Kopi TIMES

Republik Terjepit Kekuasaan

Selasa, 10 Desember 2024 - 10:15 | 18.84k
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan
Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kekuasaan, dalam banyak konteks sejarah dan sosial, sering kali menjadi landasan yang menentukan jalannya sebuah negara atau republik. Namun, relasi antara republik dan kekuasaan ini tidak selalu berjalan mulus dan sesuai dengan harapan luhur yang diinginkan oleh para pendiri negara. 

Dalam prakteknya, kekuasaan sering kali menjadi instrumen yang tidak hanya melanggengkan ketidakadilan, tetapi juga menyuburkan ketidakadilan, penindasan, dan pelanggaran hak asasi manusia. Kekuasaan yang dipraktikkan oleh seorang penguasa, yang seharusnya menjadi penjaga keadilan dan kesejahteraan rakyat, sering kali berbalik arah menjadi alat untuk mempertahankan status quo yang merugikan sebagian besar rakyat.

Advertisement

Sebagai ilustrasi, kita bisa melihat betapa kekuasaan yang terlalu terpusat di tangan satu individu atau kelompok tertentu dapat menciptakan ketimpangan sosial yang luar biasa. Di sini, kekuasaan tidak lagi bertindak sebagai pengatur untuk kebaikan bersama, tetapi malah menjelma menjadi tirani yang menekan kebebasan individu, memanipulasi hukum, dan mengabaikan hak asasi manusia. 

Pada titik ini, penguasa mulai melihat dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu, memandang rakyat bukan sebagai subjek yang memiliki hak dan martabat, melainkan sebagai objek yang harus tunduk pada keinginan dan kekuasaannya.

Praktik semacam ini mengarah pada sebuah sistem di mana keadilan bukan lagi sebuah prinsip yang dijunjung tinggi, tetapi sebuah alat untuk memperkokoh dominasi penguasa. Keadilan yang seharusnya menjadi fondasi bagi terciptanya harmoni sosial, kini terdistorsi menjadi alat yang hanya menguntungkan mereka yang berada di puncak kekuasaan. 

Ini bukan hanya menciptakan ketidakadilan sosial, tetapi juga membentuk struktur kekuasaan yang sangat otoriter. Di mana kebebasan berbicara dan berekspresi menjadi barang langka, bahkan bisa berujung pada represi yang brutal.

Tidak hanya itu, hubungan antara kekuasaan dan kemanusiaan pun menjadi semakin rumit dalam konstelasi politik semacam ini. Ketika penguasa menganggap dirinya sebagai pusat segala kebenaran, ia mulai mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya mendasari kebijakan publik. Kebijakan yang diambil lebih sering didorong oleh kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, dan bukan berdasarkan kebutuhan serta hak dasar rakyat. 

Akibatnya, kebijakan tersebut seringkali tidak mengutamakan kesejahteraan rakyat, apalagi memperhatikan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat. Korban dari situasi ini adalah mereka yang berada dalam kondisi paling rentan, yang terjebak dalam jurang kemiskinan, diskriminasi, dan ketidaksetaraan.

Dalam keadaan seperti ini, kekuasaan tidak lagi dilihat sebagai bentuk tanggung jawab moral, tetapi sebagai sarana untuk memperkaya diri dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri. Pembangunan yang seharusnya membawa kesejahteraan, justru hanya menguntungkan segelintir orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan. 

Ketidakadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya semakin melebar, menciptakan jurang sosial yang tak terjembatani. Bukan hanya itu, kesenjangan antara yang kaya dan miskin semakin tajam, sementara mereka yang berjuang untuk keadilan sering kali diabaikan atau bahkan disingkirkan dari panggung politik.

Di sisi lain, para penguasa sering kali mencoba melegitimasi tindakan mereka dengan berbagai dalih, mulai dari alasan keamanan negara hingga pembelaan terhadap nilai-nilai ideologi yang mereka yakini. Namun, dibalik retorika ini, banyak kebijakan yang justru memperburuk keadaan, dan semakin menjerumuskan masyarakat dalam ketidakpastian dan penderitaan. 

Penggunaan kekuasaan untuk menanggapi kritik atau perlawanan dengan cara-cara represif, seperti penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, hingga penyensoran media, hanya semakin memperburuk citra kekuasaan yang seharusnya bertugas untuk melindungi hak-hak rakyat.

Relasi antara republik dan kekuasaan ini semakin memperlihatkan betapa peliknya tantangan yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan keadilan. Dalam beberapa kasus, kita bisa melihat bahwa penguasa yang berusaha mempertahankan kekuasaan melalui cara-cara otoriter justru merusak landasan republik itu sendiri. 

Demokrasi yang seharusnya menjadi jantung republik, digantikan oleh sistem yang memperkuat kontrol penguasa, sementara rakyat, yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, malah dipinggirkan dalam pengambilan keputusan politik yang menyangkut nasib mereka.

Pada akhirnya, relasi republik dan kekuasaan yang tidak sehat ini menuntut kita untuk merenung, apakah sebuah republik yang didirikan dengan asas keadilan dan kemanusiaan masih bisa bertahan jika kekuasaan terus dibiarkan berkembang tanpa batas? 

Bagaimana sebuah negara yang seharusnya menjadi tempat bagi terciptanya kesejahteraan bersama, justru menjadi medan pertarungan bagi mereka yang berkuasa untuk mempertahankan posisi mereka dengan segala cara, bahkan dengan mengorbankan nilai-nilai dasar yang menjadi fondasi negara itu sendiri? 

Ini adalah pertanyaan yang menuntut kita untuk selalu waspada dan tidak lengah, agar kekuasaan tidak lepas kendali dan merusak sendi-sendi keadilan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hipotesis diatas ingin menguatkan sebuah harapan atas Kabinet Merah Putih untuk dapat menjadi sistem kekuasaan yang berada pada proposisi terbaik. Sehingga agenda besar tahun 2045 dapat terejawantahkan dengan sempurna. Itulah sebabnya Republik kita hari ini butuh pemimpin yang visioner dan berpijak pada asas kemanusiaan sebagai negara berbangsa. (*)

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES