TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Derasnya arus lalu lintas digital memaksa masyarakat modern untuk terus beradaptasi dalam berbagai bidang. Terhitung pengguna aktif internet tahun 2024 di seluruh dunia yang dilaporan We Are Social sungguh mencengangkan yaitu mencapai 5,04 milyar, meningkat 5,6%. Sedangkan di Indonesia pengguna media sosial aktif terdata 167 juta, hal ini setara 60,4% dari total populasi.
Salah satu bidang yang terdampak percepatan tekonologi ini adalah sektor pendidikan tinggi yang lekat dengan dunia akademik dan penelitian. Tujuan awal hadirnya transformasi digital ini sejatinya untuk memudahkan berbagai kepentingan, namun faktanya tidak sedikit pula yang justru hanyut karena terlanjur dimanjakan.
Advertisement
Fasilitas internet open access untuk dunia riset dan tugas kuliah yang tengah nge-trend adalah Artificial Intelligence (AI). Di luar sana, beragam sudut pandang pro dan kontra menghiasi forum-forum akademik, dialog para dosen dan diskusi terbuka di ruang maya.
Satu sisi menyatakan penggunaan fitur ini dinilai efisien, memangkas waktu dan meningkatkan akurasi. Namun di sisi lain justru dinilai menyulut efek berantai yang perlahan melumpuhkan kemampuan analitis dan skil menulis.
Antara Mencerdaskan dan Meninabobokan
Peribahasa “bagai makan buah simalakama” memang benar adanya. Kita saat ini tengah dihadapkan pada dua pilihan sulit, yaitu mau bersahabat dengan teknologi atau justru enggan beradaptasi.
Dalam Cambridge Dictionary, AI didefinisikan sebagai cabang ilmu komputer yang bertujuan untuk menciptakan sebuah sistem yang dapat menggantikan kecerdasan manusia. Secara sosio-digital, hadirnya fitur ini berpotensi dapat mengubah cara manusia dalam belajar, berinteraksi dan bekerja.
John McCarthy mendefinisikan AI sebagai teknik dan ilmu dalam merancang mesin cerdas khususnya menggunakan pemograman komputer. Pandangan senada juga disampaikan Herbert A. Simon bahwa, AI diciptakan supaya komputer dapat meniru segala aktivitas manusia. Terakhir Arthur Samuel, menurutnya AI merupakan bidang studi yang memberikan komputer kemampuan belajar tanpa diberi instruksi secara eksplisit.
Terkhusus dalam bidang akademik, fasilitas canggih ini menjadi idola di kalangan mahasiswa sekalipun dosen. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah hadirnya kecerdasan buatan seperti tolls ChatGPT, Open AI Playground, QuillBot, Gramarly, Gemini, Jenni AI, Yomu AI dan sejnisnya, akan lebih mencerdaskan atau justru meninabobokan? Secara mendasar memang tolls AI ini dinilai lebih sat-set daripada meneliti secara manual, namun pandangan ini masih menyisakan perdebatan di kalangan akademisi.
Kegunaan positifnya memang dapat dengan cepat menemukan inti gagasan tanpa perlu membaca buku yang memakan banyak waktu. Ini memang memudahkan dalam menyusun makalah, artikel jurnal, skripsi, tesis, maupun disertasi secara sistematis dan menarik. Namun bersamaan dengan ini, ternyata juga dapat menyebabkan calon sarjana, maupun peneliti di PTN, PTKI dan PTKIN menjadi pribadi yang lemah secara analitis dan skil menulis.
Jika dahulu seorang akademisi menyelesaikan karya ilmiah butuh puluhan referensi dan tabung perbendaharaan kata yang luas, di era modern bekal tersebut perlahan langka. Bagi akademisi yang melek (sadar) kebutuhan primer di dunia penulisan mungkin hal ini masih sangat vital untuk dihidupsuburkan.
Nyatanya tidak semua kalangan mampu memfilter kecanggihan teknologi ini. Mahasiswa yang minim kemampuan menulis-analitis justru menyalahgunakan AI sebagai jalan ninja dalam menyelesaikan tugas secara kilat.
Dahulu mengerjakan paper super kilat dikenal dengan sistem kebut semalam, namun sekarang berkembang menjadi sistem kebut sejam. Kenakalan akademik seperti ini yang nantinya berdampak pada melemahnya orisinalitas, otoritas dan integritas kalangan mahasiswa sekalipun akademisi.
Melemahnya Orisinalitas, Otoritas dan Integritas
Artificial Intelligence yang tengah digandrungi ini pada dasarnya tidak sepenuhnya sempurna dan mampu menjawab berbagai pertanyaan. Pasalnya, pernyataan yang disodorkan mencomot dari segala jenis tulisan yang sebelumnya sudah terpublikasi dalam database google. Temuan kekurangan lainnya acap kali jawabannya tidak akurat dan menyisakan ketidakabsahan sumber.
Atas dasar ini, jika secara larut digunakan untuk memanjakan diri dalam menyelesaikan naskah akademik maka akan menyebabkan dampak negatif secara kompulsif. Pertama, yaitu menurunnya orisinalitas karya. Ini dikarenakan hanya menduplikat, plagiat, atau menulis ulang temuan-temuan akademik yang sudah ada dan tidak memiliki kebaruan. Ini jelas melanggar kode etik dasar akademik.
Kedua, menyebabkan matinya otoritas (kepakaran). Kepakaran di sini tidak hanya segi keahlian dalam bidang keilmuan, tapi termasuk juga dalam hal kemampuan menulis secara sistematis yang memiliki nilai akademis tinggi.
Seperti yang dikatakan Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise, bahwa masifnya transformasi digital tidak hanya menciptakan lentingan pengetahuan, namun juga membuka ruang dan memperkuat kekurangan umat manusia. Sisi buruk internet tenyata telah menyerang pengetahuan yang sudah mapan.
Melalui hukum Sturgeon, Nichols mengatakan bahwa, “90% dari semua hal (ruang maya, merupakan sampah)”. Baginya, hadirnya internet yang terlalu memanjakan dapat membuat manusia semakin bodoh. Termasuk layanan kecerdasan buatan dalam dunia kepenulisan ini jika tidak dikelola dengan bijak, maka ibarat pisau yang memiliki dua fungsi berbeda di tangan koki dan penjahat.
Pada akhirnya, otoritas keilmuan tidak lagi didasarkan pada para pakar atau seseorang yang ahli dalam bidang tertentu, karena semua orang bisa memproduksi karya tulis dengan kualitas yang sama hanya dengan menggunakan co-pilot AI.
Terakhir, yaitu menyebabkan runtuhnya integritas. Andreas Harefa memandang runtuhnya integritas yaitu ketika seseorang tidak memiliki sikap jujur serta mengingkari nilai etika dan moral.
Sejalan dengan ini, Stephen R. Covey menjelaskan perbedaan integritas dan kejujuran yang cukup menampar budaya plagiat bangsa kita, “honesty is telling the truth, in other word, conforming our words reality-integrity is conforming to our words, in other words, keeping promises and ful-filling expectations”.
Bijak Memanfaatkan AI
Bagi akademisi terutama mahasiswa maupun dosen, integritas akademik seharusnya dijunjung tinggi untuk mencegah matinya orisinalitas, otoritas, integritas dan kredibilitas. Tidak ada salahnya memanfaatkan fasilitas teknologi AI, tetapi harus dikelola dengan bijak.
Beberapa giat bijak yang bisa diterapkan sebagi berikut: Pertama, menggunakannya sebagai alat bantu untuk menemukan ide, bukan pengganti sepenuhnya dalam menulis keseluruhan naskah akademik.
Kedua, memanfaatkannya dengan tetap menjaga integritas akademik dan secara etis.
Ketiga, memanfaatkan AI sebagai sarana untuk meningkatkan keterampilan belajar dan menulis.
Keempat, Tidak menerima secara mentah-mentah informasi yang disadurkan AI, perlu dipertimbangkan keselarasannya dengan sumber akademik lainnya.
Upaya ini setidaknya menjadi bekal bagi mahasiswa-akademisi ke depan tentang upaya bersahabat dengan teknologi secara sehat, bukan justru tercebur dalam kubangan plagiat dan duplikat.
***
*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, Peneliti, Cendekiawan Muda NU, Pengurus PW LTN NU Jatim 2024-2029, Anggota Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Satria Bagus |