Kopi TIMES

Efikasi Diri dan Refleksi Mitigasi Perubahan Iklim dalam Keluarga

Senin, 30 Desember 2024 - 11:05 | 25.20k
Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada akhir Desember, kita sering diingatkan untuk melakukan refleksi atas hasil, pencapaian, momen berharga, permasalahan, kendala dan tantangan yang terjadi sepanjang tahun. Salah satu hal yang sepanjang 2024 cukup menyita perhatian adalah isu perubahan iklim. 

Laporan dari World Weather Attribution (WWA) yang bekerja sama dengan Climate Central menunjukkan bahwa sepanjang 2024, ada 3.700 orang meninggal dan jutaan orang harus mengungsi sebagai akibat dari perubahan iklim.

Advertisement

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menggunakan istilah tiga krisis planet (triple planetary crises) untuk merangkum kondisi yang saat ini dihadapi dunia. Tiga krisis planet ini adalah masalah yang saling terkait yaitu perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati dan polusi. 

Dari ketiga krisis tersebut, perubahan iklim merupakan peristiwa yang harus direspons secara serius oleh semua pihak. Arif (2024) melaporkan bahwa sepanjang 2024, suhu di Bumi sudah meningkat 1,5 derajat celcius jika dibandingkan dengan masa pra revolusi industri (1850-1900). 

Hal tersebut berarti menempatkan tahun 2024 sebagai tahun terpanas Bumi. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) merilis data bahwa pada 10 tahun terakhir (2015-2024) merupakan dekade terpanas yang pernah terjadi di Bumi.

Kenaikan suhu sebanyak 1,5 derajat celsius mungkin tidak nampak mengerikan bagi banyak orang. Tetapi, kenaikan tersebut sudah cukup untuk menimbulkan berbagai bencana alam, mulai banjir, gelombang panas dan kekeringan panjang. 

Bahkan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa salju abadi yang ada di Puncak Jaya, Papua akan hilang pada tahun 2025 atau 2026. 

Perubahan iklim ini akan memberikan kerugian dalam skala yang masif. Manusia akan kehilangan hak atas kehidupan yang layak karena pasokan makanan dan akses air bersih yang terganggu.

Kita tahu bahwa negara-negara di dunia sudah melakukan banyak aksi untuk bisa menekan laju cepat pemanasan global ini. Salah satu inisiatif yang cukup terkenal adalah Paris Agreement pada tahun 2016. Indonesia juga telah banyak mengambil manfaat dari carbon trade yang menjadi salah satu artikel pada Paris Agreement. 

Berdasarkan semua aksi tersebut, apakah kita sudah melihat dan merasakan dampak yang nyata dari usaha penanggulangan krisis iklim tersebut? Pertanyaan lebih lanjut, apakah kita hanya cukup menyerahkan krisis iklim ini kepada pemimpin setiap negara? 

Jika melihat beberapa kejadian seperti cuaca esktrem, penurunan (bahkan punahnya) populasi beberapa satwa liar, tingginya pencemaran udara dan plastik, maka nampaknya setiap manusia perlu mengambil peran sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya masing-masing.

Beberapa riset menemukan bahwa usaha untuk menekan terjadinya perubahan iklim tergantung dari kemampuan individu dalam memiliki persepsi soal krisis dan kemampuan membentuk kebiasaan baru (Leger & Pruneau, 2012; Kurz, Gardner, Verplanken & Abraham, 2015; Whitmarsh, Poortinga & Capstick, 2021; Segado-Boj, Diaz-Campo & Navarro- Sierra, 2020). 

Secara khusus, Leger dan Pruneau (2012) menemukan hipotesis bahwa usaha mitigasi atas perubahan iklim akan lebih baik jika dimulai dari level keluarga. Perubahan kebiasaan di tingkat keluarga, akan meningkatkan kepercayaan diri setiap anggota keluarga (khususnya anak-anak) untuk berani melakukan aksi perubahan di tingkat yang lebih luas. 

Komunikasi yang intens dan terus-menerus diantara anggota keluarga akan membentuk efikasi diri setiap individu. Efikasi diri adalah kepercayaan diri seseorang untuk menilai kemampuannya dalam merespons situasi yang sulit.

Terkadang program sosialiasi mitigasi perubahan iklim yang dilakukan pemerintah dan lembaga lainnya lebih banyak berada di tingkat kognitif saja. Padahal, riset menunjukkan bahwa dimensi afektif yang dirasakan oleh individu akan lebih mendorong seseorang untuk melakukan aksi nyata dalam merespons perubahan iklim (Nighttingale, Gonda & Eriksen, 2021). 

Bahkan ketika melihat kondisi terkini, nampaknya perubahan kolektif yang dilakukan keluarga atau komunitas kecil, akan lebih bermanfaat dibandingkan sekadar hanya lobi-lobi politik tingkat atas. 

Perubahan kebiasan di tingkat keluarga pada dasarnya bisa sangat sederhana, seperti mematikan lampu yang tidak dipakai, mengurangi air bersih yang terbuang sia-sia, membeli pangan lokal, menggunakan tas belanja yang tidak sekali pakai dan lain sebagainya. 

Hal mendasar yang membuat perubahan kebiasaan di level keluarga menjadi lebih mungkin terjadi karena adanya perasaan kolektif, nilai-nilai dalam keluarga, kolaborasi dan kebersamaan. Semua unsur afektif ini lebih mudah ditemukan dalam tingkat keluarga karena pertemuan yang lebih intim dan didasari pada nilai-nilai yang sudah lama tertanam.

Komunikasi dan keteladanan yang terus menerus terjadi di tengah keluarga membuat setiap individu di dalamnya memiliki efikasi diri yang tinggi. Perubahan kebiasaan untuk merespons perubahan iklim bukan merupakan hal yang mudah. Daya tahan seseorang seringkali menjadi isu utama. 

Perubahan gaya hidup terkadang tidak bertahan lama karena berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut yang kemudian menurunkan efikasi diri seseorang untuk mempertahankan perubahan gaya hidup. 

Maka, faktor komunikasi di dalam keluarga menjadi aspek penting untuk terus dipertahankan dan diperkuat. Keluarga akan berkolaborasi sebagai sebuah tim untuk mencapai shared goals dalam mitigasi perubahan iklim.

Maka menjelang tutup tahun ini, ada baiknya jika setiap keluarga meluangkan waktu untuk melakukan refleksi atas kebiasaan mitigasi perubahan iklim sepanjang 2024. 

Setiap keluarga dapat melakukan pencarian apresiatif untuk mengeksplorasi potensi-potensi baik yang dapat menjadi bekal mereka membangun komitmen mitigasi perubahan iklim di 2025. 

***

*) Oleh : Pupung Arifin, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES