Menakar Kepemimpinan Kepala Daerah dalam Perspektif Islam

TIMESINDONESIA, PEKALONGAN – Pemilihan kepala daerah bukan hanya sebuah pesta demokrasi, tetapi juga ujian bagi rakyat sebagai pemilih. Dalam perspektif Islam, memilih seorang pemimpin adalah amanah besar yang tidak hanya berdampak pada kehidupan duniawi, tetapi juga akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Ironisnya, praktik pemilihan kepala daerah di Indonesia kerap jauh dari ideal, dirusak oleh maraknya politik uang, hoaks, dan janji-janji kosong. Dalam kondisi ini, apakah kita sebagai pemilih sudah cukup cerdas untuk memilih pemimpin yang benar-benar amanah?
Advertisement
Islam memberikan panduan yang jelas mengenai kriteria seorang pemimpin. Kepala daerah yang ideal harus memiliki sifat sidq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (mampu menyampaikan).
Sering kali pemilih tidak mempertimbangkan kualitas ini, melainkan lebih terpengaruh oleh popularitas, kemasan pencitraan, atau bahkan keuntungan materi sesaat. Padahal, memilih pemimpin yang tidak kompeten atau tidak amanah berarti ikut berkontribusi terhadap kerusakan yang terjadi di wilayah tersebut.
Masalah mendasar yang menghambat terciptanya pemilih cerdas adalah minimnya pendidikan politik berbasis nilai-nilai Islam. Pemilih sering kali tidak memahami bahwa suara mereka adalah alat perubahan yang kuat.
Dalam QS. Al-Hujurat: 6, Allah SWT mengingatkan, "Jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti." Namun, dalam praktiknya, banyak masyarakat yang mudah percaya pada informasi yang tidak diverifikasi, terutama di era media sosial yang dipenuhi oleh hoaks dan propaganda.
Di sisi lain, praktik politik uang terus menjadi ancaman nyata dalam setiap pemilihan kepala daerah. Para calon kepala daerah yang tidak memiliki integritas sering kali menggunakan uang sebagai alat untuk membeli suara. Fenomena ini merusak esensi demokrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Rasulullah SAW dengan tegas melarang suap, sebagaimana sabdanya: “Allah melaknat pemberi dan penerima suap.” (HR Ahmad). Sayangnya, banyak masyarakat yang masih menganggap wajar menerima "amplop" dari calon, tanpa menyadari bahwa tindakan ini akan memperburuk kualitas pemerintahan di masa depan.
Dalam perspektif Islam, seorang pemimpin adalah pelayan rakyat. Khalifah Umar bin Khattab memberikan contoh nyata bagaimana seorang pemimpin harus merakyat, turun langsung mendengarkan keluhan rakyatnya, dan mengambil keputusan yang adil.
Sayangnya, banyak kepala daerah saat ini lebih fokus pada pencitraan dan keuntungan pribadi, jauh dari teladan kepemimpinan dalam Islam. Hal ini tidak terlepas dari pemilih yang memilih tanpa pertimbangan matang, sehingga menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten.
Mengapa masyarakat kerap salah memilih? Salah satu alasannya adalah kurangnya perhatian terhadap rekam jejak calon kepala daerah. Banyak pemilih terbuai dengan janji-janji manis kampanye tanpa melihat bukti konkret dari kontribusi calon tersebut di masa lalu.
Padahal, dalam Islam, menilai rekam jejak adalah bagian dari kehati-hatian yang dianjurkan. Jika seorang calon tidak memiliki catatan yang baik dalam mengelola amanah sebelumnya, bagaimana mungkin ia dapat dipercaya untuk memimpin sebuah daerah?
Krisis ini juga diperburuk oleh lemahnya pengawasan pasca-pemilihan. Banyak pemilih yang merasa tugas mereka selesai setelah memberikan suara, padahal Islam mengajarkan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar sebagai bagian dari pengawasan terhadap pemimpin.
Dalam sebuah masyarakat yang Islami, rakyat dan pemimpin memiliki hubungan yang saling mengingatkan. Namun, di banyak daerah, hubungan ini terputus, sehingga kepala daerah yang terpilih sering kali bebas bertindak tanpa kontrol dari masyarakat.
Salah satu tantangan terbesar dalam pemilihan kepala daerah adalah dominasi politik identitas. Banyak calon yang memainkan sentimen agama, suku, atau golongan untuk mendapatkan dukungan, tanpa menawarkan solusi konkret terhadap permasalahan masyarakat.
Islam menentang keras penggunaan identitas untuk memecah belah umat, karena tujuan kepemimpinan adalah untuk membawa keadilan bagi semua, bukan hanya bagi kelompok tertentu. QS. An-Nisa: 58 mengingatkan kita, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Solusi dari permasalahan ini adalah pendidikan politik yang terintegrasi dengan nilai-nilai Islam. Pemilih harus dididik untuk berpikir kritis, menggali informasi dari sumber yang valid, dan menolak segala bentuk politik uang.
Para ulama dan tokoh agama juga memiliki peran strategis untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang pentingnya memilih pemimpin yang amanah. Tanpa pendidikan politik yang memadai, pemilihan kepala daerah hanya akan menjadi rutinitas tanpa makna yang tidak menghasilkan perubahan nyata.
Selain itu, perlu ada mekanisme yang mendorong transparansi dan akuntabilitas calon kepala daerah. Misalnya, setiap calon diwajibkan mempublikasikan rencana kerja mereka secara rinci, termasuk bagaimana mereka akan mengelola anggaran daerah. Dengan informasi ini, masyarakat dapat menilai sejauh mana calon tersebut memahami kebutuhan daerah mereka dan memiliki solusi yang realistis.
Pemilihan kepala daerah juga harus menjadi momentum untuk mempromosikan keadilan sosial. Kepala daerah yang berkualitas adalah mereka yang mampu menghapus kesenjangan sosial, menciptakan lapangan kerja, dan memperbaiki pelayanan publik. Semua ini hanya mungkin jika pemilih cerdas memilih pemimpin yang memiliki visi yang jelas dan komitmen terhadap kepentingan rakyat.
Pada akhirnya, pemilih cerdas adalah pondasi dari lahirnya kepala daerah yang amanah. Islam mengajarkan bahwa memilih pemimpin adalah ibadah, dan setiap ibadah harus dilakukan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Jangan sampai kita memilih hanya karena terpengaruh pencitraan atau iming-iming materi, karena kesalahan ini akan membawa dampak buruk yang lama.
Masyarakat memiliki kekuatan untuk mengubah arah pembangunan daerah mereka melalui suara yang diberikan dalam pemilihan kepala daerah. Jika setiap pemilih bersikap cerdas, kritis, dan berpegang pada nilai-nilai Islam, maka akan lahir pemimpin yang tidak hanya kompeten tetapi juga bertakwa. Kepemimpinan yang demikian akan membawa keberkahan bagi seluruh masyarakat, menciptakan keadilan, dan menjadikan daerah tersebut teladan bagi daerah lain.
Pada hari Rabu, 27 November 2024, mari kita gunakan hak pilih kita dengan bijak untuk menentukan kepala daerah yang amanah, adil, dan mampu membawa kemajuan bagi masyarakat, karena masa depan daerah kita ada di tangan kita semua.
Pemilih cerdas adalah kunci. Kepala daerah yang amanah adalah hasilnya. Masa depan kita adalah tanggung jawab bersama.
Semoga bermanfaat.
***
*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |