Presiden dan Dukungan Terhadap Calon Gubernur: Dilema Etis dan Dinamika Politik
TIMESINDONESIA, MALANG – Di tengah berlangsungnya Pilkada 2024, perhatian publik kembali tertuju pada dinamika politik yang memanas, khususnya ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap salah satu calon gubernur, Ridwan Kamil. Sosok Ridwan Kamil dikenal memiliki rekam jejak kepemimpinan yang baik, sehingga dukungan tersebut tampak sebagai apresiasi terhadap kapabilitas dan integritasnya. Namun, langkah ini memicu perdebatan sengit. Sebagai simbol persatuan bangsa, tindakan presiden yang mendukung seorang kandidat menimbulkan pertanyaan mendalam tentang etika, politik, dan hukum di Indonesia. Apakah langkah ini dapat dibenarkan, atau justru menyalahi prinsip yang lebih besar dalam demokrasi?
Sebagai kepala negara, presiden memiliki peran sentral dalam menjaga netralitas politik, terutama dalam proses demokrasi seperti pemilu. Netralitas ini bukan sekadar tradisi, tetapi menjadi landasan untuk menjamin keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem pemilihan. Ketika seorang presiden, baik secara pribadi maupun profesional, menunjukkan dukungan kepada kandidat tertentu, tindakan tersebut dapat menimbulkan persepsi bias. Persepsi ini berpotensi merusak kredibilitas institusi kepresidenan, mengaburkan garis batas antara kepentingan negara dan preferensi individu, serta menciptakan ketegangan politik.
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Meski demikian, dari perspektif hukum, tindakan presiden menyatakan dukungan tidak secara eksplisit melanggar aturan, asalkan tidak disertai dengan penyalahgunaan fasilitas negara atau kekuasaan untuk menguntungkan kandidat tertentu. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat adalah hak dasar, termasuk bagi presiden. Dukungan politik, selama dilakukan secara terbuka dan sesuai koridor hukum, dapat dianggap sebagai bagian dari partisipasi aktif seorang warga negara. Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah apakah hal tersebut sesuai dengan tanggung jawab etis seorang kepala negara?
Pendukung langkah Jokowi mengemukakan bahwa seorang presiden tetap memiliki hak politik sebagai individu. Sebagai seorang warga negara, presiden juga memiliki kebebasan untuk mendukung calon yang dianggap mampu membawa perubahan positif. Dalam kasus Ridwan Kamil, dukungan ini dapat dilihat sebagai upaya mendorong masyarakat untuk memilih pemimpin dengan kapasitas dan integritas. Selain itu, dukungan terbuka terhadap calon tertentu sering dianggap sebagai bagian dari tradisi politik di banyak negara. Politisi, termasuk presiden, kerap menunjukkan keberpihakan mereka selama proses demokrasi berlangsung, selama tidak disertai pelanggaran hukum.
Namun, sisi kontra terhadap langkah ini tidak kalah kuat. Kritikus berpendapat bahwa presiden seharusnya menahan diri untuk tidak terlibat dalam dukung-mendukung kandidat, mengingat posisi presiden sebagai simbol persatuan bangsa. Ketika presiden mendukung salah satu pihak, stabilitas politik dapat terganggu, dan kepercayaan publik terhadap independensi pemilu dapat tergerus. Selain itu, meskipun secara hukum tidak melanggar, tindakan tersebut dinilai mencederai prinsip netralitas yang seharusnya dijaga oleh seorang kepala negara. Dampaknya tidak hanya terbatas pada arena politik, tetapi juga dapat memperburuk polarisasi di masyarakat.
Isu lain yang muncul adalah kekhawatiran bahwa dukungan presiden dapat menciptakan ketidakadilan bagi kandidat lain. Kandidat yang tidak mendapat dukungan dari tokoh penting seperti presiden mungkin merasa terdiskriminasi, sementara dukungan presiden cenderung memberikan keunggulan tidak langsung kepada kandidat yang diendors. Hal ini berpotensi memicu kecurigaan bahwa proses pemilihan tidak sepenuhnya bebas dari intervensi politik.
Pada akhirnya, tindakan presiden memberikan dukungan kepada calon kepala daerah berada di wilayah abu-abu antara hak pribadi dan tanggung jawab jabatan. Dalam situasi ini, publik memiliki hak untuk mempertanyakan prioritas seorang presiden: apakah lebih penting untuk menggunakan pengaruhnya guna mendukung kandidat yang dianggap terbaik, atau menjaga netralitas demi menjamin keadilan dalam demokrasi? Pilihan yang diambil presiden tidak hanya mencerminkan preferensi pribadi, tetapi juga menandai arah politik dan moralitas demokrasi Indonesia di masa depan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |