
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kebijakan tak popular dari pemerintah Indonesia dalam upaya menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN faktanya telah memberi tekanan baru dalam memaksimalkan sumber rasional penerimaan negara. Menanggapi menguatnya kontroversi atas kenaikan PPN yang ramai menjadi pembahasan diruang publik.
Pada konteks ini pemerintah Indonesia sedianya mampu menjelaskan soal nilai manfaat dari kenaikan PPN ini. Apakah dengan kenaikan PPN ini akan ada langkah ataupun gebrakan baru dalam sisi kesejahteraan rakyat atau hanya sebatas menciptakan keuntungan pribadi bagi kelompok ataupun golongan tertentu yang terkait implementasi kenaikan PPN ini.
Advertisement
Salah satu alasan utama yang menjadi keresahan publik adalah soal inkonsistensi ekonomi dalam negeri yang secara faktual masih belum menemukan kestabilan yang kokoh. Apalagi kebutuhan penyelenggaran dalam negeri yang membutuhkan banyak tantangannya sendiri termasuk kepanikan tinggi akan terjadinya realitas inflasi domestik yang besar kemungkinan akan berpengaruh terhadap lesunya perekonomian masyarakat Indonesia.
Dalam analisis sederhana saja, jika kenaikan PPN ini terjadi maka akan ada banyak sektoral ekonomi yang sangat was-was jika terjadi kenaikan PPN. Dengan asumsi ini jika terjadi kenaikan sebesar 1 % saja maka akan dapat memicu terjadinya kenaikan harga barang yang signifikan.
Pada sektor usaha lain dampak inflasi juga menciptakan kebimbangan yang sangat besar, karena akan terjadinya resiko kenaikan PPN secara berkala akan menambah beban operasional usaha dan menggerus minat tinggi pasar terhadap penjualan jasa dan barang yang diperdagangkan.
Dalam perkembangan terbaru, berdasarkan hasil pembahasan terbaru di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kabarnya kenaikan PPN akan tetap berjalan sesuai dengan jadwal waktu amanat Undang-Undang yakni 1 Januari 2025 tetapi arus utama kenaikan ini akan lebih selektif melihat pada segmentasi orang tertentu yang berkaitan erat dengan barang mewah sehingga pemerintah kemungkinan besar hanya akan memberikan beban itu kepada konsumen pembeli barang mewah.
Inisiatif besar pemerintah dalam melakukan penyesuaian tarif PPN 12 persen secara selektif pada kategori barang mewah memberi penalaran rasional jika kebijakan ini benar-benar melihat asas kepentingan orang banyak.
Kebutuhan tinggi untuk memberi kejelasan regulasi dan mekanisme penerapan akan memberi dorongan kepercayaan dunia investasi dan gerak pertumbuhan ekonomi secara makro termasuk untuk kebutuhan kelas ekonomi menengah kebawah dan berpenghasilan rendah. Secara lugas dalam banyak studi adanya dampak kenaikan PPN memang berpotensi menaikkan harga barang secara agregat.
Efek domino yang sangat tinggi inilah yang dikhawatirkan akan memberi kontribusi berantai bagi kenaikan biaya lainnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan retribusi daerah yang sangat besar termasuk pajak reklame, pajak parker dan perizinan.
Jika setoran pajak 2024 tak dapat tercapai sesuai target boleh jadi akan memberi konsekuensi logis target penerimaan pajak 2025 yang tinggi demi dapat memenuhi kebutuhan belanja pemerintah yang ekspansif.
Kebutuhan Taktis
Efek domino dibalik kebijakan kenaikan PPN jelas membuka kembali analis panjang dari pajak sebagai sumber utama penerimaan negara. Hitung-hitungan sederhana kenaikan PPN yang sebelumnya 11 % menjadi 12% per 1 Januari 2025 ini jelas menurunkan Produk Domestik Bruto (PDB) dan juga tingkat konsumsi rumah tangga. Padahal dua komponen ini merupakan penyokong pertumbuhan ekonomi nasional.
Apalagi bagi kehidupan ekonomi kelompok rentan miskin, kondisi ini boleh jadi akan mengurangi konsumsi barang dan jasa yang penting seperti halnya pendidikan dan asuransi kesehatan. Tak hanya bagi kelompok rentan miskin bagi pengeluaran kelompok menengah pun pada dasarnya juga ikut tercekik karena pengeluaran mereka akan naik yang boleh jadi orientasi penghematan mereka akan proyeksi kehidupan juga menjadi tinggi.
Salah satu kepanikan yang biasanya dialami oleh kelompok kelas menengah ini adalah soal pemeriksaan kesehatan. Mereka yang digaji tetap biasanya abai dengan kondisi kesehatan mereka dan menyebabkan rentan sakit.
Kenaikan PPN menjadi 12% juga akan mempengaruhi generasi muda yang baru meniti karier baru dan hidup mandiri atau generasi Z. Kebutuhan Gen Z akan daya dukung penunjang keseharian seperti internet, pesan antar online, fasilitas layanan hiburan, tiket bioskop, fashion dan perawatan diri akan menjadi semakin besar. Dan boleh jadi kondisi ini akan menyebabkan tingginya kredit dilingkungan gen Z yang ujungnya akan mengarahkan kepada semakin tingginya pinjaman online gagal bayar.
Dalam merespon kemungkinan instabilitas kehidupan masyarakat, pemerintah sebenarnya punya alternatif taktis dalam meningkatkan penerimaan negara secara ramah tanpa harus menyamaratakan kemampuan ekonomi pada masing-masing kelas sosial. Diantaranya dalam pajak kekayaan, pajak karbon dan minuman berpemanis, pajak produksi batubara dan lain-lainnya. Tapi hal ini sepertinya masih sulit terealisasi, satu diantaranya adalah belum ketatnya aturan hukum dalam dimensi ini.
Kepentingan Sistem
Sebagai publik, masyarakat sebenarnya dapat memahami keutamaan pajak sebagai sebagai sumber penerimaan negara tapi satu hal yang tak boleh dilupakan. Bahwasanya konstitusi mengamanatkan tentang upaya sadar negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum bagi semua pihak dengan rasa keadilan dan kemanusian.
Tentu secara akal sehat, implementasi penalaran ini harusnya diarahkan pada nilai baku soal manajerial sistem penerimaan negara. Pemerintah harusnya melakukan langkah identifikasi matang mana saja sebenarnya kantong-kantong potensial penerimaan negara yang memberi keuntungan besar secara komunal bagi seluruh lapisan masyarakat Indonesia.
Cara kerja implementasi ini jelas membutuhkan analisis proyeksi yang matang karena nilai taktis ini juga menata bangun kembali hilirisasi nilai pemanfaatan ekonomi dalam postur serapan ekonomi negara. Ambil contoh soal tambang batubara, yang semestinya membawa dimensi perundingan besar bagi akses ekonomi pasar global di seluruh dunia karena Indonesia salah satu lumbung batubara dunia.
Yang menjadi tantangan besar hari ini sebenarnya adalah bagaimana cara negara dalam hal ini elemen eksekutif, legislatif dan yudikatif mampu bersama -sama membangun sebuah piranti manajemen tata kelola bersama dalam mewujudkan optimalisasi serapan negara secara rasional, berkeadilan, makmur dan juga sejahtera. Jika mengutip laporan resmi dari Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu RI).
Kinerja penerimaan pajak dalam 10 tahun terakhir terjadi perlambatan yang signifikan pasca 2021 sampai 2023 karena dalam kurun waktu ini penerimaan pajak bertumbuh sangat baik dan dukungan yang kuat dari kenaikan harga komoditas, termasuk juga subsidi silang atas tautan kebijakan pemerintah dalam memacu terjadinya serapan pajak.
Pada 2022, berdasarkan data resmi DJP Kemenkeu RI, penerimaan pajak mengalami pertumbuhan tertinggi hinga 115,6%. (Kemenkeu RI, 2024). Masih dalam analisis mendalam dari DJP Kemenkeu RI, realisasi pertumbuhan 2021 dengan capaian 104% dan di 2023 rasio pajak bertumbuh menjadi 8,9 %. Dalam estimasi yang dibangun pada 2024 pencapaian target penerimaan pajak faktanya menghadapi tekanan yang cukup besar akibat dampak penurunan harga komoditas dan peningkatan restitusi.
Data terakhir, sampai pada bulan Agustus 2024 penerimaan pajak berhasil mencapai Rp 1.196,54 triliun atau 60,16% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 (Kemenkeu RI, 2024). Hal ini karena disokong oleh besarnya penerimaan bruto PPN & PPnBM yang mencatatkan kinerja positif, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi terjaga.
Dalam analisis ini, publik idealnya memahami jika pemerintah sepertinya tertarik melihat adanya nilai serapan tinggi dari PPN sebagai sebuah aset proyeksi penerimaan negara. Bahkan dalam analisis secara terang benderang, pada 2025 penerimaan pajak ditarget akan mencapai Rp 2.189,3 triliun, atau tumbuh 13,9% dari outlook 2024. Dalam poin ini ada pertumbuhan pajak pada 2025 akan ditopang oleh pertumbuhan penerimaan PPh nonmigas, serta PPN & PPnBM (Kemenkeu RI, 2024).
Pemerintah boleh saja menilai jika kenaikan PPN merupakan pintu emas dalam realisasi penerimaan negara pada 2025, tapi mendasarkan pertumbuhan ekonomi pada sisi kenaikan PPN jelas mempunya konsekuensi logis yang berarti.
Pada taraf rasional inilah proyeksi ekonomi dapat dikerek dalam lajur yang diimpikan dengan totalitas moderasi harga komoditas, hingga pada soal pergeseran kebutuhan tinggi sektor jasa yang mendorong terjadinya peningkatan sektor informal sehingga sistem pajak akan meningkat secara berarti.
Namun, lagi lagi sebagai publik memang wajib untuk diperhatikan jika pemerintah harus benar-benar mensistematisasi kembali sistem pajak yang berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat karena sekali saja salah langkah maka resiko kemerosotan ekonomi menjadi konsekuensinya termasuk terjadinya inflasi dan krisis ekonomi berkepanjangan. Semoga saja itu semua tidak terjadi.
***
*) Oleh : Haris Zaky Mubarak, Konsultan Peneliti dan Mahasiswa Doktoral Universitas Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |