Kenaikan Tarif PPN 12 Persen: Menambal Anggaran, Mengabaikan Rakyat

TIMESINDONESIA, MAGELANG – Kenaikan PPN menjadi 12 persen adalah keputusan besar yang menuntut evaluasi mendalam atas keberpihakan pemerintah pada rakyat. Langkah ini bukan sekadar soal menambal defisit anggaran, tetapi juga ujian terhadap komitmen pemerintah dalam mewujudkan keadilan ekonomi.
Apakah beban ini akan mendukung pembangunan berkelanjutan atau justru memperparah kesenjangan sosial? Tanpa transparansi dan mitigasi yang jelas, kebijakan ini ini berisiko kehilangan legitimasi di mata publik.
Advertisement
Krisis Daya Beli
Kebijakan pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen memunculkan diskursus yang kompleks dalam ranah kebijakan publik. Langkah ini disebut-sebut sebagai upaya strategis untuk meningkatkan rasio pajak (tax ratio) yang selama ini tertinggal jauh dari negara-negara sebanding dan untuk menopang kebutuhan pembangunan nasional.
Meskipun, kebijakan ini menimbulkan kecemasan di masyarakat karena diterapkan di tengah pemulihan ekonomi yang masih goyah pasca pandemi. Daya beli masyarakat Indonesia terutama dari kelompok rentan belum sepenuhnya pulih.
Peningkatan PPN, yang merupakan jenis pajak regresif, secara tidak langsung menempatkan beban lebih besar pada kelompok berpenghasilan rendah dibandingkan pada kelompok kaya. Kebijakan ini bukan hanya persoalan fiskal, tetapi juga menyentuh isu keadilan sosial yang lebih mendalam.
Peningkatan tarif PPN juga menantang narasi pemerintah tentang keadilan fiskal, sebagaimana dipahami dalam teori klasik Richard Musgrave, yang mengharuskan kebijakan perpajakan tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara tetapi juga untuk mendistribusikan pendapatan secara adil.
Apakah langkah ini mampu menjawab prinsip-prinsip tersebut? Ataukah justru memperburuk ketimpangan yang selama ini menjadi masalah struktural? Masyarakat kini menuntut kepastian, transparansi, dan keberpihakan.
Dalam kondisi pemulihan ekonomi yang rapuh, akankah kenaikan PPN ini menjadi solusi bagi keberlanjutan pembangunan atau malah memunculkan efek domino berupa kenaikan harga, pelemahan konsumsi domestik, dan stagnasi pertumbuhan ekonomi? Semua ini menjadi pertanyaan kritis yang menuntut jawaban tidak hanya dari pemerintah tetapi juga dari semua pemangku kepentingan.
Perspektif Kebijakan Publik
Dalam teori keadilan fiskal yang dikemukakan oleh Richard Musgrave, kebijakan perpajakan seharusnya mampu memenuhi tiga fungsi utama: alokasi sumber daya untuk efisiensi ekonomi, distribusi pendapatan guna menciptakan keadilan sosial, serta stabilisasi ekonomi untuk menjaga keseimbangan makroekonomi.
Kebijakan pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen diharapkan mampu mendorong ketiga fungsi ini, dengan fokus pada peningkatan penerimaan negara untuk mendukung pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan agenda pembangunan berkelanjutan. Namun, realitas di lapangan menunjukkan tantangan besar dalam memastikan bahwa kebijakan ini adil dan inklusif.
PPN, sebagai pajak konsumsi, bersifat regresif artinya, persentase pengeluaran yang diambil dari pendapatan kelompok miskin lebih besar dibandingkan kelompok kaya. Dalam kondisi ekonomi pasca pandemi, di mana daya beli masyarakat masih belum sepenuhnya pulih, kebijakan ini berpotensi memperburuk ketimpangan ekonomi yang sudah tinggi.
Indonesia sendiri, menurut data Bank Dunia, masih menghadapi Gini ratio yang menunjukkan kesenjangan pendapatan yang signifikan. Kenaikan PPN justru dapat menggeser beban fiskal secara tidak proporsional kepada kelompok masyarakat rentan.
Argumen pemerintah bahwa kenaikan PPN akan dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan penguatan layanan publik juga memunculkan tanda tanya besar. Tanpa transparansi dan mekanisme pengawasan yang efektif, bagaimana publik dapat memastikan bahwa hasil pajak benar-benar diarahkan untuk kepentingan mereka?
Dalam teori policy implementation yang dikemukakan oleh Pressman dan Wildavsky, keberhasilan kebijakan sangat bergantung pada bagaimana tujuan diterjemahkan menjadi langkah konkret di tingkat operasional. Sayangnya, sering kali terdapat kesenjangan besar antara retorika kebijakan dan realitas implementasi.
Lebih jauh lagi, kebijakan ini mengabaikan kompleksitas struktur sosial-ekonomi di Indonesia, di mana sebagian besar penduduk masih berada pada kategori berpenghasilan rendah. Apakah kenaikan PPN akan benar-benar menopang agenda pembangunan, atau justru menciptakan beban tambahan yang memperlambat pemulihan ekonomi nasional?
Pertanyaan ini menjadi refleksi kritis terhadap prioritas pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal yang tidak hanya berbasis pada peningkatan pendapatan negara, tetapi juga keberpihakan pada kesejahteraan masyarakat.
Dampak Kenaikan PPN 12 Persen
Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen tidak dapat dilepaskan dari potensi dampaknya terhadap inflasi dan ketimpangan sosial. Meskipun pemerintah telah mengecualikan beberapa barang kebutuhan pokok dari pajak, kenaikan biaya produksi, distribusi, dan penyesuaian harga oleh produsen akan tetap meningkatkan harga barang dan jasa secara keseluruhan.
Hal ini menciptakan tekanan yang signifikan terhadap kelompok masyarakat rentan yang mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan konsumsi. Menurut teori ekonomi Keynesian, daya beli masyarakat merupakan pilar utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Ketika daya beli menurun akibat kenaikan harga, konsumsi domestik sebagai motor penggerak utama perekonomian akan melemah.
Kondisi ini dapat memperburuk stagnasi ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai lebih dari 50 persen. Lebih jauh lagi, pajak konsumsi seperti PPN bersifat regresif, yang berarti bahwa beban pajak relatif lebih besar dirasakan oleh kelompok berpenghasilan rendah dibandingkan kelompok kaya.
Dalam konteks Indonesia yang memiliki ketimpangan pendapatan cukup tinggi (Gini Ratio 0,38 pada 2023), kebijakan ini berpotensi memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi. Tanpa langkah mitigasi yang memadai, kenaikan PPN dapat mengubah retorika pembangunan menjadi ancaman nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Langkah Strategis untuk Mengurangi Dampak
Kebijakan fiskal yang efektif harus disertai dengan langkah mitigasi yang strategis. Berikut adalah tiga rekomendasi untuk meredam dampak negatif kenaikan PPN: Pertama, Peningkatan Jaring Pengaman Sosial. Pemerintah harus memperluas program perlindungan sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) atau subsidi kebutuhan pokok bagi kelompok rentan.
Menurut laporan Bank Dunia, program perlindungan sosial yang terarah dapat mengurangi dampak kenaikan harga hingga 30% pada kelompok miskin. Selain itu, penyempurnaan mekanisme penyaluran bantuan untuk memastikan tepat sasaran adalah langkah yang tak terelakkan. Kedua, Insentif bagi Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
UKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional membutuhkan dukungan khusus di tengah kenaikan biaya operasional akibat PPN. Pemerintah dapat memberikan keringanan pajak, subsidi energi, atau akses pembiayaan dengan bunga rendah.
Juga menurut penelitian OECD, pemberian insentif bagi UKM mampu menjaga daya saing dan stabilitas sektor usaha yang sangat penting dalam menyerap tenaga kerja. Ketiga, Penerapan Pajak yang Lebih Progresif.
Alternatif lain adalah pengenalan atau peningkatan pajak untuk kelompok berpenghasilan tinggi, seperti pajak kekayaan (wealth tax) atau peningkatan tarif pajak penghasilan progresif. Langkah ini tidak hanya dapat mengurangi ketimpangan tetapi juga meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani masyarakat berpenghasilan rendah. Negara-negara seperti Norwegia dan Jerman telah berhasil menerapkan kebijakan ini untuk mengatasi ketimpangan sosial secara signifikan.
Transparansi Pajak
Transparansi dalam pengelolaan pajak sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat. Teori akuntabilitas publik menegaskan bahwa pemerintah harus terbuka dalam penggunaan dana negara agar masyarakat merasa yakin bahwa pajak yang mereka bayarkan digunakan untuk kebaikan bersama.
Dalam kasus kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen, transparansi menjadi kunci untuk meredam resistensi masyarakat. Masyarakat perlu melihat hasil nyata dari pajak yang mereka bayarkan. Ketika dana digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur yang benar-benar dirasakan manfaatnya, kepercayaan publik akan meningkat.
Sebaliknya, kurangnya transparansi dapat menimbulkan kecurigaan dan melemahkan dukungan masyarakat terhadap kebijakan ini. Untuk memastikan transparansi, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah berikut: Pertama, Audit Independen. Laporan keuangan harus diaudit oleh lembaga independen dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka untuk mencegah penyalahgunaan.
Kedua, Pemanfaatan Teknologi Digital
Teknologi, seperti sistem pelacakan anggaran online, dapat mempermudah masyarakat memantau penggunaan dana pajak.
Ketiga, Partisipasi Publik, Pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam perencanaan anggaran, misalnya melalui konsultasi publik, agar kebijakan lebih sesuai kebutuhan rakyat. Transparansi juga penting untuk mengevaluasi apakah kenaikan PPN mencapai tujuannya.
Dengan laporan yang terbuka, masyarakat dan akademisi dapat mengawasi dampaknya terhadap pembangunan dan perekonomian. Transparansi ini juga membantu pemerintah meningkatkan kepercayaan pasar dan investasi.
Kenaikan PPN 12 persen adalah kebijakan yang memuat dualitas, yakni peluang untuk memperkuat pembangunan nasional sekaligus tantangan dalam menjaga keadilan sosial. Jika dirancang dan diimplementasikan dengan tepat, kebijakan ini dapat menjadi instrumen strategis untuk meningkatkan penerimaan negara yang dapat dialokasikan ke sektor-sektor prioritas seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Namun, risiko utama terletak pada dampaknya terhadap masyarakat rentan yang daya belinya masih lemah. Dalam perspektif teori kebijakan publik, keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada dua aspek utama: mitigasi dampak negatif dan transparansi penggunaan dana.
Langkah mitigasi, seperti penguatan program perlindungan sosial dan pemberian insentif bagi sektor usaha kecil, dapat mengurangi tekanan terhadap kelompok masyarakat bawah. Sementara itu, transparansi dalam alokasi penerimaan pajak, melalui pelaporan berkala dan audit independen, akan meningkatkan legitimasi kebijakan di mata publik.
Kenaikan PPN tidak boleh hanya dilihat sebagai alat untuk mengisi kas negara, tetapi harus mencerminkan keberpihakan terhadap rakyat. Kebijakan ini menuntut pendekatan yang berimbang antara kepentingan fiskal dan keadilan sosial. Tanpa langkah yang inklusif dan akuntabel, kebijakan ini justru berisiko memperdalam ketimpangan sosial dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
***
*) Oleh : Matheus Gratiano Mali, MPA., Dosen Kebijakan Publik, FISIPOL Universitas Tidar, Magelang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |