Kopi TIMES

Kasus Hasto Kristiyanto, Dinamika Politik dan Hukum di Indonesia

Senin, 30 Desember 2024 - 13:22 | 35.79k
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.
Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pada 23 Desember 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024. Penetapan ini menuai sorotan tajam karena melibatkan seorang tokoh kunci dalam partai politik terbesar di Indonesia. 

Selain itu, kasus ini menggarisbawahi hubungan kompleks antara hukum dan politik di negara ini, yang kerap memunculkan perdebatan tentang potensi kriminalisasi dan politisasi hukum.

Advertisement

Dalam sistem demokrasi yang masih berkembang seperti Indonesia, hubungan antara hukum dan politik sering kali menjadi medan tarik-menarik kepentingan. Penegakan hukum yang seharusnya independen dan bebas dari pengaruh politik sering kali menjadi instrumen untuk mencapai tujuan tertentu. 

Kasus yang menjerat Hasto Kristiyanto, sebagai salah satu petinggi partai terbesar di Indonesia, mencerminkan tantangan yang dihadapi dalam menjaga supremasi hukum dan keadilan di tengah dinamika politik yang kompleks.

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, KPK mengalami berbagai perubahan, termasuk revisi undang-undang yang dianggap sebagian kalangan melemahkan independensi lembaga tersebut. Dalam konteks inilah kasus Hasto harus dipahami, bukan hanya sebagai persoalan hukum, tetapi juga sebagai bagian dari dinamika politik yang lebih luas. 

Penetapan tersangka terhadap Hasto menjadi sorotan publik karena muncul di tengah transisi pemerintahan dan ketidakpastian hubungan politik antara partai penguasa sebelumnya dan pemerintahan baru yang akan datang. Posisi PDI Perjuangan saat penetapan Hasto sebagai tersangka tidak hanya berdampak secara hukum, tetapi juga menimbulkan implikasi besar bagi posisi politik PDI Perjuangan. 

Pasca terpilihnya Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2024-2029, PDI Perjuangan berada dalam posisi ambigu: apakah akan bergabung dengan pemerintahan baru atau memilih menjadi oposisi.

Upaya mempertemukan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto dikabarkan mengalami hambatan. Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, hal ini disinyalir sebagai strategi Presiden Joko Widodo untuk mempertahankan pengaruhnya dalam pemerintahan mendatang. 

Strategi ini diduga bertujuan menciptakan jarak antara Megawati dan Prabowo agar Jokowi tetap dapat memengaruhi dinamika politik nasional, termasuk hubungan antara PDI Perjuangan dan pemerintahan baru.

Perspektif Hukum 

Dari sudut pandang hukum, langkah KPK dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka mendapat kritik tajam. Penetapan ini dinilai tergesa-gesa dan kurang mendalam, bertentangan dengan prinsip kehati-hatian dan asas praduga tak bersalah. 

Dalam hukum pidana, asas praduga tak bersalah mengamanatkan bahwa seseorang dianggap tidak bersalah sampai pengadilan memutuskan sebaliknya. Namun, langkah KPK yang cepat dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka tanpa investigasi menyeluruh dianggap melanggar prinsip ini.

Sprin.Dik/153/DIK.00/01/12/2024 menyebut bahwa Hasto terlibat dalam tindak pidana korupsi berupa pemberian suap kepada Wahyu Setiawan, anggota KPU Sumatra Selatan, terkait penetapan anggota DPR RI periode 2019-2024. Selain itu, Sprin.Dik/152/DIK.00/01/12/2024 menuduh Hasto melakukan perintangan penyidikan dalam kasus korupsi yang melibatkan Harun Masiku. 

Menurut sejumlah pakar hukum, bukti-bukti yang diajukan KPK lemah, lebih banyak bergantung pada keterangan saksi tanpa didukung bukti fisik yang kuat. Penggunaan bukti digital yang tidak diverifikasi secara komprehensif juga menjadi sorotan karena rentan menimbulkan kesalahan interpretasi.

Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara, menyebut bahwa langkah KPK terhadap Hasto lebih banyak didasarkan pada asumsi daripada fakta hukum yang kuat. Ia menambahkan bahwa penetapan tersangka terhadap Hasto menunjukkan pola selektif dalam penegakan hukum, yang dapat menciptakan persepsi politisasi. 

Hal senada diungkapkan oleh Prof. Mahfud MD, yang menyoroti potensi penyalahgunaan kewenangan dalam kasus ini. Menurutnya, jika penetapan tersangka tidak didukung bukti yang kuat, maka ini adalah bentuk Abuse Of Power yang dapat merusak kredibilitas lembaga penegak hukum.

Perspektif Politik

Menurut Ardli Johan Kusuma pakar ilmu politik dari Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ), bahwa penetapan Hasto sebagai tersangka dapat menimbulkan persepsi publik tentang adanya kepentingan politis di balik langkah hukum ini. PDIP, telah menjadi sorotan karena kritik tajamnya terhadap pemerintah pada proses Pilkada 2024, termasuk kritik yang disampaikan langsung oleh Hasto mengenai kualitas demokrasi dan pelaksanaan pilkada. 

Langkah KPK ini, berpotensi memperkuat posisi PDIP sebagai oposisi yang semakin tegas berseberangan dengan pemerintahan. Menurut Ardli langkah hukum ini tidak hanya berdimensi legal tetapi juga mengisyaratkan pengaruh kuat dinamika politik nasional, khususnya mengingat posisi PDIP yang belum menyatakan sikap, dan cenderung seperti oposisi dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Ronny Talapessy, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP Bidang Reformasi Sistem Hukum Nasional, menyebut bahwa kasus ini sarat muatan politis. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa Harun Masiku, figur sentral dalam kasus ini, masih menjadi buronan sejak 2020. 

Ketidakmampuan KPK menangkap Harun justru menimbulkan pertanyaan tentang prioritas lembaga tersebut. Langkah KPK terhadap Hasto dianggap sebagai upaya melemahkan posisi politik PDI Perjuangan menjelang Konggres 2025 atau upaya mengawut-awut partai.

Hanta Yuda, Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia, menilai bahwa kriminalisasi tokoh politik sering digunakan sebagai senjata untuk melemahkan kekuatan partai tertentu. Ia mencatat bahwa PDI Perjuangan kerap menjadi target serangan politik oleh pihak-pihak yang berkepentingan. 

Menurutnya, framing negatif terhadap Hasto melalui pemberitaan media massa memperkuat dugaan kriminalisasi, yang berpotensi menciptakan persepsi negatif di mata publik.

KPK antara Independensi dan Alat Kepentingan

Langkah cepat KPK dalam menetapkan Hasto sebagai tersangka hanya berselang tujuh hari setelah pimpinan dan Dewan Pengawas periode 2024-2029 dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang independensi KPK, mengingat banyak kasus besar seperti kasus korupsi PT Timah sebesar 300 triliun, Kasus BLBI sebesar 138 triliun, kasus penyerobotan lahan PT Duta Palma Groub 78 triliun, kasus korupsi PT TPPI sebesar 37,8 triliun, kasus PT Asabri sebesar 22,7 triliun, kasus jiwasraya sebesar 16,8 triliun, kasus Nikel di Maluku Utara yang menyebutkan Bobby Mantu Jokowi atau Blok M, kasus izin ekspor minyak sawit mentah sebesar 12 triliun, kasus pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600 sebesar 9,37 triliun, dan lain seterunya, yang hingga kini belum terselesaikan. 

Malah memilih kasus Harun Masiku yang pada akhirnya menyeret dan menetapkan Hasto Kristiyanto maka wajar ketika opini publik mengemuka kriminalisasi atau politisasi, sebab implikasinya sangat serius bagi penegakan hukum dan kualitas demokrasi di Indonesia. 

Prof. Romli Atmasasmita, seorang pakar hukum pidana, merekomendasikan pembentukan tim independen untuk mengawasi proses hukum kasus ini. "Transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum adalah kunci untuk mencegah kriminalisasi dan memastikan bahwa hukum tidak digunakan sebagai alat politik," hal ini bertujuan untuk membuka kebenaran kerja KPK tegak lurus padan merah putih atau menjadi alat kekuasaan.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya reformasi sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia. Kegagalan KPK dalam menghadirkan bukti yang cukup kuat menunjukkan adanya kelemahan dalam investigasi dan prosedur hukum. Reformasi harus mencakup pelatihan investigasi yang lebih baik, pengembangan teknologi pengumpulan bukti, dan pengawasan ketat terhadap proses penegakan hukum. 

Selain itu, regulasi tentang konflik kepentingan di lembaga penegak hukum harus diperkuat untuk memastikan bahwa setiap keputusan bebas dari pengaruh politik. Transparansi dalam penanganan kasus juga harus ditingkatkan dengan melibatkan pemantauan independen dan akses publik terhadap informasi yang relevan. Hanya dengan langkah ini, integritas lembaga penegak hukum dapat dipulihkan.

Hubungan Politik dan Hukum

Kasus Hasto juga mencerminkan hubungan rumit antara politik dan hukum dalam demokrasi Indonesia. Politisasi hukum yang berulang kali terjadi menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia masih dalam proses pematangan. Untuk menjaga demokrasi yang sehat, penting untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan politik. 

Sebagai bagian dari sistem demokrasi, partai politik memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun, jika partai politik terus-menerus menjadi sasaran politisasi hukum, maka peran mereka dalam memperkuat demokrasi akan terganggu. Oleh karena itu, perlindungan terhadap partai politik dari serangan hukum yang bermotif politis harus menjadi prioritas.

Kasus Hasto Kristiyanto menjadi cerminan bagaimana hukum dan politik dapat saling memengaruhi. Jika benar terdapat unsur kriminalisasi, maka hal ini menunjukkan perlunya reformasi mendalam dalam sistem hukum dan politik di Indonesia. 

Untuk menjaga demokrasi dan supremasi hukum, asas keadilan dan praduga tak bersalah harus ditegakkan secara konsisten. Kasus ini juga menjadi pengingat bahwa hukum harus dijalankan secara profesional tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik jangka pendek. 

Dengan komitmen bersama antara pemerintah, lembaga penegak hukum, dan masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan sistem demokrasi yang berkeadilan dan berintegritas. Kasus Hasto Kristiyanto harus menjadi momentum untuk memperkuat penegakan hukum yang berlandaskan prinsip keadilan dan independensi, demi menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

***

*) Oleh : Shohibul Kafi, S.Fil, Pengurus Wilayah DPD KNPI D.I. Yogyakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES