Kopi TIMES

Data Ketenagakerjaan, Solusi dan Tantangan Masa Depan Ekonomi Indonesia

Senin, 30 Desember 2024 - 09:20 | 37.45k
Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Bendahara Umum PP MATAN, dan Pelaku Industri TI..
Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Bendahara Umum PP MATAN, dan Pelaku Industri TI..
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tren digitalisasi telah mengubah peta ketenagakerjaan belakangan ini. Terbukti, karyawan atau tenaga kerja di seluruh Asia Pasifik memikirkan kembali kehidupan dan orientasi pekerjaan mereka. Ribuan ekspatriat terus berpindah di seluruh wilayah-beberapa negara mengalami penurunan jumlah ekspatriat, yang lain berkembang pesat. 

Sementara itu, jutaan karyawan lokal telah kembali ke rumah. Mereka telah berhenti atau berganti dengan bekerja dari rumah. Sebagian besar menginginkan fleksibilitas dengan cara yang sebelumnya tidak diminta atau ditawarkan. Laporan Pricewaterhouse Coopers (2024) menyebutkan sekitar 90 persen tenaga kerja di Asia Pasifik lebih suka bekerja jarak jauh atau hybrid. 

Advertisement

Untuk membangun kepercayaan dan menanggapi dinamika perubahan tersebut, pemerintah dan para pemimpin bisnis harus memikirkan kembali peningkatan keterampilan, merangkul fleksibilitas, dan menekan penugasan yang berorientasi pada tujuan dan produktivitas. Oleh karena itu, di banyak negara di kawasa Asia, pemerintah dan perusahaan berjuang untuk mengintegrasi big data dan kecerdasan buatan (AI) dalam pengelolaan ketenagakerjaan. 

Upadhyay dan Khandelwal (2018) menemukan bahwa pemanfaatan big data dan chatbot bertenaga AI secara signifikan mengurangi waktu perekrutan dan meningkatkan pengalaman kandidat di perusahaan-perusahaan TI India. Lee dan Park (2019) mengungkapkan pemanfaatan big data dan AI di bidang ketenagakerjaan di banyak perusahaan Korea Selatan berhasil mengurangi bias sebesar 25 persen. 

Sementara, Chen et al. (2020) mengungkapkan pemanfaatan big data dan AI di Tiongkok mampu meningkatkan efisiensi penyaringan kandidat karyawan awal hingga 40 persen. Di Korea Selatan, Kim dan Park (2021) menemukan korelasi positif antara adopsi big data AI dengan kepuasan karyawan. 

Di sisi lain, sebuah studi perbandingan oleh Kim dkk. (2021) di Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok mengungkapkan bahwa adopsi  big data dan AI dalam praktik SDM, dapat membantu karyawan mengatasi kendala budaya seperti jarak kekuasaan dan penghindaran ketidakpastian, dalam bekerja. 

Selain itu, Liao et al. (2022) menekankan perlunya  big data dan algoritme AI yang transparan untuk menjaga kepercayaan dalam proses SDM di antara karyawan Taiwan. Dampak transformatif AI pada pelatihan karyawan terbukti dalam industri teknologi Vietnam, seperti yang ditunjukkan oleh Nguyen dan Tran (2023). 

Sebaliknya, Pham et al. (2023) menemukan hasil yang beragam di Vietnam. Di sana pemanfaatan big data dan analisis AI efektif untuk karyawan yang lebih muda tetapi kurang efektif untuk generasi yang lebih tua. Dari perspektif keuangan, Gupta dan Fernandez (2024) melakukan meta-analisis adopsi big data dan AI dalam HRM di berbagai negara ASEAN, melaporkan peningkatan rata-rata 12 persen dalam efisiensi SDM secara keseluruhan. 

Berbagai hasil studi diatas dapat menjadi rujukan bagi perusahaan di Indonesia mengadopsi big data dan AI untuk mengelola tenaga kerjanya, mulai dari proses perekrutan, pelatihan, peningkatan kinerja, mengatasi kendala hubungan kerja lintas budaya, hingga meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Mengatasi Tantangan Skill Gap melalui Data

Menurut  survei PIAAC Employer Survey Module yang dirilis OECD, 10 Desember 2024, skill gap merupakan masalah yang tersebar luas di seluruh negara yang disurvei, dengan lebih dari sepertiga perusahaan melaporkan ketidaksesuaian antara keterampilan yang mereka butuhkan dan keterampilan yang dimiliki karyawan mereka. Persentase perusahaan yang melaporkan skill gap tertinggi ada di Republik Slowakia (54 persen), diikuti oleh Italia (37 persen), Portugal (32 persen), Belanda (31 persen) dan Hongaria (27 persen). 

Di seluruh negara yang diteliti, kesenjangan keterampilan paling sering diidentifikasi dalam keterampilan teknis (46 persen), keterampilan memecahkan masalah (34 persen) dan keterampilan bekerja sama dalam tim (33 persen). Disebutkan, dalam bidang hard skills terjadi skill gap sebagai berikut. Untuk tenaga kerja data analysis, pihak perusahaan mengharapkan kualitas 44 persen, tetapi karyawan hanya memiliki kualitas 40 persen. 

Bidang manajemen proyek, perusahaan mengharapkan 43,9 persen, sedangkan karyawan memiliki kualitas 42 persen. Untuk tenaga AI/machine learning, perusahaan menginginkan36,1 persen, sedangkan karyawan memiliki kualitas 33 persen. 

Bidang rekayasa software, perusahaan mengharapkan kualitas 35,8 persen, tetapi karyawan memiliki kualitas 16 persen. Untuk bidang UX Design (desain pengalaman konsumen), perusahaan mengharapkan 25 persen, tetapi karyawan punya kualits 9 persen.

Dalam hal soft skills ada kesenjangan sebagai berikut. Terkait pemikiran kritis, perusahaan mengharapkan kualitas 57 persen, sedangkan karyawan hanya memiliki kualitas 40 persen. 

Perihal pemecahan masalah, perusahaan menetapkan kualitas 49 persen, tetapi karyawan memiliki kualitas 37 persen. Dalam hal komunikasi ada gap yaitu  46 persen vs 42 persen, dalam hal fleksibilitas adaptasi terjadi gap  43 persen vs 25 persen, dan dalam hal kecerdasan emosional ada gap 40 persen vs 26 persen. 

Menurut studi tersebut, skill gap terjadi di semua sektor ekonomi, terutama sektor yang berbasis teknologi digital seper e-commerce, keuangan dan pariwisata. Skill gap diyakini terjadi juga dalam dunia ketenagakerjaan di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia. Namun, data perihal skill gap di kawasan ini relatif minim.

Di Indonesia, potret gap skill tercermin pada hasil Riset Populix dan KitaLulus yang  dipublikasi 24 Desember 2024 yang  menyebutkan,  sebanyak 46 persen perusahaan mengaku kesulitan mencari calon karyawan. Pada sisi lain, para calon karyawan merasa bahwa  tuntutan perusahaan terlalu tinggi dalam hal pengalaman kerja (68 persen), standar pendidikan (59 persen), dan khawatir akan banyaknya saingan (53 persen).

Dari jumlah riset yang terbatas itu, diketahui bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gap skill di Indonesia. 

Pertama, kurikulum pendidikan yang kurang update, sehingga lulusan yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan kurang mampu memenuhi kebutuhan industri dan ekonomi yang semakin men-digital. 

Kedua, program  pelatihan kerja belum dijalankan secara nasional, tetapi terjadi secara sporadis.

Fenomena gap skill tersebut tak hanya sulit diatasi, tetapi ikut menambah rumit masalah ketenagakerjaan Indonesia. Sebab, data BPS menunjukkan  tingkat pengangguran terbuka (TPT) Indonesia relatif besar yaitu 4,91 persen dari 152,11 juta. Artinya, terdapat  sekitar 7,45 juta angkatan kerja yang masih menganggur.

Peran data dalam mengatasi Gap Skill

Harus diakui bahwa data mengenai gap skill kita memang masih sumir. Oleh karena itu perlu ada program riset yang lebih banyak lagi. Apalagi,  gap skill adalah masalah yang akan menjadi semakin seiring dengan kemajuan teknologi.

Indonesia memang perlu memperkuat sistem data (big data) dan memanfaatkan analisis AI dalam mendesain program pendidikan, terutama pendidikan vokasi atau Technical  Vocational Education and Training (TVET dan supaya lulusan yang dihasilkannya tidak mengalami gap skill.

Intervensi  big data dan  AI  juga dibutuhkan untuk pendidikan dan pelatihan non-formal  dan  informal untuk meningkatkan hasil andragogy sehingga tenaga kerja dewasa juga bebas dari gap skill.   

Visi Masa Depan: Ketenagakerjaan Penggerak Pertumbuhan Ekonomi

Menurut ‘2013 World Development Report: Jobs’, pada dasarnya ada empat kekuatan utama yang melatarbelakangi peningkatan PDB per kapita suatu perekonomian. Pertama, penggunaan lebih banyak modal per unit tenaga kerja. 

Kedua, seiring dengan menurunnya angka kelahiran dan meningkatnya proporsi orang dewasa dalam total populasi, ditambah dengan peralihan perempuan dari pekerjaan rumah tangga ke kegiatan yang menghasilkan pendapatan, jumlah orang yang bekerja meningkat relatif terhadap total populasi. 

Ketiga, peningkatan produktivitas tenaga kerja, yang dimungkinkan melalui perolehan keterampilan, yang juga disebut sebagai akumulasi modal manusia, yang memungkinkan seorang pekerja untuk menghasilkan lebih banyak dengan menggunakan jumlah modal yang sama. 

Terakhir, kemajuan teknologi, yang diukur sebagai perubahan dalam produktivitas faktor total, menggabungkan modal, baik fisik maupun manusia. Laporan tersebut juga menandaskan bahwa tenaga kerja yang produktif dan terampil dapat meningkatkan daya saing dan produktivitas tenaga kerja, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi. 

Konsep tenaga kerja sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, tetap relevan dalam konteks Indonesia yang belakangan  ini  disebut-sebut sebagai negara berkembang dengan potensi ekonomi digital yang besar. Nilai ekonomi digital negara ini diproyeksikan mencapai 146 miliar dolar AS pada tahun 2025 dan 330 miliar dolar AS pada tahun 2030, nilai GMV tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Untuk mewujudkan potensi ini, pemerintah Indonesia memang telah memulai program percepatan transformasi digital nasional yang mencakup (1) pengembangan infrastruktur digital dan internet; (2) peta jalan transformasi digital di sektor-sektor strategis, seperti layanan publik, layanan sosial, pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, dan penyiaran;(3)pengembangan pusat data nasional;(4) pengembangan sumber daya manusia yang memiliki keterampilan digital; dan (5) skema regulasi dan pendanaan digital.

Oleh karena itu seluruh komponen bangsa ini perlu mendukung upaya tersebut. Sebab digitalisasi akan memungkinkan Indonesia memanfaatkan big data dan AI untuk membenahi sistem pendidikan dan pelatihan untuk mengatasi gap skill. Dukungan itu penting karena pemanfaatan big data dan AI dalam bidang ketenagakerjaan sejalan dengan visi “Indonesia Emas 2045” yaitu mengeluarkan bangsa  Indonesia dari “jebakan pendapatan menengah”.

Akhirnya, seluruh komponen bangsa perlu berpartisipasi dalam program pemerintah  mengatasi workforce skill gap  melalui pemanfaatan big data dan AI melalui pendekatan quad helix collaboration. kolaborasi antara dunia pendidikan, dunia industri, pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan kemudian kolaborasi dengan komunitas. Sebab, pemanfaatan teknologi big data dan AI merupakan solusi terbaik untuk meredam tantangan pertumbuhan ekonomi dalam dunia yang semakin men-digital ini. (*)

***

*) Oleh : Mubasyier Fatah, Koordinator Bidang Ekonomi Kreatif, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Bendahara Umum PP MATAN, dan Pelaku Industri TI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES