Kopi TIMES

Surplus Sarjana, Erich Fromm dan Pembangunan Nasional

Selasa, 10 Desember 2024 - 16:58 | 25.00k
Abdur Rohman, Santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah sekaligus Mahasiswa STF Al-Farabi, Kepanjen, Malang
Abdur Rohman, Santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah sekaligus Mahasiswa STF Al-Farabi, Kepanjen, Malang
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Berdasarkan data PDDikti Kemdikbud dalam buku statistik tahun 2022, jumlah mahasiswa yang telah mendapat gelar sarjana mencapai 1.282.557 orang. Dengan kelulusan terbanyak di bidang pendidikan. Dari banyaknya mahasiswa yang bergelar sarjana, kenapa justru Indonesia belum segera mendapati kemajuan? Apakah mungkin kita bisa merealisasikan Indonesia Emas 2045?

Kalo kita berselancar di media sosial, tak jarang mendapati selebrasi para fresh graduate. Mereka merayakan dengan memposting gambar dirinya yang mengenakkan segala perlengkapan wisuda: toga, jubah gombrang hitam dan mengalungi almamater kampus serta buket yang dipegang bervariasi bentuknya. Tak lupa sanak keluarga diajak serta, bahkan mengajak calon istri atau suami yang boleh jadi bukan menjadi takdirnya.

Advertisement

Entah apa yang mereka rasakan, hadir perasaan bangga karena pencapaiannya atau senang karna sebentar lagi akan segera meminang seseorang atau dilamar oleh pujaan hatinya. 

Disorientasi Kebudayaan

Segera fenomena itu membikin saya mencitrakan bayang wajah Erich Fromm dalam pikiran. Beliau adalah seorang filsuf eksistensialisme dan juga psikolog. Dalam bukunya To Be or To Have?, pak Erich mengulas bahwa manusia tidak sepi dari hasrat ”ingin menjadi apa” dan “hendak dapat apa”. Artinya, manusia kerap kali terjebak dalam kubangan materialistik yang mana hal itu hanya tujuan semu dan orientasi nirmakna laksana fatamorgana.

Tentunya, latar belakang dari pendapat beliau tak lain karena konsep materialisme ala tradisi barat. Konsep itu sangat bertolak belakang dengan budaya timur, khususnya di Indonesia. 

Gus Dur dalam hal ini sudah mewanti-wanti dalam tulisannya “kalau kita secara serampangan menerapkan konsep - konsep barat-materiaslisme, hasilnya adalah kita akan kehilangan sesuatu yang besar tentang konsep budaya kita sendiri di masa lampau”.

Apa buktinya kalo kedua orientasi tersebut jauh dari jati diri manusia? Lebih-lebih, kontras dengan kebudayaan kita. 
Sebagai ilustrasi, jika seorang mahasiswa hanya berkutat pada dua tujuan itu, lantas apa bedanya ia dengan seorang yang tak terpelajar? 

Sejak ribuan tahun lalu, manusia purba pun tak lepas dari kedua hal itu. Menerkam sesama, menikam segolongan, bercinta dengan pasangan, bunuh-membunuh demi mendapatkan makanan, dan tindakan amoral lainnya yang justru menjadi kebenaran di zaman sekarang.

Apalagi di era konsumtif saat ini, post truth adalah fenomena yang sudah tak asing. Tindakan salah yang terus berulang seolah telah menjadi kebenaran, misalnya politik uang dari tingkat pemilihan kepala desa hingga presiden. Bahkan di kalangan akademisi seperti kampus-kampus, sudah menjadi hal lumrah dan membudaya. 

Tak jarang, masyarakat justru merasa heran apabila menjelang pemilu, pilkada atau pemilihan kepala desa tidak ada tim sukses yang mendatangi rumah lantas menawarkan rupiah dengan menggedor-gedor pintu di pagi hari sebelum menuju TPS, alias serangan fajar. 

Tak hanya itu, jual beli jabatan juga berseliweran dan menjadi hal yang lumrah-lumrah saja, terutama pasca dilantiknya presiden ke 8, ups.

Kita balik ke pak Erich, beliau, berbicara hal ini dalam konteks Modern. Modernitas tak ubahnya suatu keniscayaan yang tak bisa ditolak di satu sisi dan sebuah permasalahan di sisi lain. Kebudayaan yang sudah langgeng dan tradisi yang telah kokoh, diserampang sedemikian rupa oleh kesombongan modernitas dengan positivismenya. 

Secara definitif, semua serba terukur dan mesti kalkulasi, tak terkecuali arti perempuan cantik dan pria tampan punya tolok ukurnya tersendiri. Istri idaman itu berpostur tinggi, berkulit putih, bertubuh langsing dan pintar masak. 

Sedangkan suami idaman adalah jadi PNS, sebagai anggota TNI dan Polri, misalnya. Alhasil, manusia berlomba-lomba untuk meraih suatu jabatan kendati dengan cara yang kotor dan berupaya mendapatkan apa yang diinginkan pun melalui tindakan keji.

Pembangunan Nasional sebagai Orientasi Perguruan Tinggi

Menyandang gelar sarjana, bagi saya pribadi, bukanlah suatu kebanggaan tersendiri, apalagi hanya untuk ajang pamer ke calon mertua supaya bisa mendapatkan putrinya. Berbeda dengan teman-teman yang lain, justru saya lebih menaruh rasa khawatir dan di saat yang sama tumbuh jiwa optimistis dalam hati. 

Kuatir karna menanggung beban akan pertanyaan yang bersarang di benak, apakah kelak ilmu yang di miliki bermanfaat bagi masyarakat sekitar? Dan rasa optimis, sebab kemajuan suatu bangsa akan mendapati bentuknya lewat ilmu pengetahuan.

Indonesia seyogyanya belajar pada Jepang. Ketika kota Nagasaki dan Hiroshima luluh lantak karna bom atom, sang kaisar Hirohito tak mengkhawatirkan jumlah pasukan yang tersisa, justru bertanya “berapa guru yang tersisa?” dan segera menyebar para guru itu ke pelosok negeri demi merevitalisasi serta merekonstruksi pendidikan di negaranya. Dalam kurun waktu 20 tahun, pada akhirnya Jepang pun menjadi negara yang maju dengan berbagai penemuan-penemuan dan teknologinya.

Sementara, pendidikan di Indonesia belum ada perubahan yang signifikan. Bila melihat data OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), hasil survei lulusan perguruan tinggi pada tahun 2022 menunjukkan bahwa dari 48 negara mitra OECD, Indonesia berada di peringkat terendah kedua dengan persentase 17,93 persen dari populasi berusia 25-34 tahun. Survei ini semakin miris dengan fakta akan surplusnya kelulusan di bidang sosial-humaniora dibandingkan sains dan teknologi (keinsinyuran).

Tentang orientasi pada tataran Perguruan Tinggi, Prof. Yudi Latif berpendapat dalam bukunya Pendidikan yang Berkebudayaan bahwa tujuan pendidikan bukanlah menjadi world class university yang secara latah didengungkan belakangan, melainkan menjadi pilar penting dalam mendukung pembangunan nasional. 

Nah, artinya tridharma perguruan tinggi dijadikan prinsip bagi setiap mahasiswa dalam rangka mewujudkan tujuan luhur itu, bukan malah sibuk mencari ijazah semata dan nilai sempurna lantas melupakan ikrarnya dalam balutan toga saat prosesi wisuda.

Berbicara tentang transformasi pendidikan, pemerintah perlu memperhatikan pemerataan sebaran, perbaikan mutu, dan keseimbangan proporsi bidang studi. Dengan total jumlah penduduk sekitar 250 juta jiwa, Indonesia memiliki sekitar 4350 perguruan tinggi. 

Bila dibandingkan dengan Tiongkok yang total penduduk 1.4 miliar jiwa, namun jumlah perguruan tingginya lebih minim dari Indonesia hanya sekitar 2.824 perguruan tinggi. Oleh karena itu, problemnya bukan pada sisi kuantitas melainkan kualitas mutu dan pemerataan di setiap daerah.

Dengan begitu, kalimat yang sudah terlanjur digaungkan yakni tentang “Indonesia Emas 2045” tidak sekadar orasi omong kosong atau kalimat bermakna.

Jadi sebenarnya apa yang mahasiswa cari? Kalo masih belum menemukan, setidaknya kita sudah memulai untuk mencari. Karena sejatinya, pencarian akan jati diri, lebih-lebih seorang mahasiswa adalah perjalanan yang tak kunjung usai dan pengembaraan yang tak akan pernah selesai. (*)

***

*) Oleh : Abdur Rohman, Santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah sekaligus Mahasiswa STF Al-Farabi, Kepanjen, Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES