
TIMESINDONESIA, MALANG – Era post truth di dunia digitalisasi sekarang menjadi perbincangan publik. Fenomena post truth sendiri dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana seringnya fakta aktual digantikan oleh daya tarik emosi dan prasangka pribadi dalam upaya mempengaruhi opini publik. Fenomena ini membuat masyarakat lebih mudah mempercayai influencer dibanding pakar atau ahli.
Hal ini diperkuat dengan hasil Survei Meta dan YouGov tentang perilaku belanja 1.777 konsumen di Indonesia saat Mega Sales Days yang diumumkan 1 November lalu. Hasilnya sebanyak 94 persen mengakui bahwa konten kreator atau influencer mempengaruhi keputusan mereka berbelanja.
Advertisement
UNESCO melakukan survei terbaru yang mengungkapkan bahwa enam dari sepuluh influencer media sosial tidak melakukan verifikasi fakta sebelum memposting konten mereka. Survei yang melibatkan 500 influencer dari 45 negara ini menunjukkan bahwa sebagian besar kreator tidak memanfaatkan sumber informasi resmi seperti dokumen pemerintah atau situs terpercaya. Sebaliknya, mereka lebih sering mengandalkan pengalaman pribadi, penelitian mandiri, atau wawancara dengan orang yang dianggap ahli.
Influencer yang telah menjadi kiblat informasi masyarakat era kini juga tentu menarik bagi pelajar di Indonesia. Parahnya lagi penyaringan informasi anak-anak usia remaja masih belum maksimal. Mereka masih belum bisa membedakan mana fakta, opini, dan hal positif dan negatif. Terlebih tren Fomo dikalangan remaja yang membuat ingin selalu mengikuti hal-hal yang baru dan sedang viral. Hal inilah yang membuat tugas mendidik generasi muda semakin sulit di era digital ini.
Secara teori, perkembangan anak dibagi menjadi tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah psikomotorik, dan ranah afektif. Secara singkat, ranah kognitif berkaitan dengan dengan cara berpikir dan bagaimana otak bekerja. Ranah psikomotorik berkaitan dengan keterampilan individu pada suatu bidang.
Sementara itu, ranah afektif berkaitan dengan sikap dan tindakan siswa dalam lingkungan sosialnya yang berhubungan dengan perasaan dan emosi. Mengacu pada tiga ranah tersebut, mendidik generasi bangsa tidak bisa hanya dibebankan pada satu pihak saja.
Ada sedikitnya empat peran dalam mendidik generasi muda. Pertama, peran keluarga. Lingkungan keluarga menjadi pondasi awal dalam mendidik seorang anak. Lewat keluargalah seorang anak belajar untuk pertama kalinya.
Keluargalah yang pertama kali mengajarkan empati, saling menghargai, bertanggung jawab, dan nilai-nilai penting lainnya. Oleh karena itu, peran keluarga sangat penting dalam mendidik anak.
Kedua, peran sekolah. Sekolah seringkali menjadi menjadi tumpuan dalam mendidik anak bangsa. Sekolah seharusnya tidak hanya mengasah ilmu pengetahuan saja tapi juga melatih skill siswa. Untuk itu, sekolah harus menghadirkan kegiatan yang dapat menginspirasi siswa dan membentuk karakternya. Sebab, karakter siswa akan melekat sepanjang hidupnya.
Ketiga, peran teknologi informasi. Di era teknologi sekarang ini, semua dapat diakses dengan mudah. Seringkali informasi yang tampak di media sosial terkesan kurang mendidik yang ditampikan oleh influencer.
Untuk itu, para influencer seharusnya dapat menyebarkan hal baik yang dapat dicontoh. Sebab, merekalah menjadi pusat perhatian dari anak-anak muda dan seringkali anak muda menganggap apa yang ditampakkan oleh influencer dianggap benar dan sah-sah saja untuk ditiru.
Keempat, peran masyarakat. Dengan siapa seorang anak sering berinteraksi di masyarakat baik teman sebaya maupun orang yang lebih tua dapat mempengaruhi sikap dan perilakunya. Seringkali di lingkungan masyarakat, anak belum mendapatkan informasi yang sesuai dengan usianya sehingga jika tidak ada yang mengarahkan, maka dapat memunculkan perilaku negatif. Lingkungan masyarakat yang baik tentu akan berdampak positif.
Lembaga pendidikan bukan satu-satunya yang bertanggung jawab dalam mendidik generasi muda. Ada banyak faktor internal dan eksternal yang berperan dalam membentuk karakter seorang anak. Jangan biarkan anak-anak kita dididik oleh media sosial atau influencer. Mari mengambil peran dalam mendidik generasi muda. Mari membersamai mereka untuk mencapai perkembangan terbaiknya.
***
*) Oleh : Wildan Pradistya Putra, Pendidik di Thursina International Islamic Boarding School (IIBS) Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |