Kopi TIMES

Akhir Kriminalisasi Guru Honorer Supriyani

Selasa, 03 Desember 2024 - 07:55 | 45.31k
Mukani, Guru Ahli Madya di SMAN 1 Jombang Jawa Timur dan Penulis Buku Membaca Pendidikan Indonesia (2022)
Mukani, Guru Ahli Madya di SMAN 1 Jombang Jawa Timur dan Penulis Buku Membaca Pendidikan Indonesia (2022)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Perjuangan panjang guru honorer Supriyani akhirnya terjawab sudah. Pendidik di SDN 4 Baito Konawe Selatan Sulawesi Tenggara itu akhirnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Andoolo, Senin (25/22), bertepatan dengan peringatan hari guru. Ketiga hakim meyakini dia tidak terbukti bersalah (JawaPos, 26/11).

Kasusnya menuai perhatian publik. Bahkan dia sempat dipenjara di bulan Oktober 2024. Guru honorer lebih dari 16 tahun ini diadukan walimurid yang menuduhnya melakukan kekerasan di sekolah. Berbagai upaya mediasi sudah dilakukan dan gagal. Tentu ini adalah puncak perjuangan para pendukungnya selama ini. 

Advertisement

Rangkaian

Apa yang dialami Supriyani ini mirip dengan kejadian di sebuah SD swasta di Jombang. Pihak tersangka juga sama, seorang ibu guru dan berstatus honorer. Pelapornya juga sama, oknum walimurid yang berlatar belakang polisi. Untungnya kasus ini dihentikan karena tidak cukup bukti.  

Kasus ini bukan pertama kali terjadi menimpa guru. Namun seolah sudah menjadi rentetan berjejer. Bahkan, tidak jarang justru sang guru menjadi korban kekerasan di sekolah. 

Modus pelaku kejahatan terhadap guru biasanya berawal dari hal sepele. Bahkan sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Nafsu arogan dan emosional sesaat menjadikan kasus kecil ini semakin runyam. Bahkan berdampak besar ke khalayak ramai. 

Salah satu contohnya yang sempat heboh adalah kasus Budi Cahyono (2018). Guru honorer pelajaran kesenian di SMAN 1 Trojun Sampang yang meninggal dunia karena dihajar muridnya sendiri. Sedangkan Ali Fatkhur Rohman (2023), guru aliyah Yasua Demak Jawa Tengah, dibacok muridnya. 

Muhammad Dasrul (2016), guru SMKN 2 Makasar, tulang hidungnya patah karena dipukul walimurid. Contoh lainnya kasus yang menimpa Muhammad Samhudi Sidoarjo (2016), Nurmayani Salam di Bantaeng Sulawesi Selatan (2016), Jamilah di Mampawah Kalimantan Barat (2016), Muhammad Arsal di Benteng Selayar Sulawesi Selatan (2016) dan lainnya.

Berbagai kasus tersebut telah banyak menyita waktu dan menjadi headline di berbagai media massa. Tentu belum semuanya. Masih ada kasus remeh temeh yang sebenarnya bisa diselesaikan jika prosedur di sekolah diikuti. Baik melalui walikelas, guru konseling ataupun komite sekolah. Jadi tidak lantas bersikap reaktif saat murid menerima sanksi dari guru. 

Dibutuhkan langkah konkrit dan komprehensif agar kasus-kasus ini tidak terulang. Ini karena sebenarnya yang dilakukan guru masih dalam batas wajar. Artinya, hukuman yang diberikan masih bersifat mendidik. Tidak bermaksud menyakiti, apalagi menganiaya. Itupun diberikan karena murid melakukan kesalahan. Bukan dilakukan “seenaknya” saja oleh guru.

Membangun Trust

Guru tetap membutuhkan perlindungan saat melaksanakan tugas profesinya. Sanksi yang diberikan kepada murid tetap dalam koridor proses pembelajaran. Itupun dilakukan masih dalam taraf wajar. Meski pemahaman walimurid yang berbeda menjadi tantangan tersendiri. 

Ini juga sebagai bukti komitmen walimurid bahwa si anak sudah dipasrahkan kepada sekolah untuk dididik. Pada titik ini, sosialisasi yang baik antara sekolah dan walimurid harus terwujud. Fungsi komite sekolah masih perlu ditingkatkan lagi agar berperan lebih maksimal. Sehingga kasus-kasus salah paham seperti guru Supriyani ini ke depan tidak terulang. 

Organisasi profesi keguruan masih harus ditingkatkan lagi perannya. Tidak sekedar aktif setelah kasus hukum menimpa salah satu anggotanya. Pemahaman yang baik tentang batasan-batasan hukuman kepada murid harus lebih diperjelas. Sehingga guru tidak keliru saat memberikan sanksi dalam mendisiplinkan murid. 

Antara walimurid dengan pihak sekolah harus terikat dalam sebuah kepercayaan (trust). Anak merupakan amanat dari walimurid yang harus dibelajarkan oleh sekolah, terutama guru. Murid harus memperoleh ilmu dan etika. Keduanya harus berjalan secara seimbang.

Fakta ini berbanding lurus dengan pemahaman walimurid terhadap konsep bangun trust. Pemahaman komprehensif bahwa guru adalah orang tua murid di sekolah belum mewujud. Artinya, walimurid terkadang tidak justru memotivasi anaknya untuk taat kepada guru. 

Namun sering menelan mentah-mentah informasi yang diberikan anak tentang perlakuan guru. Ironinya, reaksi yang diambil tidak melakukan klarifikasi terlebih dulu. Pada titik ini, aksi kekerasan menjadi respon yang diberikan secara spontan.

Aparat penegak hukum perlu juga lebih jernih menangani kasus terkait keguruan. Jika bisa diselesaikan secara damai di luar persidangan, maka tidak perlu dipaksakan untuk dilanjutkan. Terlebih jika tidak ditemukan alat bukti yang cukup.

Jika komitmen ini bisa dipahami dalam benak semua stakeholders, maka kekerasan kepada guru tidak akan terulang di masa mendatang. Meski semua pihak harus tetap turut serta aktif untuk tetap mengawal perkembangan anak dalam proses pendidikan. Terlebih dari pihak walimurid. 

Koreksi dan kritik tetap harus diberikan. Namun dengan cara santun dan bersifat membangun. Bukan aksi premanisme yang mencederai wajah dunia pendidikan. Apalagi jika sudah ada tendensi kriminalisasi kepada guru. 

Guru merupakan profesi dengan berbagai kompetensi yang dimiliki. Sehingga keberadaannya harus bisa dihargai semua pihak. Terlebih walimurid yang sudah menitipkan anak ke sekolah. 

Ini karena profesi guru juga memiliki kode etik yang dihormati. Tidak sekedar mengajar untuk memperoleh upah. Namun sudah menjadi profesi mulia untuk membentuk generasi bangsa bermutu bagi bangsanya. (*)

***

*) Oleh : Mukani, Guru Ahli Madya di SMAN 1 Jombang Jawa Timur dan Penulis Buku Membaca Pendidikan Indonesia (2022).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES