permasalahan yang melahirkan kritik luas terhadap kebijakan ini. Sebagai contoh, di daerah-daerah dengan upah minimum provinsi (UMP) yang rendah seperti beberapa wilayah di Indonesia bagian timur, kenaikan harga akibat pajak akan semakin memperburuk daya beli masyarakat, yang sudah tertekan oleh ketidakstabilan ekonomi.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Lebih lanjut, kelompok buruh dan pekerja informal menjadi pihak yang paling terdampak. Banyak dari mereka tidak memiliki penghasilan tetap atau jaminan sosial yang memadai untuk mengatasi lonjakan biaya hidup. Penolakan ini bukan tanpa dasar, mengingat dalam beberapa tahun terakhir, tuntutan kenaikan upah yang diajukan serikat pekerja sering kali tidak dipenuhi secara adil di berbagai daerah. Ketika pajak dinaikkan tanpa diiringi oleh kebijakan yang mendukung kesejahteraan pekerja, masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak mempertimbangkan kondisi nyata yang dihadapi rakyat kecil.
Selain itu, ada pandangan bahwa kenaikan pajak ini tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Dalam beberapa survei, masyarakat menyatakan bahwa kenaikan pajak ini lebih menguntungkan kelompok ekonomi besar yang memiliki daya tahan finansial tinggi, dibandingkan masyarakat umum yang hanya mampu membeli barang-barang kebutuhan pokok. Ketika sebagian besar pendapatan masyarakat habis untuk memenuhi kebutuhan dasar, kontribusi pajak yang lebih besar dirasa menjadi beban tambahan yang tidak adil.
Penolakan terhadap kebijakan ini juga muncul dari kalangan pengusaha kecil dan menengah. Pelaku UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, mengeluhkan bahwa kenaikan PPN akan berpengaruh pada penurunan daya beli masyarakat terhadap produk lokal mereka. Kondisi ini dikhawatirkan dapat memperburuk keberlangsungan usaha kecil, yang justru menjadi sektor yang diandalkan dalam menyerap tenaga kerja dan mendukung perekonomian nasional.
Di sisi lain, pemerintah mengklaim bahwa kenaikan pajak ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pembangunan infrastruktur serta layanan publik. Namun, klaim ini belum cukup meyakinkan masyarakat yang merasa tidak mendapatkan manfaat langsung dari peningkatan pendapatan pajak sebelumnya. Transparansi dalam alokasi pajak dan dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat masih menjadi tanda tanya besar di benak rakyat.
Pada akhirnya, kebijakan kenaikan PPN menjadi 12% hanya akan berhasil jika diimbangi dengan langkah konkret untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah harus memastikan bahwa upah di seluruh daerah dapat menyesuaikan dengan lonjakan biaya hidup yang ditimbulkan oleh kebijakan ini.
Selain itu, perlunya dialog yang lebih terbuka antara pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya menjadi hal yang krusial untuk meredam gejolak penolakan yang kian meluas. Jika tidak, kebijakan ini dikhawatirkan akan semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial dan melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |