Kopi TIMES

Pilkada dan Dinamika Demokrasi: Jalan Panjang Menuju Kedewasaan Politik

Rabu, 04 Desember 2024 - 12:57 | 22.47k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Demokrasi di Indonesia, khususnya selama pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), menjadi salah satu perhatian utama dalam perjalanan bangsa menuju sistem politik yang matang. Pilkada merupakan representasi nyata dari demokrasi, di mana rakyat memiliki hak langsung untuk memilih pemimpin daerah.

Namun, di balik semangat demokrasi ini, tersimpan tantangan besar yang kerap muncul. Salah satu di antaranya adalah ketidakdewasaan sebagian masyarakat dalam memahami dan menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, khususnya ketika hasil Pilkada tidak sejalan dengan preferensi mereka.

Advertisement

Kondisi demokrasi Indonesia saat ini menunjukkan bahwa perjalanannya masih jauh dari sempurna. Berdasarkan data terbaru dari Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), kualitas demokrasi di Indonesia berada pada kategori sedang.

Indikator seperti kebebasan sipil, hak-hak politik, dan keberfungsian institusi demokrasi menunjukkan banyak celah yang perlu diperbaiki. Salah satu sorotan utama adalah lemahnya budaya hukum dan ketidakmampuan masyarakat dalam menerima hasil Pilkada dengan jiwa besar.

Situasi ini sering kali memicu protes berlebihan, penyebaran berita palsu, bahkan konflik horizontal antarpendukung kandidat. Fenomena ini mencerminkan rapuhnya fondasi demokrasi di Indonesia, di mana perbedaan politik kerap kali memicu polarisasi daripada mendorong diskusi yang sehat.

Presiden Joko Widodo telah beberapa kali menegaskan pentingnya mengubah arah demokrasi Indonesia menjadi demokrasi gagasan, yang berlandaskan pada ide-ide yang memperkaya perdebatan publik. Sayangnya, yang terjadi adalah pengkultusan individu atau kelompok tertentu, yang sering kali menjadi pemantik konflik dan menghambat terciptanya pemerintahan yang efektif. Ketidakdewasaan ini tidak hanya merusak nilai-nilai demokrasi, tetapi juga berpotensi mengancam stabilitas sosial dalam skala yang lebih besar.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedewasaan dalam demokrasi menjadi hal yang sangat krusial. Sebuah demokrasi yang sehat bukan hanya ditentukan oleh tingginya angka partisipasi pemilih, tetapi juga oleh bagaimana masyarakat menerima hasil pemilu dengan lapang dada dan menghormati perbedaan pandangan politik.

Ketidakdewasaan dalam menerima hasil Pilkada sering kali memunculkan aksi-aksi destruktif, seperti demonstrasi yang berujung pada kerusuhan atau serangan verbal di media sosial. Ini mencerminkan rendahnya pemahaman akan hakikat demokrasi sebagai mekanisme untuk mencari jalan tengah dalam perbedaan, bukan sebagai arena untuk memaksakan kehendak.

Di negara-negara dengan demokrasi mapan, kedewasaan masyarakat menjadi faktor kunci yang menentukan keberhasilan sistem demokrasi. Menerima perbedaan hasil pemilu bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga manifestasi dari kesadaran kolektif bahwa demokrasi adalah cerminan suara mayoritas. Tidak semua keputusan akan memuaskan semua pihak, tetapi penghormatan terhadap proses demokrasi menjadi landasan yang menjaga keberlangsungan sistem tersebut.

Untuk mencapai kedewasaan demokrasi, pendidikan politik menjadi elemen fundamental yang harus diperkuat. Pendidikan ini tidak hanya terbatas pada pembelajaran formal di sekolah, tetapi juga melalui kampanye-kampanye inklusif yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Dengan pemahaman politik yang lebih baik, masyarakat dapat diajak untuk melihat Pilkada sebagai mekanisme demokrasi yang adil dan transparan, di mana kekalahan bukanlah akhir, melainkan bagian dari dinamika politik yang wajar.

Selain itu, peran media sosial dalam mendiseminasi informasi politik juga perlu diarahkan ke arah yang lebih positif. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk memberantas penyebaran hoaks dan ujaran kebencian, yang sering kali memperkeruh suasana pasca-Pilkada. Media sosial seharusnya menjadi ruang diskusi yang sehat, bukan arena untuk memperbesar polarisasi.

Demokrasi yang matang memerlukan waktu dan komitmen bersama dari semua elemen bangsa. Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi negara dengan demokrasi yang stabil dan efektif, tetapi ini hanya dapat tercapai jika masyarakatnya mampu belajar dari setiap tantangan yang dihadapi. Menerima perbedaan pandangan politik, menghormati hasil Pilkada, dan fokus pada pembangunan bersama adalah langkah-langkah penting menuju demokrasi yang lebih dewasa.

Dengan membangun budaya politik yang inklusif dan toleran, Indonesia dapat menjadikan demokrasi sebagai kekuatan yang mempersatukan, bukan memecah belah. Masa depan demokrasi Indonesia ada di tangan rakyatnya sendiri, dan kedewasaan dalam berdemokrasi akan menjadi kunci utama untuk mencapainya.***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES