Polemik Pernikahan Tanpa Pencatatan: Mengupas Pentingnya Itsbat Nikah

TIMESINDONESIA, MALANG – Pernikahan di Indonesia tidak hanya menjadi simbol budaya dan tradisi, tetapi juga memiliki dimensi hukum yang sangat penting. Meski demikian, kenyataan menunjukkan banyak pasangan yang menikah hanya berdasarkan adat atau agama tanpa mencatatkan pernikahannya ke instansi resmi seperti Kantor Urusan Agama (KUA).
Kondisi ini menyebabkan status hukum pernikahan menjadi kabur dan berdampak langsung pada hak-hak istri dan anak. Dalam situasi seperti ini, pengaturan itsbat nikah menjadi langkah strategis yang mampu memberikan kepastian hukum sekaligus perlindungan bagi anggota keluarga yang terdampak. Itsbat nikah merupakan upaya legalisasi pernikahan yang tidak tercatat dengan mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama.
Advertisement
Dasarnya diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang menetapkan bahwa pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan dicatatkan secara resmi. Ketika salah satu dari persyaratan ini diabaikan, pasangan kehilangan pengakuan hukum, sehingga perlu mengajukan itsbat nikah untuk mengatasi masalah ini.
Pengajuan itsbat nikah memiliki sejumlah persyaratan ketat, seperti membuktikan adanya pernikahan agama yang tidak tercatat, membuktikan bahwa pencatatan diperlukan untuk melindungi hak istri dan anak, atau menunjukkan kehilangan dokumen akta nikah yang sebelumnya tercatat. Dalam prosesnya, pasangan harus menyediakan bukti-bukti kuat berupa surat nikah agama, kesaksian saksi, atau dokumen pendukung lainnya di persidangan Pengadilan Agama. Jika permohonan diterima, pengadilan akan mengeluarkan penetapan yang menjadi dasar untuk mencatatkan pernikahan tersebut di KUA, sehingga pasangan secara resmi diakui oleh negara.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Keberadaan pengaturan ini tidak hanya memberikan kepastian hukum, tetapi juga menjawab berbagai permasalahan yang timbul akibat pernikahan tidak tercatat. Salah satu dampaknya adalah lemahnya perlindungan hukum bagi istri. Dalam kasus perceraian, istri dari pernikahan yang tidak tercatat sering kali berada dalam posisi rentan, kesulitan menuntut hak seperti nafkah iddah atau mut’ah karena ketiadaan akta nikah. Itsbat nikah memberikan landasan hukum yang memungkinkan istri mendapatkan hak-haknya sesuai ketentuan.
Selain itu, anak-anak dari pernikahan yang tidak tercatat juga menghadapi stigma hukum sebagai anak di luar nikah. Hal ini memengaruhi status mereka dalam pencatatan sipil, yang berdampak pada hak waris, pengakuan, dan legitimasi sosial. Dengan adanya itsbat nikah, anak-anak mendapatkan pengakuan hukum yang layak, sehingga status mereka menjadi jelas dan setara di mata hukum.
Itsbat nikah juga merupakan langkah penting untuk menghindari konflik hukum di masa depan. Dalam kasus permasalahan warisan, status pernikahan yang tidak tercatat sering kali memicu perselisihan antara pihak-pihak yang terlibat, baik dalam keluarga maupun dengan pihak luar. Legalitas yang diberikan melalui itsbat nikah memastikan bahwa hak waris dari istri dan anak diakui sepenuhnya, meminimalkan potensi konflik yang merugikan semua pihak. Selain itu, proses pencatatan resmi juga menjadi mekanisme untuk memastikan bahwa pernikahan tersebut sesuai dengan hukum agama dan negara, sehingga menjaga kredibilitas hukum itu sendiri.
Kebutuhan akan itsbat nikah semakin mendesak di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pencatatan pernikahan. Meski banyak pasangan yang belum mencatatkan pernikahannya karena alasan adat, keuangan, atau ketidaktahuan, pemerintah terus mendorong kesadaran melalui sosialisasi dan kemudahan akses terhadap layanan pencatatan. Upaya ini mencerminkan bahwa perlindungan hukum tidak hanya menjadi hak individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif negara untuk melindungi warganya.
Namun, tantangan utama tetap ada, terutama dalam hal penyadaran masyarakat mengenai dampak negatif dari pernikahan yang tidak tercatat. Banyak yang masih beranggapan bahwa pernikahan hanya sah jika dilakukan secara agama, tanpa menyadari pentingnya aspek pencatatan resmi. Kesadaran semacam ini perlu ditingkatkan melalui pendidikan hukum dan kebijakan yang lebih inklusif, termasuk memberikan subsidi atau kemudahan akses bagi pasangan dengan keterbatasan ekonomi untuk mencatatkan pernikahannya.
Dengan demikian, itsbat nikah bukan sekadar prosedur hukum, melainkan sebuah mekanisme strategis yang melindungi hak-hak perempuan, anak, dan keluarga secara keseluruhan. Langkah ini memastikan bahwa setiap pernikahan, tanpa memandang latar belakang sosial atau budaya, mendapatkan pengakuan resmi yang setara di mata hukum. Pengaturan ini, jika diimplementasikan dengan baik, bukan hanya menciptakan kepastian hukum tetapi juga memperkuat tatanan sosial yang adil dan berkeadaban di Indonesia. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |