
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Kemenangan luar biasa Trump, yang akan mengembalikannya ke Gedung Putih setelah kekalahannya dari Joe Biden pada tahun 2020, terjadi pada saat masifnya kekacauan dan kekerasan di Timur Tengah. Meskipun ada preseden selama empat tahun, yang memberikan wawasan tentang kebijakan potensial Trump terhadap isu-isu seperti Israel-Palestina, hubungan AS-Teluk, dan Iran, ada alasan kuat untuk percaya bahwa pendekatannya terhadap kawasan tersebut mungkin berbeda dari masa lalu.
Berkaitan dengan hal itu, satu hal yang ada di benak kita semua, apakah kemenangan Donald Trump baik atau buruk? Tentu saja hal itu adalah pertanyaan yang ditujukan untuk orang di luar Amerika, terutama masyarakat Timur Tengah. Warga Palestina di kota terbesar di Tepi Barat tampaknya telah mencapai konsensus sementara, bahwa hasil pemilu AS tidak memiliki dampak nyata disini karena keadaan bisa saja lebih buruk.
Advertisement
Subalternitas Rakyat Palestina
Jika kita melihat rakyat Palestina saat ini, tidak hiperbolis jika kita memposisikan mereka sebagaimana subaltern dalam pemahaman Gramscian. Istilah subaltern awalnya berasal dari tulisan Gramsci Prison Notebook: Catatan-catatan dari Penjara (Gramsci, 2013) yang dipergunakan secara bergantian dengan istilah ‘subordinat’ dan ‘instrumental’ yang terorientasi terhadap ‘kelas-kelas non-hegemonik’.
Di sisi lain, ‘subaltern’ bagi Ernensto Laclau dan Chantal Moufee lebih bersifat politis. Mereka mengintegrasikan istilah tersebut dengan kegagalan sejarah Persekutuan antara kelas proletariat industrial yang berbasis di Italia Utara dengan kaum petani di Italia Selatan.
Melalui perspektif ini, istilah ‘subaltern’ terasa lebih linier dan menemukan signifikansi terhadap masyarakat Palestina, layaknya kontekstual kaum petani Italia Selatan dalam altar perspektif Grmasci yang “pencapaian sosial-politiknya terbatas dan kesatuan politiknya lemah” (Morton, 2018).
Kehidupan mereka yang senantiasa dalam bahaya dan potensinya sebagai warga negara yang tereksklusi dari tanah kelahiran selalu membayang di pelupuk mata. Apalagi dengan terpilihnya kembali Trump sebagai presiden, anasir subalternitas terhadapnya kian nyata.
Sebagaimana telaah Imran Khalid dalam Anadolu Ajansı (2024), bahwa bagi Netanyahu, masa jabatan kedua Trump menjanjikan penyelarasan baru dalam kebijakan Timur Tengah, dengan kedua pemimpin sepakat untuk melawan semua elemen anti-Israel.
Meskipun hubungan mereka mendingin menjelang akhir masa jabatan pertama Trump, khususnya setelah Netanyahu dengan cepat memberi selamat kepada Joe Biden atas kemenangannya pada tahun 2020, sebuah isyarat yang dianggap Trump sebagai pengkhianatan, keduanya memiliki ikatan ideologis yang dalam.
Kali ini, Netanyahu tidak menunggu. Dia dengan antusias memuji "kembalinya Trump yang terhebat" bahkan sebelum hasil akhir pada tanggal 5 November. Menambah paduan suara, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, dengan bersemangat merayakan potensi kembalinya Trump sebagai kesempatan untuk menyerang "poros kejahatan yang dipimpin oleh Iran."
Sebagaimana sebuah satire Julian Borger dalam The Guardian (2024) dalam menggambarkan Trump, "Biden akan berkata di depan umum: 'Kami tidak mencoba membuat Gaza kelaparan, kami mencoba memberi mereka bantuan pangan,' sambil mendukung tentara Israel.
Trump akan mengatakannya dengan jelas, bahwa kami mencoba menyingkirkan orang-orang ini dan itu. Dia tidak akan bermain-main dengan upaya untuk membuat dirinya terdengar seperti seorang yang berperikemanusiaan.”
Semua konsekuensi terburuk dari kemenangan Trump, dari hilangnya kebebasan, terkikisnya keadilan, keruntuhan ekonomi dan, bagi sekutu AS, kemungkinan campur tangan tetangga yang agresif dan perang yang menghancurkan, sudah menjadi kenyataan bagi sebagian besar warga Palestina.
Hal ini didukung dengan argumentasi Muhammad Ayyash dalam Aljazeera (2024), yang menilai bahwa banyak pengamat telah meramalkan bahwa pemerintahannya akan jauh lebih buruk bagi Palestina dan Timur Tengah. Retorikanya yang pro-Israel dan ancamannya untuk mengebom Iran, kata mereka, menunjukkan niat kebijakan luar negerinya.
Selain itu, jika kita cermati kebijakan luar negeri AS selama delapan tahun terakhir, tidak akan ada perubahan mendasar bagi rakyat Palestina dan kawasan secara keseluruhan. Hal ini karena pemerintahan Presiden Joe Biden pada dasarnya melanjutkan kebijakan masa jabatan pertama Trump tanpa perubahan besar.
Meskipun mungkin ada kejutan dan perkembangan yang tidak terduga, pemerintahan Trump kedua akan melanjutkan arah yang sama seperti yang telah ditetapkan pada tahun 2017 dan Biden memutuskan untuk mempertahankannya pada tahun 2021.
Antagonisme Trump dan Kemungkinan Nasib Palestina Selanjutnya?
Sebagaimana pendapat Ahmad Morsi pada, “The Return of the “Disruptor-in-Chief”?” (2024), kembalinya Trump ke jabatan presiden kemungkinan akan meningkatkan ketidakpastian yang ada di bidang kebijakan dalam dan luar negeri. Slogan “America First” dan “Make America Great Again” akan kembali menjadi pusat perhatian, meskipun tidak menghasilkan keuntungan yang berarti, langsung, dan nasional.
Kebijakan Amerika di luar negeri di bawah Trump memiliki urusan yang belum selesai dari masa jabatan pertamanya pada tahun 2016-2020, khususnya hubungan dengan Tiongkok, Rusia, dan sekutu UE/NATO. Meskipun demikian, masa jabatan baru ini dimulai dengan perang yang sedang berlangsung di Ukraina dan Palestina, yang disumbangkan oleh pemerintahan Biden dengan senjata dan uang.
Trump dan timnya kemungkinan akan mendorong gencatan senjata atau kesepakatan damai sementara untuk menunjukkan kecakapan mereka dalam menciptakan perdamaian dan kemampuan untuk "menghentikan perang," seperti yang disebutkannya dalam pidato kemenangannya di Florida. Namun, pada saat pelantikan Trump berlangsung pada bulan Januari, banyak hal dapat berubah, termasuk upaya terakhir untuk gencatan senjata dan/atau perintah eksekutif simbolis oleh pemerintahan Biden.
Asumsi bahwa masa jabatan presiden Trump akan membawa perdamaian ke Timur Tengah merupakan pertaruhan berisiko tinggi, terutama dengan hubungan dekat antara Trump dan banyak rekannya di Israel. Hal ini tidak mungkin memperbaiki kondisi bagi Palestina atau menciptakan jalan yang berarti menuju negara Palestina.
Jika ada dua isu penting yang akan menjadi fokus pemerintahan Trump yang baru di Timur Tengah, mereka adalah menemukan jalan bagi normalisasi hubungan Saudi-Israel, dan kembalinya sanksi maksimum terhadap Iran.
Dalam konteks tersebut, konstruksi antagonisme AS dan terutama kemudian Trump, telah memberikan gambaran bagaimana rakyat Palestina di hadapkan pada pilihan yang pesimistik. Sesuai anasir David Hearst dalam Midle East Eye (2024), “mulai sekarang, tidak ada pembicaraan atau negosiasi dengan negara yang melakukan hal ini kepada rakyat Anda”.
Dua suara di parlemen Israel, Knesset, yang memperoleh suara bulat di antara anggota Knesset Yahudi Israel termasuk undang-undang untuk memveto negara Palestina, dan undang-undang yang melarang UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.
Kedua suara ini saja sudah memberi tahu warga Palestina bahwa mereka akan tertipu jika berpikir bahwa pemerintahan pasca-Netanyahu akan membawa keringanan dari pendudukan. Di Israel yang terpecah belah, satu-satunya hal yang dapat disetujui semua orang Yahudi adalah dua tindakan yang pada dasarnya membuat kehidupan warga Palestina, yang merupakan mayoritas penduduk, menjadi mustahil. Dalam kondisi ekstrem seperti itu, hanya ada dua alternatif: tidak melakukan apa pun dan mati, atau melawan dan mati. Ratusan ribu, bahkan jutaan, percaya pada pilihan terakhir.
Namun, bagaimanapun perspektif tersebut hanya konstruksi apriori terhadap kemungkinan sikap Trump setelah Kembali menjabat. Mungkin saja pesimisme tersebut menemui korespondensi, namun juga sebaliknya, jika pernyataan anti perang Trump itu benar, bisa saja terjadi perubahan kebijakan, biarpun kecil. Akan tetapi, skenario yang paling mungkin adalah adanya bisnis seperti biasa karena AS akan berusaha mempertahankan status quo. (*)
***
*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Dosen Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi, UAD.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |