PPN 12 Persen Perspektif Regime of Truth Michel Foucault

TIMESINDONESIA, MALANG – Walaupun masih akan diberlakukan pada 1 Januari 2025, isu mengenai PPN 12 persen telah membuat masyarakat cukup terguncang. Terlebih hal ini terjadi di penghujung tahun 2024, dan tidak lama setelah era pemerintahan yang baru dilantik dan bertugas.
Dalam lanskap diskursus politik-ekonomi kontemporer, kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% memunculkan perdebatan yang melampaui sekadar angka nominal. Kebijakan ini tidak hanya menjadi instrumen fiskal negara, tetapi juga merepresentasikan bagaimana kekuasaan beroperasi dalam membentuk kebenaran yang diterima secara luas oleh masyarakat.
Advertisement
Dalam kerangka teori "regime of truth" Michel Foucault, seorang filsuf legendaris berkebangsaan Perancis, PPN 12 persen adalah lebih dari sekadar kebijakan pajak, dia merupakan produk dari konfigurasi kekuasaan yang menciptakan, memelihara, dan menormalisasi kebenaran tertentu demi tujuan tertentu.
Foucault, melalui konsep "regime of truth," menjelaskan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang objektif atau universal, melainkan sesuatu yang dihasilkan, disirkulasikan, dan diterima dalam relasi kekuasaan. Kebenaran adalah konstruksi sosial-politik yang beroperasi dalam dan melalui berbagai institusi, wacana, dan praktik.
Dalam konteks PPN 12 persen, pemerintah dan aktor-aktor ekonomi tertentu memainkan peran kunci dalam membangun narasi bahwa kenaikan pajak adalah solusi rasional dan tak terelakkan untuk menopang stabilitas ekonomi nasional.
Retorika resmi yang digunakan dalam wacana PPN 12 persen sering kali berfokus pada logika ekonomi yang menekankan pentingnya peningkatan pendapatan negara. Dalam pidato, dokumen kebijakan, dan media, pemerintah memposisikan PPN sebagai alat yang esensial untuk memperbaiki defisit anggaran, mendanai pembangunan infrastruktur, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Narasi ini menempatkan PPN 12 persen sebagai sesuatu yang "niscaya," sekaligus meminggirkan alternatif-alternatif lain yang mungkin lebih progresif atau adil. Foucault menyebut ini sebagai "dispositif" mekanisme yang menyatukan diskursus, institusi, hukum, dan regulasi untuk menghasilkan efek kebenaran tertentu.
Namun, seperti yang Foucault tekankan, setiap "kebenaran" yang dihasilkan oleh regime of truth selalu membawa bias kekuasaan. Dalam kasus PPN 12 persen, kelompok-kelompok rentan seperti masyarakat berpenghasilan rendah dan pelaku usaha kecil-menengah sering kali menanggung beban terbesar dari kebijakan ini.
Dengan sifatnya yang regresif, PPN cenderung lebih memberatkan kelompok yang menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk kebutuhan sehari-hari. Meski pemerintah mengklaim bahwa kenaikan pajak ini diperlukan untuk "kebaikan bersama," kenyataannya distribusi dampak dari kebijakan ini sangat tidak merata.
Di sinilah regime of truth bekerja untuk menutupi ketidakadilan struktural tersebut. Wacana resmi mengkondisikan masyarakat untuk menerima bahwa pengorbanan ekonomi adalah bagian dari "tanggung jawab warga negara."
Pemerintah dan institusi terkait mengartikulasikan pajak sebagai kontribusi moral dan patriotik, sehingga resistensi terhadap kebijakan ini dapat dengan mudah direduksi menjadi "ketidakpatuhan" atau "kurangnya rasa nasionalisme." Dalam pandangan Foucault, ini adalah cara kekuasaan bekerja: dia tidak hanya memaksakan, tetapi juga membujuk dan menormalisasi.
Selain itu, media memainkan peran penting dalam mendukung regime of truth ini. Media arus utama sering kali mereproduksi narasi yang mendukung kebijakan pemerintah, menekankan manfaat jangka panjang dari kenaikan pajak tanpa mengkritisi dampaknya terhadap kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Melalui artikel, wawancara, dan laporan berita, media membantu mengukuhkan wacana bahwa kenaikan PPN adalah solusi terbaik dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Hal ini menunjukkan bagaimana kekuasaan tidak hanya terpusat pada negara, tetapi juga beroperasi melalui jaringan aktor non-negara yang terlibat dalam produksi kebenaran.
Namun, sebagaimana Foucault juga mengakui, regime of truth tidak pernah mutlak. Ada celah-celah resistensi yang muncul dari individu dan kelompok yang menolak untuk menerima "kebenaran" yang didiktekan oleh kekuasaan.
Dalam konteks PPN 12%, resistensi ini terlihat dari protes publik, kritik dari organisasi masyarakat sipil, dan diskursus alternatif di media sosial yang menantang narasi resmi. Melalui kritik ini, kebijakan PPN mulai dipertanyakan sebagai langkah yang tidak hanya bermuatan ekonomi, tetapi juga bermuatan politis yang melayani kepentingan tertentu.
Lebih jauh, pendekatan Foucault memungkinkan kita untuk memahami bagaimana kebijakan seperti PPN 12 persen adalah bagian dari teknologi pemerintahan yang lebih besar, atau apa yang dia sebut "governmentality." Dalam governmentality, kebijakan publik adalah alat untuk mengatur populasi dan memastikan kepatuhan melalui mekanisme ekonomi, hukum, dan budaya.
PPN 12 persen adalah wujud konkret dari bagaimana negara mengelola warganya melalui aturan yang tampaknya netral, tetapi sebenarnya sarat dengan kepentingan ideologis. Dalam skema global, kenaikan PPN juga tidak lepas dari tekanan ekonomi internasional dan peran institusi keuangan global seperti IMF dan Bank Dunia, yang sering kali mendorong negara-negara berkembang untuk meningkatkan pendapatan domestik melalui pajak tidak langsung.
Tekanan ini memperlihatkan bagaimana regime of truth juga dihasilkan dalam konteks global, dengan negara-negara berkembang sering kali ditempatkan sebagai subjek yang harus patuh pada logika kapitalisme global.
Pada akhirnya, analisis PPN 12 persen melalui lensa regime of truth Foucault membantu kita untuk melihat kebijakan ini sebagai arena perjuangan ideologis dan politik. Kebijakan ini tidak netral, tetapi merupakan hasil dari konfigurasi kekuasaan yang berusaha menormalisasi pandangan tertentu tentang keadilan ekonomi.
Dengan memahami bagaimana kebenaran dikonstruksi, kita dapat mulai mempertanyakan dan mendekonstruksi narasi yang mendominasi, serta membuka ruang untuk alternatif yang lebih inklusif dan adil.
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |