Kopi TIMES

Kecurangan yang Sempurna

Kamis, 05 Desember 2024 - 17:00 | 45.68k
Igrissa Majid, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network
Igrissa Majid, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sulit untuk meyakini jemari-jemari sebagian besar populasi Maluku Utara (Malut) menari secantik gambar di kertas suara, mencoblos dengan hati nurani yang jujur dan menjunjung kebenaran sejati. Justru ada dugaan politik uang, ancaman akan jabatan, pengerahan ASN, dan kemanusiaan palsu. Hal-hal semacam ini nyata terjadi, dipertontonkan dengan narasi politik yang konon kontemporer. Bahkan disulap sebobot mungkin: sungguh kecurangan yang sempurna.

Apakah kecurangan sempurna? Jika pada akhirnya capaian perolehan suara dianggap tidak demokratis dan terindikasi pelanggaran secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), lantas apakah Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membatalkan hasil Pilkada? Jika Pemohon mampu memotretnya dengan baik untuk menarik benang merahnya, maka di sini kita dapat menilai bahwa ternyata benar adanya indikasi atau dugaan pelanggaran yang dipraktikkan secara TSM.

Advertisement

Kecurangan Sempurna

Butuh kejujuran kolektif untuk mengakui, bahwa dokumentasi Pilkada di Maluku Utara setiap periode di dalamnya tersusun sejarah kecurangan. Tidak ada yang bersih, jujur, apalagi adil. Upaya memanipulasi kebijakan yang menguntungkan sepihak sungguh nyata, tidak hanya di tingkat provinsi, melainkan juga berlangsung di tingkat kabupaten/kota. Problem Malut hari ini adalah soal itu, tentang ketidakjujuran, keculasan, dan cara-cara kotor yang dipaksakan untuk meraih jabatan mentereng. 

Akan tetapi, dalam pemberitaan nasional diakui sebagai Pilkada paling demokratis. Setidaknya itu yang sedang kita saksikan di Malut saat ini. Banyak media menampilkan ada pasangan calon (Paslon) tanpa money politic, dari kalangan minoritas, dan dadakan muncul di panggung politik ternyata mampu membongkar tradisi lama di mana fanatisme, taklid buta, nilai primordialisme, fan behavior, atau bisa saja kata lain dari semua itu sebagian publik menilai lebih baik melihat sisi selebritas seseorang daripada perilaku politisi.

Tapi mari kita pergi pada paradoksal yang menggerus nilai integritas pilkada Malut karena diduga terjadi kecurangan secara TSM. Rujukan atas indikasi ini adalah praktik yang meluas, terorganisir dan sempurna guna mempengaruhi proses hingga hasil Pilkada secara tidak adil. Tentunya, tiga unsur ini dapat kita pertanyakan untuk mengukur secara objektif baik dari sisi kekurangan dan kelebihannya masing-masing.

Pertama, soal dugaan kecurangan terstruktur yang barangkali oleh banyak kalangan sudah memahaminya. Akan tetapi harus dilihat bahwa ada standar yang harus dikaji untuk mengukur elemen atau unsur-unsur kategori “terstruktur” terpenuhi atau tidak, sehingga pengajuan sengketa ke Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terganjal akibat ketidakpahaman konseptual berikut ketentuan teknisnya. 

Kedua, meskipun margin kemenangan cukup tinggi, tetapi sepanjang soal kecurangan “sistematis” tidak dapat hanya sebatas pendalilan, melainkan unsur sistematis harus merujuk pada bukti kecurangan mulai sebelum, selama, dan sesudah Pilkada terdapat kecurangan yang dipersiapkan serba beres. Maka, mudah bagi pihak yang dirugikan menempuh jalur hukum.

Ketiga, problem kecurangan masif adalah soal bagaimana perolehan suara harus diukur dengan kuantitas sebaran pemilih di semua daerah Malut di setiap jenjang, sehingga MK dapat menilai tuduhan kecurangan berimplikasi pada hasil perolehan suara ternyata benar. Tetapi ini tergantung bagaimana penguatan dalil atau argumentasi yang dikemukakan seiring dengan kualitas pembuktian.

Pembuktian indikasi kecurangan TSM memang bukan sesuatu yang baru dalam diskursus politik dan hukum di Indonesia, sehingga tidak perlu terkejut ketika praktik tersebut terjadi. Jadi semua aspek dalam standar TSM memang harus terpenuhi secara keseluruhan selama itu menjadi frasa dalam dalil yang diajukan kepada MK. Mulai dari indikasi adanya surat suara yang sudah tercoblos sebelum pemungutan, dugaan politik uang, manipulasi suara, dan dugaaan ketidaknetralan pejabat, dll.

Sehingga, jika semua dalil TSM dapat dibuktikan, dan dapat terpenuhi secara keseluruhan, dan/atau terpenuhi salah satunya sepanjang unsur pembuktiannya signifikan, maka dalil tersebut bukan hanya digunakan untuk menggambarkan apa yang terjadi, melainkan dapat menjadi pintu masuk untuk memenuhi hambatan masuk ke MK. 

Alasan Pembatalan Hasil

Akan tetapi, lagi-lagi ini soal kemampuan dalam hal pembuktian. Ranah ini menjadi tantangan bagi Pemohon. Tetapi pertanyaannya adalah, apakah dengan selisih suara melebihi ambang tiga persen sesuai jumlah DPT Maluku Utara yang hanya di bawah satu juta MK tetap menerimanya? 

Pada prinsipnya, dalil pelanggaran secara TSM  adalah untuk mengatasi ambang batas hasil perolehan suara. Tujuannya adalah keadilan substansial. Hal ini dapat dirujuk pada putusan MK Nomor 41/PHPU.D-VI/2008, yang mengadili perkara yang diajukan Kuasa Pemohon dari Paslon Gubernur Jawa Timur, yakni Khofifah Indar Parawansa dan Mudjiono. Inilah sisi historis kali pertama MK membuat lompatan baru dengan membuat model pemeriksaan tidak hanya melalui pembuktian angka-angka.

Meski putusan tersebut terdapat berbagai perbedaan pandangan para ahli. Di satu sisi disebut sebagai terobosan, dan dianggap sebagai pelanggaran hukum oleh sebab pertimbangan hakim yang memerintahkan untuk diadakan pemungutan suara ulang di sisi lain. 

Akan tetapi, terlepas dari perdebatan tersebut, harus dilihat bahwa sifat putusan MK adalah final and binding dan bersifat erga omnes. Sekaligus langkah pembongkaran formalisme hukum, sehingga dapat diberlakukan dalam konteks perkara yang terjadi akan datang (prospektif).

Selain putusan di atas, dapat kita baca kembali putusan MK Nomor 135/PHP.BUP-XIX/2021 yang telah mengabulkan permohonan Pemohon. Salah satu poin dalam argumentasi Pemohon adalah mengacu pada putusan MK 2008. Menurut Kuasa Pemohon, dalam putusan tersebut pada pokoknya MK mendasarkan pada pendekatan keadilan substantif untuk mempersoalkan electoral process. 

Kuasa Pemohon juga mengingatkan bahwa MK pernah secara tegas dalam putusan yang sama berwenang untuk memaknai jalur penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah tidak bersifat limitatif pada penyelesaian perselisihan, melainkan menempuh langkah heteronom agar memeriksa dan mengadili pelanggaran yang mempengaruhi hasil dari Pilkada.

Karena itu, pada Pilkada Malut tidak dapat dijadikan alasan bagi pihak Termohon bahwa selisih suara melebihi ambang batas di atas 3 persen akan sulit untuk masuk ke MK. Justru TSM merupakan senjata ampuh yang dapat membunuh dalil ambang batas tersebut. Syarat utamanya harus terpenuhi semua kriteria TSM dan/atau salah satunya sebagaimana saya jelaskan di atas. 

Artinya, TSM dapat menjadi pendobrak akan ambang batas perolehan, karena pemaknaan TSM sendiri bersandarkan pada asas luber dan jurdil, sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap asas tersebut maka persentase ambang batas sulit menjadi penghalang di MK. 

Jadi, setidaknya untuk memperkuat argumentasi hukum Pemohon dalam permohonan ke MK, maka dua putusan tersebut di atas sudah dapat menjadi gambaran mutlak untuk mengajukan permohonan berdasarkan prinsip Pari Materia, sebab dapat dikategorikan ada dua kekuatan hukum yang memiliki metode pemeriksaan yang sama atau serupa.

Selain TSM, alasan kuat lain yang boleh digunakan adalah doktrin keadilan substantif sepanjang pelanggarannya berpengaruh signifikan terhadap proses berlangsungnya Pilkada. Untuk menguatkan pandangan ini, saya merujuk catatan Pan Mohamad Faiz (2019), Peneliti senior MK,  bahwa kriteria TSM sebagaimana disebutkan di atas sebenarnya dapat membatalkan hasil Pilkada karena tahapan pembuktiannya dapat dilakukan secara kumulatif atau secara alternatif terhadap salah satu kriteria TSM. 

Menurutnya, frasa pembatalan dapat dilakukan oleh MK jika sepanjang pelanggaran tersebut memiliki signifikansi terhadap perubahan tingkatan perolehan suara di setiap jenjang. Ini persis dengan prinsip Falsus in Uno Falsus in Omnibus dimana sebagian bukti meski tidak dapat ditemukan lagi.

Tetapi residunya cukup membuktikan suatu kesalahan/pelanggaran. Dengan kata lain, sebagai aturan umum, hukum melihat pada fakta-fakta tertentu dari cerita yang sama salah, maka keseluruhan argumentasi juga salah. Jadi butuh kehati-hatian.

Itulah cara pandang yang berprinsip kepada doktrin keadilan substantif, dan asas luber dan jurdil. Secara teoretis, prinsip keadilan substantif adalah gagasan untuk mencapai keadilan sehingga hasil aktual dari proses hukum lebih mengarah kepada pentingnya isi dan dampak hukum, bukan sekadar aspek proseduralnya. 

Dalam penjabaran Black’s Law Dictionary oleh Brian A. Garnaer (2009), bahwa “Justice fairly administered according to rules of substantive law, regardless of any procedural errors not affecting the litigant’s substantive rights.” Pendefinisian ini adalah menekankan kepada peraturan hukum substantif yang memisahkan  dari kesalahan prosedural.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri ulasan ringan ini, saya mengutip pandangan Gustav Radbruch bahwa peraturan perundang-undangan yang ditopang melalui kekuasaan negara namun dalam pelaksanaannya telah mencederai nilai kepentingan umum, peraturan tersebut menjadi lumpuh sehingga dimensi keadilan harus dijunjung. 

Penelaahan dari pandangan Radbruch juga berimplikasi kepada Nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria, yang mana tidak boleh seorang pun mengambil keuntungan oleh kesalahan/pelanggaran yang dilakukannya sendiri. Hal ini bertalian dengan pepatah latin yang kurang lebih serupa, “Commodum ex injuria sua non habere debet.” (Pelaku tidak boleh mendapat keuntungan apapun dari perbuatannya).

***

*) Oleh : Igrissa Majid, Direktur Indonesia Anti-Corruption Network.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES