Kopi TIMES

Korban Kriminalisasi Hukum, Guru Perlu Independensi Profesi

Selasa, 26 November 2024 - 20:46 | 25.99k
Edi Junaidi Ds, Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang.
Edi Junaidi Ds, Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – Pendidikan merupakan suatu bidang yang mencakup proses belajar-mengajar. Proses belajar mengajar tidak terbatas pada ruang lingkup pendidikan formal di lembaga pendidikan, tapi juga mencakup pendidikan informal yang bisa didapatkan dari pengalaman yang berlangsung seumur hidup. 

Semua proses pada pendidikan formal maupun informal memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, karakter, dan moral seseorang yang pada akhirnya menjadikan orang layak disebut sebagai manusia. 

Advertisement

Pendidikan memiliki dua komponen utama; guru dan siswa. Guru menjadi komponen utama dalam dunia pendidikan. Pendidikan yang menghasilkan kualitas terbaik lahir dari bagaimana kualitas pengajaran seorang guru. Guru dituntut untuk profesional ditengah perannya yang selalu dipandang benar. Sebab guru adalah sosok yang digugu dan ditiru. 

Ironisnya, ditengah kemajuan pendidikan dan teknologi yang berkembang pesat, guru kerap menjadi sasaran empuk kriminalisasi yang tak manusiawi. Kriminalisasi yang terjadi pada guru seolah bukan menjadi perkara tabu, tidak lagi menjadi rahasia yang hanya dikonsumsi oleh segelintir kecil pihak-pihak tertentu. 

Hadirnya pemberitaan terkait kriminalisasi guru di ruang publik pun menghadirkan berbagai respon pembelaan dari sudut ini itu. Mirisnya, segelintir pemegang putusan hukum seolah menutup mata dan telinga akan fakta yang terjadi, konon katanya demi memihak kaum berkepentingan yang dekat dengan pemegang putusan tadi. 

Guru di adili tanpa ada basa basi. Pengabdian bertahun-tahun tak menyisakan jejak hanya karena laporan yang tidak sah dan penuh serba-serbi. Jerit tangis tak terdengar sama sekali. Bisa-bisa kriminalisasi terhadap guru dinormalisasi. 
Alih-alih dibela, malah bisa memunculkan persepsi jadi guru ujungnya masuk bui. Jika itu terjadi, siapa yang mau mendidik anak-anak generasi bangsa ini? 

Harus dipahami bahwa Guru bukan hanya pelayan publik, tapi juga pejuang pendidikan. Berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 39 ayat (2) tentang pendidik dapat disimpulkan bahwa pendidik (guru) adalah tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan sebagai bentuk pengabdian kepada institusi pendidikan. 

Jika menilik pada UU tersebut, tugas guru dibebankan sebagai pelayan publik mencakup fasilitator, edukator, dan evaluasi yang berfokus pada pemberian layanan pendidikan sebagai bentuk pengabdian kepada bangsa dan negara. 

Tidak terbatas pada peran sebagai pelayan publik, guru juga mengemban amanah moril sebagai pejuang pendidikan. Istilah pejuang pendidikan merujuk pada konsep peran dan tanggung jawab yang lebih luas, mencakup kehidupan sosial secara keseluruhan. Sebab hasil pendidikan yang baik akan melahirkan tatanan sosial yang baik. 

Tatanan sosial yang baik tercipta dari karakter dan kebiasaan baik yang bisa dilatih dan dididik di institusi pendidikan. Wajar jika di institusi pendidikan, guru sebagai penyelenggara pendidikan menerapkan berbagai aturan yang memang sudah dibuat oleh institusi guna tercapainya target pembelajaran yang diinginkan berdasarkan aspek pengetahuan, pemahaman, karakter, dan sikap peserta didik. 

Meski dalam pelaksanaannya, guru kerap kali dihadapkan pada berbagai tantangan, dan hambatan. Salah satunya adalah kasus kriminalisasi guru yang akhir-akhir ini ramai menghiasi media masa. Kriminalisasi guru tidak boleh dinormalisasi! Pembentukan lembaga independen profesi bisa jadi solusi.

Kriminalisasi yang terjadi menyebabkan guru menjadi korban tindakan hukum karena dituduh melakukan pelanggaran hukum atau tindak pidana. Dalam konteks pendidikan, kriminalisasi terhadap guru bisa terjadi akibat mispersepsi antara guru dengan orang tua terkait kebijakan dan aturan institusi. 

Salah satu contoh yang saat ini sedang hangat terjadi, kasus guru Supriyani yang dituduh menghukum siswanya dengan cara memukul siswa menggunakan gagang sapu sampai membuat siswa tersebut terluka. Namun, kasus itu dirasa janggal disebabkan bekas luka yang ada di badan siswa berupa luka melepuh. 

Berdasarkan kasus guru Supriyani, seharusnya guru Supriyani dilindungi dan dibela dengan adil dalam menjalankan tugasnya sebagai guru yang berkewajiban mendisiplinkan siswa, bukan malah dihakimi dan diseret ke dalam kasus tindak pidana. 

Padahal, realitanya guru memberikan hukuman dalam konteks “profesi guru” sebagai bentuk pembinaan kedisiplinan atas pelanggaran yang dilakukan oleh siswa, hal inilah yang sering kali disalahartikan. 

Selama dalam batas wajar dan tidak melanggar etik profesi, hal itu tidak layak dijadikan kasus tindak pidana. Sayangnya tidak semua orang tua menanggapi hal tersebut dengan bijak sebagai bentuk pembelajaran yang positif. 

Dampak negatif yang dikhawatirkan dari mispersepsi antara orang tua dengan guru yang melahirkan kriminalisasi guru adalah adanya normalisasi pelaporan yang dilakukan oleh orang tua. Jika hal itu terjadi, dimana letak ruang gerak guru sebagai pendidik? Guru bisa saja bereaksi bodo amat jika tidak mengingat tanggung jawab moril yang diembannya. 

Namun, bukankah kita akan jauh dari tujuan pendidikan jika sama-sama tidak bijak menanggapi kondisi yang ada? Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, sebenarnya aturan tentang perlindungan profesi guru sudah jelas tertulis, diantaranya: dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, pasal 14 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa guru berhak mendapatkan perlindungan hukum, dan sekolah atau lembaga pendidikan wajib memberikan perlindungan hukum kepada guru dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pendidik.  

UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1 ayat (2) memberikan gambaran bahwa selama berpegang pada norma dan pedoman pendidikan, guru tidak bisa dipidana dengan sembarangan jika bertindak dalam kapasitas profesinya.  

Peraturan pemerintah No. 74 Tahun 2008 tentang guru, pasal 5 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas profesi, guru harus dijamin mendapatkan perlindungan hukum yang menghalangi kriminalisasi tanpa dasar hukum yang jelas. 

Terakhir, putusan MA no. 1555K/PID/2013 yang menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya. Secara keseluruhan, peraturan-peraturan tersebut memberikan perlindungan hukum terhadap guru untuk melaksanakan tugas, tidak ada dasar hukum yang menjadikan guru bisa dihakimi secara sembarangan dan dipidana dengan cara yang tidak adil.

Untuk mengatasi hal tersebut, sudah semestinya perlu dibentuk lembaga independen profesi yang dapat memberikan perlindungan hukum yang jelas dan pendampingan hukum kepada guru guna memberikan keadilan dan jaminan bagi guru untuk menjalankan tugas tanpa rasa takut akan kriminalisasi.

Lembaga independen profesi guru berfungsi sebagai wadah pembelaan bagi guru yang terjebak dalam proses hukum dengan tujuan utama untuk memastikan bahwa guru tidak hanya diadili berdasarkan opini publik atau adanya tekanan dari luar, namun melalui proses hukum yang adil dan sesuai dengan kode etik. 

Selain itu, lembaga profesi guru juga dapat memberikan pemahaman tentang hak dan kewajiban guru serta mekanisme hukum yang jelas untuk melawan berbagai bentuk kriminalisasi. Fungsi lain dari lembaga ini adalah pendampingan yang professional dan akses yang praktis bagi guru untuk memperoleh bantuan hukum. 

Sebagai sebuah profesi yang mengemban tugas mulia untuk mendidik generasi penerus bangsa, sudah seharusnya guru mendapatkan perlindungan yang memadai. Tidak hanya dari aspek fisik dan kesejahteraan, tetapi juga dari ancaman kriminalisasi yang bisa merusak reputasi dan martabat mereka. Membentuk lembaga independen profesi guru adalah langkah yang perlu segera diambil demi tercapainya sistem pendidikan yang lebih adil dan menghargai profesi pendidik.

Dalam konteks ini, lembaga independen profesi guru yang dimaksudkan adalah seperti Dewan Pers dan Persatuan Advokat Indonesia (PERADI). Dewan Pers berfungsi untuk mengawasi dan menegakkan standar etik bagi wartawan, yang mengarah pada perlindungan terhadap kebebasan pers dan menjaga integritas jurnalistik. 

PERADI memiliki peran penting dalam dunia hukum, terutama dalam menjaga dan mengembangkan kualitas profesi advokat serta memastikan adanya perlindungan hukum bagi advokat yang menjalankan tugasnya sebagai pembela hak-hak klien, termasuk dalam peradilan pidana, perdata, dan aspek hukum lainnya. 

Lembaga profesi guru, dengan cara yang serupa, dapat memberikan panduan etik dan profesionalisme bagi para guru agar mereka memiliki perlindungan dalam menghadapi tuntutan hukum nantinya.

***

*) Oleh : Edi Junaidi Ds, Mahasiswa Pascasarjana UIN Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES