Peran Agama dalam Mengatasi Ketidakadilan Iklim

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Agama dan perubahan iklim menjadi topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini, perubahan iklim yang terjadi secara serius dibelahan dunia mendorong seluruh komponen terlibat dalam upaya pencegahan. Pada saat munculnya konsep kapitalisme iklim yang dinilai menjadi solusi ramah lingkungan dan berkelanjutan dengan produk pasar karbon nya dapat menangani persoalan perubahan iklim.
Dunia, nyatanya hanya dimanfaatkan sebagai upaya komodifikasi ekologi yang menyebabkan terjadinya krisis, walaupun pasar karbon dinilai mampu melakukan dekarbonisasi, nyatanya dekarbonisasi hanya malah merusak dan memperparah hubungan antara Negara maju dan Negara berkembang. Hal inilah yang kemudian membuat beberapa kelompok agamawan, akademisi, pengamat lingkungan dan masyarakat, banyak mengutuk pembangunan yang berbasiskan Growth atau pertumbuhan ekonomi.
Advertisement
Konsep inilah yang dinilai menyebabkan terjadinya perubahan iklim secara signifikan dibelahan dunia. Pada beberapa pertemuan dalam membahas isu terkait perubahan iklim, Negara-Negara maju dibidang industri lah yang sangat besar menghasilkan emisi karbon di dunia yang acap kali menolak kesepakatan terkait penurunan emisi gas rumah kaca.
Padahal kita ketahui bersama Negara-Negara maju dengan industrinya yang menggunakan bahan bakar fosil sangat besar menyumbangkan gas Carbon dioksida (C02) ke atmosfer, dan lebih parahnya lagi Negara-Negara maju membebankan kejahatan lingkungan pada Negara-Negara berkembang. Hal ini mengingat masih memiliki kawasan hutan tropis terbesar di dunia yang salah satunya adalah negara Indonesia.
Siasatnya adalah dengan memberikan bantuan pendanaan pada perusahaan-perusahaan multinasional termasuk lembaga lembaga keuangan internasional seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB) yang ditugaskan untuk mengurangi penurunan emisi gas rumah kaca yang mana hal ini hanya dijadikan untuk mentaati kesepakatan perjanjian Paris yang menginginkan hingga tahun 2050 kenaikan suhu bumi hanya 1,5 0C.
Perdagangan karbon yang di inisiasi oleh Negara-Negara maju sebenarnya adalah bencana bagi Negara-Negara berkembang, bagaimana mungkin emisi gas rumah kaca yang disumbangkan oleh Negara maju kemudian tanggung jawab oleh negara Berkembang. Pada saat yang sama Negara maju terus menyumbangkan industri ekstraktif yang memproduksi carbon dioksida ke atmosfer, kejahatan inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ketidakadilan iklim, dimana satu pihak merusak dan pihak lainya mengobati.
Persoalan keadilan iklim sebenarnya terjadi akibat beberapa faktor salah satunya ialah ketidakadilan Negara maju terhadap Negara berkembang dengan menutup akses keterlibatan Negara berkembang berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terkait perubahan iklim. Tak hanya itu Negara-Negara maju sangat mendominasi pengambilan peran dalam lembaga-lembaga yang berkaitan dengan persoalan ekonomi dan lingkungan.
Selanjutnya terjadinya ketidakadilan sosial yang disebabkan oleh rusaknya lingkungan menumbuhkan penyakit sosial seperti kemiskinan dan kesenjangan. Pasar carbon yang dinilai ramah lingkungan dan dapat menjadi solusi alternatif mengurangi gas efek rumah kaca ternyata hanya akal-akalan Negara maju dalam mengakumulasikan kekayaan dan pelimpahan tanggung jawab lingkungan pada negara berkembang.
Ada beberapa alasan yang membuat pasar karbon tidak efektif mengurangi gas efek rumah kaca: Pertama, pasar karbon acapkali dijadikan sebagai jalan ketidakadilan, mengapa demikian? faktanya anggaran yang didistribusikan untuk mekanisme pembangunan bersih atau (CDM) hanya disalurkan kepada negara yang berpendapatan menengah seperti India, Brazil, Dan China. Sedangkan negara berkembang tidak mendapatkan sama sekali anggaran tersebut, Artinya pembangunan berkelanjutan hanya sekedar akal akalan.
Kedua, lahirnya pasar karbon sebagai subsidi bahan bakar fosil justru mendorong polusi gas efek rumah kaca yang demikian besar, dan tentu keuntungan yang diperoleh oleh Negara maju dengan mengunakan pasar karbon meningkat signifikan. Ketiga, penerapan pajak konsumsi dalam perdagangan karbon semata-mata untuk membatasi perdagangan bahan bakar fosil, agar harga energi melambung tinggi.
Perdagangan karbon sebenarnya tidak memiliki dampak terhadap kestabilan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di Negara-Negara berkembang, melainkan pasar karbon adalah wajah kapitalisme baru yang difungsikan untuk mengeksploitasi sumber daya yang ada di Negara-Negara berkembang. Hal inilah yang kemudian mendorong para seluruh pemuka agama dan instansi agama ikut terlibat aktif menyuarakan isu keadilan iklim secara global, dan mentransformasikan ajaran agama sebagai upaya mewujudkan keadilan iklim.
Mengingat bahwa ajaran agama syarat dengan nilai nilai keadilan, pelestarian alam, mencintai sesama makhluk serta menjaga lingkungan. Tak hanya itu, ajaran agama juga menolak segala bentuk penindasan, eksploitasi yang dilakukan antar manusia karena dapat menyebabkan kemiskinan, kesenjangan dan keterbelakangan. Menolak segala bentuk eksploitasi manusia terhadap sumber daya alam karena dapat merusak ekosistemnya.
Oleh karena itu, para pemuka agama dan institusi agama tak boleh lagi tinggal diam melainkan sudah waktunya ikut terlibat aktif menyuarakan isu keadilan iklim dalam forum-forum tinggi dunia, guna melawan ketidakadilan iklim yang dilakukan oleh negara negara maju. Adapun upaya mengatasi persoalan keadilan iklim membutuhkan beberapa metode baik dari model preventif, efektif hingga sistemik.
Hal ini bertujuan untuk menganalisis persoalan dasar bukan dampak dan penyebabnya, dalam perubahan iklim misalnya penyebab dominannya adalah pembukaan lahan dan konsumsi bahan bakar fosil yang berlebihan. Sedangkan untuk dampak langsung ialah terjadinya krisis pangan dan energi, naiknya permukaan air laut, banjir dan badai, pemanasan global, bencana alam, punahnya keanekaragaman hayati, terjadinya migrasi manusia dan hewan, pengasaman laut, serta gangguan ekologi.
Masalah utama dari terjadinya kerusakan ini bukan lain adalah kerja kapitalisme melalui hubungan kekuasaan dengan sistem yang eksploitatif. Adapun cara alternatif lain yang bisa digunakan untuk menangani persoalan ketidakadilan iklim ialah dengan menyajikan isu perubahan iklim dalam bidang pendidikan mulai dari sekolah dasar, menengah, atasan, hingga perguruan tinggi serta dalam kegiatan keagamaan.
Kedua, ikut berpartisipasi dan berperan aktif dalam mengadvokasi iklim serta mendorong kebijakan yang yang ramah lingkungan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, serta melindungi masyarakat yang rentan akibat perubahan iklim.
Ketiga, ikut terlibat aktif dalam mengadvokasi keadilan lingkungan, khususnya pada kelompok marginal yang terkena dampak kerusakan lingkungan.
Keempat, ikut mengkritisi dan menyuarakan investasi yang dilakukan oleh instansi keagamaan, serta mendorong lembaga-lembaga agama turut menolak investasi yang berdampak terhadap kerusakan lingkungan, hal ini ditujukan agar agama benar benar mampu menjadi penggerak utama dalam menolak keras ketidakadilan iklim.
Agama dengan nilai ajarannya harus mampu merespon persolan iklim hingga tahap praksis melalui gerakan yang mendorong kesadaran secara kolektif mengenai lingkungan dan keberlanjutan ekosistem yang ada didalamnya, hal ini sudah seharusnya menjadi tanggung jawab dan moral pemeluknya, dilain sisi para pemuka agama tak boleh lagi tinggal diam dan memilih sikap aman.
Tokoh-tokoh agama sudah seharusnya melibatkan diri dalam organisasi, dalam forum-forum global mengkritik keras pendayagunaan karbon oleh Negara-Negara maju, serta melakukan kesepakatan-kesepakatan yang dapat mengatasi persoalan perubahan iklim. Pada tataran institusi, agama harus melakukan kerja-kerja konkrit dengan menolak kebijakan Negara yang tunduk terhadap kebijakan-kebijakan Negara maju yang ingin melakukan investasi yang dapat merusak lingkungan.
Tak hanya itu, institusi agama juga diharapkan mampu berkolaborasi dengan komunitas lintas agama, organisasi non pemerintah, dan masyarakat adat untuk melakukan kerja kerja kongkret dalam melindung alam dan ekologi, sehingga benar benar dapat mengatasi persoalan perubahan iklim.
Terakhir ajaran agama sudah sepatutnya dijadikan sebagai inspirasi akan penting menjaga alam dan seluruh ekosistemnya, mulai relasi antara manusia dan tuhan, relasi dengan sesama manusia dan relasi manusia dengan alam. Inilah yang kemudian harusnya menjadi hakikat atau pegangan manusia dalam menolak dan melawan barang siapa yang ingin merusak lingkungan.
Sudah saat nya tokoh Agama dan institusi Agama melek dan mengkampanyekan tema perubahan iklim dan kerusakan lingkungan menjadi kerja kerja harian, dengan demikian persoalan perubahan iklim bukan lagi tanggung jawab individu atau perseorangan melainkan tanggung jawab seluruh umat manusia yang ada di seluruh planet ini. (*)
***
*) Oleh : Hairiza Satia, Alumni Magister Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |