Abul A’la Al Maududi Sebagai Lokomotif Peradaban Islam

TIMESINDONESIA, MALANG – Abul A'la al Maududi lahir pada tanggal 25 September 1903 di Aurangabad, India. Ia berasal dari keluarga terhormat dengan garis keturunan dari Nabi Muhammad SAW melalui ayahnya. Ayahnya, Ahmad Hasan, adalah seorang ahli fiqih dan pengikut tasawuf. Pendidikan awal al Maududi dipimpin oleh ayahnya sebelum ia melanjutkan ke sekolah menengah agama yang memadukan sistem pendidikan modern dan tradisional. Namun, ia harus meninggalkan pendidikan formal pada usia 16 tahun karena kematian ayahnya dan bekerja di penerbit Islam di Delhi sambil belajar secara otodidak.
Minat al Maududi dalam jurnalistik terlihat sejak usia muda. Pada usia 17 tahun, ia menjadi pemimpin harian Taj di Jabalpur dan kemudian memimpin harian al Jami'ah di New Delhi. Ketertarikannya pada politik tumbuh pada usia sekitar 20 tahun, dan karya pertamanya dalam bidang ini adalah "al Jihad fi al Islam". Pemikirannya banyak mempengaruhi dunia Islam, dan karya-karyanya diterjemahkan ke berbagai bahasa. Al Maududi juga memberikan kuliah di berbagai negara dan melakukan studi tour untuk mempelajari aspek geografi dan sejarah tempat-tempat tersebut.
Advertisement
Pada tahun 1953, al Maududi dijatuhi hukuman mati oleh pemerintah Pakistan karena tuduhan subversif terkait dengan sekte Ahmadiyah Qadani. Namun, hukuman ini kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup. Pemikiran dan karyanya terus memberikan pengaruh besar di dunia Islam hingga saat ini.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Teori politik Islam yang dikembangkan oleh al Maududi tampak menarik dan "ganjil" dalam perspektif teori politik modern atau sekuler. Keunikan teori politik al Maududi terletak pada konsep dasarnya yang menegaskan bahwa kedaulatan ada di tangan Tuhan, bukan manusia. Ini berbeda dengan teori demokrasi Barat yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat. Al Maududi melihat praktek demokrasi Barat sebagai kegagalan dalam menciptakan keadilan sosio-ekonomi, sosio-politik, dan hukum.
Menurut al Maududi, hak-hak politik rakyat hanya formalitas belaka yang dilaksanakan setiap empat atau lima tahun sekali, dan perlindungan hukum cenderung diberikan kepada mereka dari lapisan atas. Ini bertentangan dengan prinsip Islam, di mana setiap manusia adalah khalifah Allah dengan tanggung jawab yang sama dalam jabatan kekhalifahan. Dengan demikian, status setiap manusia adalah sederajat dalam masyarakat. Seorang penguasa yang bertindak semena-mena dianggap telah merampas hak-hak orang lain sebagai khalifah Allah.
Penolakan al Maududi terhadap kedaulatan rakyat didasarkan pada bukti praktek demokrasi yang sering menyeleweng dan pemahamannya terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan prinsip-prinsip negara Islam. Prinsip-prinsip tersebut meliputi otoritas dan kedaulatan tertinggi berada pada Tuhan, hanya Tuhan yang berhak memberikan hukum bagi manusia, dan pemerintahan yang menjalankan aturan-aturan dasar dari Tuhan wajib ditaati oleh rakyat. Pemerintah dalam hal ini bertindak sebagai badan pelaksana hukum Tuhan.
Pemikiran Utama Abul A’la al-Maududi adalah menerapkan konsep-konsep Islam secara murni baik perorangan maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Azas terpenting dalam Islam adalah tauhid, dan seluruh Nabi dan Rasul mempunyai tugas pokok untuk menyampaikan dan mengajarkannya kepada seluruh umat manusia (the unity of Godhead). Azas ini menekankan bahwa Allah satu-satunya Zat yang berkuasa dan memberikan prinsip-prinsip pokok otoritas. Semua prinsip, hukum, adat kebiasaan yang berbeda dengan petunjuk tuhan harus dijauhi, karena ini dipandang menolak kedaulatan tuhan. Menurut al-Maududi, kedaulatan ada di “tangan tuhan”,bukan di tangan manusia. Tuhan saja yang berhak memberi hukum bagi manusia, sementara manusia tidak berhak menciptakan hukum.
Hukum disini berarti norma-norma dasar bagi penciptaan masyarakat yang adil dan sejahtera. Ide al-Maududi adalah memahami Islam harus secara Interpretatif, maksudnya menggerakkan keshalehan dan Iman demi aksi politik. Ide untuk mengembangkan politik Islam bertujuan untuk menggantikan ideologi Barat yang menurut al-Maududi membawa kepada kekufuran, dan ini yang dianut oleh pemimpin intelektual muslim di Pakistan ketika itu. Pergulatan antara Islam dan kekufuran pada akhirnya akan membawa kepada revolusi Islam dan berdirinya negara Islam. Namun sebelum menciptakan negara Islam, terlebih dahulu perlu dilakukan Islamisasi masyarakat, karena keberhasilan negara Islam bergantung kepada legitimasi dari masyarakat.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |