Dilema Keadilan: Mahasiswa Terkatung-Katung atas Ketidakpastian Hukum

TIMESINDONESIA, MALANG – Baru-baru ini, publik diguncang oleh peristiwa pembunuhan yang menimpa seorang mahasiswa di Bangkalan, Madura. Korban adalah seorang mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura (UTM) yang tengah menempuh semester lima, asal Tulungagung. Sementara itu, pelaku yang juga berstatus mahasiswa, tercatat sebagai mahasiswa semester tujuh di salah satu perguruan tinggi swasta di Bangkalan.
Tragedi ini memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa. Presiden Mahasiswa (Presma) UTM bersama sejumlah mahasiswa lainnya menggelar unjuk rasa di depan kantor Polres Bangkalan, mendesak agar pelaku dijatuhi hukuman yang setimpal, bahkan hukuman mati atau minimal penjara seumur hidup. Mereka berpendapat bahwa beratnya hukuman perlu didasarkan pada fakta bahwa pelaku membawa senjata tajam yang digunakan untuk menghabisi nyawa korban.
Advertisement
Namun, dalam merespons tuntutan tersebut, penting bagi kita untuk meninjau perkara ini dari perspektif hukum yang lebih mendalam. Pantaskah pelaku dijerat dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup? Untuk menjawabnya, kita harus merujuk pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aspek Hukum dalam Kasus Pembunuhan
Sesuai dengan Pasal 30 KUHP, seseorang yang sengaja menghilangkan nyawa orang lain dapat dijatuhi hukuman mati atau penjara seumur hidup, asalkan pembunuhan tersebut dilakukan dengan perencanaan matang. Namun, jika pembunuhan tersebut terjadi tanpa adanya perencanaan sebelumnya, pelaku hanya dapat dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan biasa, yang ancaman hukumannya lebih ringan, yaitu penjara maksimal 15 tahun.
Dalam kasus ini, meskipun pelaku membawa senjata tajam yang dianggap sebagai alat pembunuhan, penyelidikan sementara mengungkapkan bahwa pelaku mengaku membawa senjata tersebut untuk alasan perlindungan diri, mengingat kondisi Bangkalan yang rawan tindak kejahatan begal, terutama di jalan-jalan sepi pada malam hari. Argumen ini perlu dipertimbangkan untuk menentukan apakah tindakan pelaku benar-benar merupakan pembunuhan berencana atau bukan.
Sampai saat ini, berdasarkan penyelidikan kepolisian, kasus ini lebih cenderung masuk dalam kategori pembunuhan biasa, dan pelaku belum dapat dijerat dengan Pasal 30 KUHP mengenai pembunuhan berencana. Proses penyelidikan masih berlangsung, dan pihak kepolisian terus mengumpulkan bukti-bukti yang lebih lengkap. Jika ditemukan bukti baru yang menunjukkan adanya perencanaan sebelumnya, pelaku bisa dijerat dengan pasal yang lebih berat.
Respons Kampus dan Pemerintah
Kasus ini bukan hanya mengguncang mahasiswa dan masyarakat, tetapi juga mengingatkan kita akan pentingnya perhatian terhadap ketertiban dan keamanan di lingkungan kampus. Tindak kekerasan seperti ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang bagaimana kampus dan pemerintah merespons isu keamanan di lingkungan pendidikan.
Sejumlah universitas di Indonesia mulai memperketat pengawasan terhadap kegiatan mahasiswa, baik di dalam kampus maupun di luar kampus, melalui berbagai kebijakan keamanan. Misalnya, banyak kampus yang mengadakan program pemantauan rutin terhadap mahasiswa, terutama di kawasan-kawasan yang rawan kejahatan. Beberapa kampus juga telah mengintegrasikan sistem keamanan digital, seperti aplikasi pelaporan dan pemantauan, untuk mendeteksi potensi ancaman.
Namun, di sisi lain, peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi mahasiswa juga sangat vital. Pemerintah perlu memperkuat kolaborasi dengan pihak kampus untuk memastikan bahwa keamanan kampus tidak hanya bergantung pada kebijakan internal, tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum dan instansi terkait.
Program-program yang mengedepankan pencegahan kejahatan, seperti penyuluhan tentang keamanan dan perlindungan diri, sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga keamanan bersama di kalangan mahasiswa.
Dalam konteks ini, pemerintah juga harus mengupayakan pembaruan regulasi terkait keamanan kampus. Hal ini termasuk peningkatan fasilitas dan sistem keamanan, serta penyuluhan tentang hak-hak mahasiswa dan bagaimana melaporkan kasus kekerasan atau ancaman terhadap keselamatan mereka.
Kasus Lain dan Tuntutan Keamanan di Kampus
Selain kasus pembunuhan ini, terdapat juga sejumlah kasus kekerasan lainnya yang melibatkan mahasiswa, seperti pelecehan seksual, perundungan (bullying), atau bahkan konflik antar mahasiswa yang berujung pada kekerasan fisik. Kasus-kasus semacam ini sering kali menyoroti lemahnya pengawasan dan kurangnya mekanisme yang memadai untuk menangani masalah kekerasan di kampus.
Sebagai contoh, beberapa tahun terakhir terdapat sejumlah laporan mengenai pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus, yang sering kali tidak mendapatkan penanganan yang sesuai. Meskipun beberapa universitas telah membentuk lembaga atau unit pengaduan untuk menangani masalah ini.
Namun respons terhadap kasus-kasus kekerasan masih dianggap kurang cepat dan transparan. Hal ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperkuat sistem pengaduan dan penyelesaian sengketa yang adil serta menjamin perlindungan bagi korban.
Tuntutan masyarakat dan mahasiswa untuk memberikan hukuman berat terhadap pelaku kejahatan seringkali dipicu oleh emosi, mengingat betapa tragisnya sebuah peristiwa kekerasan. Kita harus ingat bahwa hukum harus ditegakkan dengan objektif dan berdasarkan pada fakta-fakta yang ada. Setiap keputusan yang diambil oleh aparat penegak hukum harus mencerminkan prinsip keadilan, tidak terdistorsi oleh tekanan emosional atau opini publik.
Menjaga Keadilan dan Ketertiban
Kita sebagai masyarakat harus memberikan ruang bagi proses hukum untuk berjalan sesuai dengan prinsip keadilan yang objektif dan transparan. Memang, sangat wajar jika kita merasa terguncang dan marah atas kejadian-kejadian tragis seperti ini. Namun, kita harus mengedepankan asas praduga tak bersalah dan mempercayakan proses hukum kepada aparat yang berwenang.
Keamanan dan ketertiban di lingkungan pendidikan adalah tanggung jawab bersama, baik dari pihak kampus, mahasiswa, maupun pemerintah. Mengedepankan kebijakan keamanan yang lebih efektif, serta menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perkembangan mahasiswa, harus menjadi prioritas utama. Selain itu, masyarakat juga perlu lebih sadar akan pentingnya saling menjaga dan menciptakan lingkungan yang aman, di mana setiap individu bisa merasa terlindungi dan dihargai.
Meskipun tuntutan hukuman berat terhadap pelaku sangat dimengerti sebagai bentuk keresahan masyarakat, kita harus tetap menghormati proses hukum yang berlaku. Hukum bukan hanya untuk menjatuhkan hukuman, tetapi untuk memastikan keadilan ditegakkan bagi semua pihak yang terlibat. (*)
***
*) Oleh : Baihaqie, Kader HMI dan Mahasiswa Hukum Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |