Kopi TIMES

Regresi Demokrasi

Selasa, 17 Desember 2024 - 17:34 | 27.82k
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Salah satu pencapaian demokrasi Indonesia pasca-reformasi adalah pelaksanaan pemilihan rakyat secara langsung untuk kepala daerah seperti bupati, wali kota, dan gubernur. Sistem ini bertujuan untuk mendekatkan kedaulatan rakyat dengan proses politik.

Hal ini memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan lokal. Namun, wacana untuk mengembalikan proses pemilihan ini ke legislatif, baik di DPR tingkat I maupun tingkat II, telah menimbulkan perdebatan yang serius. 

Advertisement

Langkah ini dipandang oleh banyak orang sebagai kemunduran dari praktik politik sentralistik yang ciri khas Era Baru. Ketika keputusan legislatif menggantikan demokrasi langsung, rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih langsung pemimpin mereka. 

Pendekatan kritis fenomenologi Edmund Husserl membantu kita mengupas masalah ini secara menyeluruh. Metode ini memungkinkan kita menemukan esensi dengan melihat di balik fenomena permukaan.

Fenomenologi Edmund Husserl 

Fenomenologi adalah studi tentang pengalaman sadar yang berfokus pada cara fenomena muncul dalam kesadaran manusia. Menurut Moralan pendekatan ini melibatkan Epoché atau reduksi fenomenologis. 

Dalam pendekatan ini, semua asumsi, prasangka, dan keyakinan yang berkaitan dengan pengalaman dihilangkan untuk mengungkap esensi asli dari fenomena tersebut. 

Fenomenologi menjadi penting dalam konteks politik untuk memahami pengalaman demokrasi, terutama ketika mekanisme dasar berubah, seperti pemilihan legislatif untuk kepala daerah. 

Prinsip Intentionalitas, yang menyatakan bahwa kesadaran selalu diarahkan pada sesuatu, adalah salah satu ide penting dari Husserl. Pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh legislatif, kita dapat melihat bagaimana tindakan legislatif tidak sepenuhnya netral, tetapi diarahkan oleh niat tertentu. Fenomenologi membantu menggali dorongan bawah tanah di balik tindakan.

Analisa Fenomenologi Edmund Husserl

Pertama, Pengalaman Historis: Paralel dengan Politik Orde Baru Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Pada praktiknya, pemerintah pusat mengontrolnya melalui pengaruh militer dan kontrol partai dominan.

Proses ini tidak pernah benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat; sebaliknya, itu berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan segelintir individu yang berkuasa di pemerintahan. Saat itu, DPRD menjadi alat untuk memperkuat otoritas pusat dan mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan keinginan masyarakat lokal. Kembali ke mekanisme ini bisa dianggap sebagai kembalinya pola sentralistik. 

Dalam fenomenologi, sangat penting untuk memahami bahwa pengalaman historis membentuk struktur makna yang sulit dilepaskan dan memengaruhi cara masyarakat melihat demokrasi. Dalam situasi seperti ini, kembalinya pemilihan legislatif untuk kepala daerah dapat mengakibatkan trauma politik yang telah lama terjadi.

Kedua, Keterputusan Hubungan Rakyat dan Pemimpin: Fenomenologi Husserl membantu kita memahami keterputusan yang terjadi ketika rakyat tidak dapat memilih pemimpin mereka secara langsung. 

Selama pemilihan langsung, rakyat memiliki hubungan langsung dengan pemimpin yang mereka pilih, yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam politik secara substantif dan personal. Ketika hak ini dialihkan kepada legislatif, hubungan ini menjadi tidak langsung, menciptakan jarak antara rakyat dan pemimpinnya.

Menurut Diamond, demokrasi yang efektif membutuhkan keterlibatan langsung rakyat dalam proses politik, yang menumbuhkan rasa tanggung jawab dan legitimasi. Keterputusan ini dapat menyebabkan apatisme politik karena masyarakat merasa tidak dapat memilih pemimpin mereka.

Ketiga, Potensi Distorsi Kekuasaan dan Penguatan Oligarki, Penting untuk melihat struktur kekuasaan yang tersembunyi di balik fenomena dalam fenomenologi. Pemilihan legislatif memungkinkan distorsi kekuasaan, di mana kepentingan partai, lobi politik, dan transaksi uang lebih banyak memengaruhi keputusan daripada keinginan rakyat. 

Menurut Winters, oligarkis yang menggunakan institusi politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka sering merusak demokrasi Indonesia. Korupsi politik lebih mungkin terjadi selama proses pemilihan legislatif. 

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Buehler menemukan bahwa dalam beberapa daerah di Indonesia, pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Daerah sering kali diwarnai oleh jual beli suara. Hal ini bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi, yang menempatkan rakyat sebagai pemegang otoritas tertinggi.

Keempat, Krisis Legitimasi dan Kepercayaan Publik: Keputusan untuk mengalihkan pemilihan legislatif dapat mengancam legitimasi. Pemimpin yang dipilih melalui proses yang tidak melibatkan masyarakat secara langsung cenderung tidak memiliki dukungan masyarakat yang luas. 

Sebuah survei yang dilakukan pada tahun 2023 oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mayoritas orang Indonesia masih mendukung sistem pemilihan langsung karena dianggap lebih mudah dan menggambarkan kehendak rakyat. Kepercayaan publik terhadap proses politik dapat menurun drastis jika hak ini diambil. 

Menurut fenomenologi, krisis legitimasi ini menunjukkan perselisihan antara kedaulatan rakyat, yang merupakan inti dari demokrasi, dan cara kekuatan politik elitis mengubahnya. Jika prinsip ini dilanggar, rakyat kehilangan rasa tanggung jawab atas proses politik, yang dapat mengancam stabilitas sosial dan politik.

Kritik terhadap Keputusan Pemilihan Legislatif

Fenomena pemilihan eksekutif legislatif adalah regresi demokrasi, di mana proses yang dahulunya memungkinkan partisipasi publik kembali menjadi proses yang terbatas. Dengan bantuan fenomenologi Husserl, kita dapat menemukan makna mendalam dari fenomena ini, yang pada dasarnya adalah pergeseran kekuasaan dari rakyat ke sekelompok elit politik. 

Pertanyaan tentang transparansi juga muncul sebagai akibat dari langkah ini. Meskipun tidak ideal, pemilihan langsung memiliki sistem pengawasan publik yang lebih kuat. 

Proses pemilihan legislatif menjadi lebih tertutup dan masyarakat sulit mengetahuinya. Hal ini memungkinkan praktik korupsi, seperti yang terjadi selama Orde Baru, ketika kepentingan sempit kelompok tertentu sering menentukan keputusan politik.

Keputusan ini juga dapat memperburuk pendidikan politik masyarakat. Pemilihan langsung memiliki banyak keuntungan, salah satunya adalah memungkinkan orang-orang untuk berpartisipasi secara aktif dalam memahami masalah politik, mendapatkan informasi tentang profil kandidat, dan membuat keputusan yang cerdas. Pada akhirnya, masyarakat akan kehilangan kesempatan ini jika pemilihan diserahkan kepada legislatif.

Langkah mundur yang membahayakan demokrasi Indonesia adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada legislatif. Dengan menggunakan pendekatan fenomenologi Edmund Husserl, kita dapat melihat bahwa keputusan ini tidak hanya mengubah prosedur tetapi juga mengancam kedaulatan rakyat, inti dari demokrasi. Demokrasi adalah pengalaman kolektif rakyat untuk terlibat dalam proses politik yang memengaruhi kehidupan mereka, bukan hanya prosedur. 

Untuk mempertahankan demokrasinya, Indonesia harus: Pertama, Menjaga sistem pemilihan langsung sebagai bentuk nyata dari kedaulatan rakyat. Selain lebih demokratis, pemilihan langsung memberikan legitimasi yang kuat bagi pemimpin terpilih. Kedua, Memperbaiki sistem pemilu, termasuk meningkatkan pengawasan terhadap korupsi dan praktik politik uang.

Ketiga, Meningkatkan pendidikan politik masyarakat untuk membantu rakyat membuat pilihan yang lebih rasional dan bertanggung jawab, termasuk reformasi kelembagaan seperti meningkatkan peran Bawaslu, dapat membantu memastikan pemilu yang lebih bersih. Pendidikan politik yang baik akan meningkatkan kesadaran rakyat akan hak-hak mereka sebagai warga negara. 

Keempat, Meningkatkan transparansi proses politik, baik dalam mekanisme pemilihan langsung maupun mekanisme lainnya, untuk memastikan bahwa publik dapat melihat setiap tahapan proses pemilu.

Demokrasi Indonesia adalah hasil perjuangan panjang rakyat setelah berakhirnya Orde Baru. Langkah mundur dengan mengembalikan pemilihan kepala daerah ke legislatif berisiko mengulang kesalahan masa lalu dan merusak harapan akan masa depan politik yang lebih inklusif dan partisipatif. 

Sebuah demokrasi yang kuat membutuhkan komitmen terhadap prinsip-prinsip dasar yang melibatkan rakyat secara langsung dalam proses politik, menurut Huntington. Oleh karena itu, mempertahankan sistem pemilihan langsung adalah langkah penting dalam menjaga dan memperkuat demokrasi Indonesia. (*)

***

*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES