
TIMESINDONESIA, BANDUNG – Mendapatkan pendidikan adalah hak dasar setiap anak yang tak terbantahkan. Pendidikan bukan hanya proses belajar, melainkan bentuk investasi terbaik seseorang di masa depan. Ketika anak mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang berkualitas, maka akan terciptanya generasi yang cerdas, kreatif, dan produktif.
Melalui pendidikan, seseorang dapat mengembangkan potensi diri, menambah wawasan, dan meningkatkan kualitas hidupnya. Selain itu, pendidikan dapat menjadi jembatan untuk mengubah status sosial seseorang.
Advertisement
Menurut Kemendikbudristek, dalam rekap nasional semester ganjil tahun 2024/2025 per 1 September 2024, terdapat 439.784 sekolah yang tersebar di Indonesia. Jenjang pendidikan yang dicakup, meliputi PAUD, PKBM&SKB, SD, SMP, SMA, SMK dan SLB.
Angka ini meningkat jika dibandingkan dengan data jumlah sekolah pada semester ganjil tahun 2023/2024 yang terhitung sebanyak 437.722 sekolah.
Keberadaan sekolah tidak menjamin semua anak dapat mengakses dan menyelesaikan pendidikannya. Meningkatnya jumlah sekolah yang tersebar, tidak berarti mengurangnya angka putus sekolah di Indonesia. Angka putus sekolah di Indonesia masih menjadi masalah serius yang harus diperhatikan oleh banyak pihak.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dibandingkan dengan tahun ajaran sebelumya, angka putus sekolah sekolah di tahun ajaran 2023/2024 mengalami peningkatan di seluruh jenjang, kecuali di Tingkat SMA.
Pada tahun ajaran 2022/2023, angka putus sekolah Tingkat SD mencapai 0,17%, yang kemudian nilainya naik di tahun ajaran baru menjadi 0,19%. Adapun untuk jenjang SMP, angka putus sekolah mancapai 0,18% di tahun ajaran baru, naik dari 0.14% di tahun sebelumnya.
Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar mengapa angka putus sekolah di Indonesia dapat meningkat setiap tahunnya. Jika melihat dari jumlah sekolah yang tersebar di Indonesia, tentunya untuk jumlah sekolah yang dapat menampung anak dalam melanjutkan pendidikan bukan lagi menjadi masalah utama.
Salah satu alasan yang menjadi meningkatnya angka putus sekolah adalah masalah ekonomi. Tidak semua anak berasal dari keluarga yang secara ekonomi, mampu menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang tinggi. Menurut Kak Seto, lebih dari 70% penyebab utama anak di Indonesia putus sekolah adalah faktor ekonomi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data, berdasarkan Survey Ekonomi Nasional (Susenas) pada 2021, tercatat 76% keluarga mengakui anaknya putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebagian besar (67,0%) diantaranya karena tidak mampu untuk membayar biaya sekolah, sementara sisanya (8,7%) karena harus mencari nafkah.
Masalah ekonomi sampai saat ini menjadi masalah utama alasan anak putus sekolah. Bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin, biaya sekolah, seragam, dan keperluan lainnya menjadi beban yang sangat berat. Jarak sekolah juga menjadi salah satu masalah, jika jarak antara rumah dan sekolah jauh, maka biaya transportasi yang harus dikeluarkan sangat besar.
Selain itu, kebutuhan keluarga yang masih harus di penuhi menjadi prioritas yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, anak terpaksa putus sekolah dan membantu orangtua bekerja guna memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
Disamping masalah ekonomi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), penyebab putus sekolah ini tidak melulu karena alasan ekonomi. Seperti yang dapat kita lihat, penurunan minat anak terhadap pendidikan juga menjadi salah satu alasan mengapa anak memilih untuk putus sekolah.
Sebanyak 81% guru anggota KGSB memiliki siswa yang putus sekolah. alasan terbesarnya karena pengaruh lingkungan yang tidak baik, kurangnya motivasi belajar, dan faktor keluarga yang tidak harmonis.
Lingkungan sekitar, baik itu lingkungan sekolah atau lingkungan rumah memiliki pengaruh yang sangat signifikan tehadap keputusan seseorang untuk putus sekolah.
Misalnya, adanya pergaulan dengan teman sebaya yang tidak mendukung pendidikan baik di lingkungan rumah atau sekolah dapat memengaruhi minat anak dalam belajar. Tidak harmonisnya keluarga membuat lingkungan rumah menjadi kurang mendukung dan memberikan dampak psikologis yang cukup besar, akibatnya anak kehilangan motivasi dan semangat anak dalam belajar.
Di lingkungan sekolah, suasana yang tidak kondusif juga dapat membuat anak merasa tertekan dan tidak nyaman untuk berada di sekolah. Selain itu, adanya peluang kerja yang menjanjikan membuat anak lebih tertarik untuk bekerja yang menghasilkan uang dibandingkan sekolah yang dianggap menghabiskan uang.
Anak-anak adalah aset paling berharga bagi sebuah bangsa, karena mereka adalah generasi yang akan memimpin bangsa di masa depan. Melalui pendidikan anak-anak dapat mengembangkan potensi diri secara optimal.
Pendidikan yang berkualitas tentunya akan melahirkan generasi muda yang mampu bersaing di tingkat global. Generasi ini akan menjadi sumber daya manusia yang unggul dan dapat membawa Indonesia pada kemajuan.
Upaya kolaboratif dari pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam mengatasi masalah angka putus sekolah ini. Pemerintah dapat melakukan sosialisasi tentang pentingnya pendidikan dan dampak negatif dari putus sekolah dalam jangka pendek, menengah, dan panjang kepada masyarakat, terutama di daerah yang tingkat pendidikannya masih rendah.
Dengan memperbanyak pemberian beasiswa penuh sebagai reward dapat dijadikan solusi terbaik guna menambah motivasi anak dalam belajar merasa khawatir tentang biaya yang harus dikeluarkan. Selain itu, memperbaiki sarana dan prasarana secara merata dan menyeluruh diperlukan agar anak merasa nyaman untuk berada di sekolah.
Pemberian dukungan dalam pengembangan aspek emosional dan sosial dengan adanya bimbingan konseling psikosional, sehingga dapat membantu anak dalam menemukan solusi terbaik untuk masalah yang dihadapinya dalam belajar.
Perlunya kerja sama dengan lembaga non-pemerintah seperti ISCO Foundation untuk membantu anak-anak miskin di perkotaan. Lembaga ini nantinya dapat membantu melakukan advokasi kepada pemerintah agar membuat kebijakan yang lebih baik untuk pendidikan yang lebih baik di Indonesia.
Tentu perlu adanya keterlibatan masyarakat dalam mengatasi angka putus sekolah ini. Masyarakat setempat dapat membuat kelompok belajar untuk belajar, berdiskusi, dan mendapatkan dukungan positif dari teman sebaya guna membantu anak yang kesulitan di sekolah, sehingga anak tidak merasa bahwa sekolah membebankan. Selain itu, pembangunan perpustakaan mini di daerah-daerah untuk menyediakan sumber bacaan agar anak selalu merasa penasaran dan tertarik untuk terus menuntut ilmu.
Dengan upaya kolaboratif ini, diharapkan anak-anak di Indonesia tidak kehilangan semangatnya dalam belajar dan melanjutkan pendidikan. Dengan dukungan penuh dari pemerintah dan masyarakat dapat meningkatkan kualitas pendidikan dan menekan angka putus sekolah secara signifikan di Indonesia.
Dengan adanya upaya ini juga diharapkan dapat melahirkan generasi emas yang dapat memimpin dan membawa perubahan positif secara besar untuk Indonesia di masa yang akan datang.
***
*) Oleh : Siti ‘Alma Sajidah Fauziyah, S1 Sastra Inggris, Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |