Kopi TIMES

Perang Melawan Korupsi, Kolaborasi Pemerintah dan Rakyat

Senin, 30 Desember 2024 - 14:14 | 17.76k
Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PEKALONGAN – Korupsi adalah penyakit kronis yang telah lama menggerogoti sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Praktik ini tidak hanya mencederai kepercayaan publik terhadap pemerintah, tetapi juga merusak tatanan ekonomi, hukum, dan sosial masyarakat. Oleh karena itu, perang melawan korupsi memerlukan kolaborasi yang erat antara pemerintah dan rakyat.

Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah berlangsung selama beberapa dekade. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan pada tahun 2002 menjadi salah satu ujung tombak dalam menegakkan hukum terhadap pelaku korupsi. Namun, keberadaan KPK saja tidak cukup jika tidak didukung oleh elemen lain, termasuk pemerintah, lembaga penegak hukum, sektor swasta, dan masyarakat sipil.

Advertisement

Pemerintah memiliki peran utama dalam menciptakan kebijakan dan regulasi yang mendukung transparansi dan akuntabilitas. Salah satu langkah penting adalah penerapan sistem e-government untuk meminimalkan peluang terjadinya praktik korupsi. Contohnya, penerapan e-procurement dalam pengadaan barang dan jasa telah mengurangi potensi permainan harga dan manipulasi proyek.

Namun, kebijakan yang baik tidak akan efektif tanpa pengawasan yang ketat. Kasus Harvey Moeis dan kawan-kawan terlibat dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 menjadi salah satu contoh bagaimana lemahnya pengawasan internal dapat berujung pada kerugian negara yang mencapai triliunan rupiah. Dalam kasus ini, peran pengawas eksternal, termasuk masyarakat dan media, menjadi sangat penting untuk mengungkap skandal tersebut.

Rakyat memiliki kekuatan besar untuk menjadi pengawas aktif dalam mencegah dan melaporkan praktik korupsi. Dengan kemajuan teknologi, masyarakat dapat memanfaatkan platform digital untuk melaporkan dugaan korupsi secara anonim. Gerakan masyarakat seperti "Lapor!" dan "Indonesia Corruption Watch (ICW)" telah membuktikan bahwa partisipasi rakyat dapat menjadi alat yang ampuh dalam memberantas korupsi.

Selain itu, pendidikan antikorupsi perlu ditanamkan sejak dini di sekolah-sekolah. Generasi muda harus diajarkan nilai-nilai integritas, kejujuran, dan tanggung jawab. Langkah ini bertujuan untuk menciptakan generasi yang memiliki karakter kuat dalam menolak segala bentuk korupsi. Program seperti "Sekolah Antikorupsi" yang digagas oleh ICW merupakan contoh nyata dari upaya ini.

Namun, kolaborasi pemerintah dan rakyat juga menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari kelompok-kelompok yang selama ini diuntungkan oleh praktik korupsi. Upaya pemberantasan korupsi sering kali mendapat perlawanan balik dalam bentuk kriminalisasi aktivis antikorupsi atau upaya melemahkan institusi seperti KPK.

Sebagai contoh, revisi UU KPK pada tahun 2019 yang merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 dianggap melemahkan kewenangan lembaga tersebut. Revisi ini memperkenalkan Dewan Pengawas KPK yang memiliki kewenangan untuk memberikan izin dalam penyadapan dan tindakan tertentu. 

Hal ini memicu kekhawatiran dari berbagai kalangan, termasuk masyarakat sipil, karena dapat memperlambat kinerja KPK. Demonstrasi besar-besaran yang digelar oleh mahasiswa dan masyarakat sipil menunjukkan bahwa rakyat tidak akan tinggal diam jika pemberantasan korupsi mengalami kemunduran.

Kolaborasi juga harus mencakup sektor swasta yang sering kali menjadi bagian dari mata rantai korupsi. Perusahaan harus didorong untuk menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Pelibatan sektor swasta dalam upaya pemberantasan korupsi dapat dilihat pada program Integrity Pact yang mewajibkan pelaku usaha untuk menandatangani kesepakatan antikorupsi sebelum mengikuti tender pemerintah.

Di sisi lain, media massa memiliki peran strategis sebagai pilar keempat demokrasi. Media dapat menjadi sarana untuk mengungkap kasus korupsi dan membangun opini publik yang mendukung transparansi. Pelaporan investigatif seperti yang dilakukan dalam kasus Bantuan Sosial COVID-19 telah membuka mata publik tentang pentingnya pengawasan ketat terhadap dana bantuan.

Tidak kalah penting adalah reformasi birokrasi untuk menciptakan aparatur negara yang bersih dan berintegritas. Sistem meritokrasi harus diterapkan secara konsisten untuk memastikan bahwa pejabat yang diangkat memiliki kompetensi dan rekam jejak yang baik. Selain itu, pemberian insentif kepada pegawai yang berprestasi dapat mengurangi godaan untuk melakukan korupsi.

Sanksi yang tegas dan konsisten juga menjadi faktor kunci. Hukuman berat terhadap pelaku korupsi harus memberikan efek jera. Namun, pemberian hukuman saja tidak cukup; pengembalian aset hasil korupsi juga harus menjadi prioritas agar kerugian negara dapat diminimalkan.

Kolaborasi antara pemerintah dan rakyat juga harus didukung oleh kerangka hukum yang kuat. Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi harus terus dievaluasi dan diperkuat sesuai perkembangan zaman. Harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah juga diperlukan untuk mencegah celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi.

Keberhasilan perang melawan korupsi bergantung pada komitmen bersama antara pemerintah dan rakyat. Pemerintah harus menunjukkan integritas dalam setiap kebijakan yang dibuat, sementara rakyat harus terus menjadi pengawas yang kritis dan aktif. Dengan kolaborasi yang kuat, Indonesia dapat bermimpi menjadi negara yang bersih dari korupsi.

Perjalanan memberantas korupsi memang tidak mudah dan penuh rintangan. Namun, dengan semangat gotong royong dan kolaborasi yang konsisten, harapan untuk menciptakan Indonesia yang bersih, adil, dan sejahtera tetap bisa diwujudkan. Inilah saatnya kita semua bergerak bersama untuk membumi hanguskan korupsi hingga ke akar-akarnya.

***

*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES