Kopi TIMES

Sisi Gelap Penggunaan Internet dan Media Sosial

Senin, 13 Januari 2025 - 15:02 | 37.10k
Sayyid hidayatullah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Sayyid hidayatullah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus di mana seorang gadis menjadi korban pemerkosaan oleh sembilan orang setelah berkenalan melalui media sosial adalah tragedi yang sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan sisi gelap dari penggunaan internet dan media sosial. Kasus ini mencerminkan ancaman nyata yang dihadapi oleh pengguna internet, khususnya remaja dan perempuan, dalam bentuk kejahatan siber yang dapat berujung pada tindak kekerasan fisik.

Media sosial, yang seharusnya menjadi alat untuk berkomunikasi dan bertukar informasi, dalam banyak kasus dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab untuk melakukan penipuan, manipulasi, dan tindakan kriminal lainnya. Kejadian ini menunjukkan bahwa literasi digital dan kesadaran tentang bahaya interaksi online yang tidak aman harus ditingkatkan. Remaja perlu dididik tentang pentingnya menjaga privasi, memahami risiko berinteraksi dengan orang asing, dan mengenali tanda-tanda manipulasi atau bahaya potensial.

Advertisement

Kejahatan seperti ini menuntut tindakan hukum yang tegas terhadap para pelaku untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Kasus ini harus menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih waspada dan lebih bijak dalam menggunakan internet serta memahami pentingnya menjaga keselamatan diri di dunia maya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, adalah salah satu bentuk kejahatan yang merusak tidak hanya fisik, tetapi juga mental dan emosional korban. Sayangnya, kasus pemerkosaan terus terjadi dengan jumlah yang tidak sedikit, bahkan seringkali tidak dilaporkan. Dalam banyak kasus, korban justru merasa dipersalahkan, disudutkan, dan akhirnya memilih untuk diam. Kejahatan ini bukan hanya soal tindakan fisik semata, tetapi juga soal bagaimana kita sebagai masyarakat gagal memberikan perlindungan dan keadilan yang seharusnya diterima oleh setiap individu, khususnya perempuan. Menurut data dari berbagai lembaga yang mengawasi masalah kekerasan seksual, Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam hal penanggulangan pemerkosaan. Belum lama ini, sebuah laporan mengungkapkan bahwa 1 dari 5 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya. Ironisnya, hanya sebagian kecil yang berani melapor karena faktor ketakutan, rasa malu, dan kurangnya dukungan dari sekitar.

Pada dasarnya, pemerkosaan adalah produk dari budaya patriarki yang mendalam, di mana perempuan sering dianggap sebagai objek dan bukan sebagai subjek yang memiliki hak penuh atas tubuhnya. Dalam banyak masyarakat, perempuan diajarkan untuk menyesuaikan diri dengan keinginan laki-laki, baik dalam hal penampilan maupun perilaku. Akibatnya, pandangan bahwa "perempuan adalah milik laki-laki" atau bahwa perempuan harus menanggung konsekuensi dari perbuatannya seringkali dibenarkan. Budaya ini bukan hanya diperkuat oleh sikap individu, tetapi juga oleh media, film, dan berbagai representasi sosial yang sering kali menggambarkan perempuan sebagai objek seksual yang bisa dimiliki. Ketika perempuan dihargai hanya berdasarkan penampilannya atau seksualitasnya, bukan berdasarkan nilai dan kualitas dirinya, maka kekerasan seksual akan selalu dianggap sebagai hal yang mungkin terjadi—dan dalam beberapa kasus, seakan dibenarkan.

Ini bukan hanya soal kekerasan seksual, tetapi juga menunjukkan sejauh mana dampak negatif dari interaksi online yang tidak terkontrol dapat merusak kehidupan seseorang. Dalam hal ini, pemerkosaan bukanlah kejadian tunggal yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari pola yang lebih besar yang melibatkan ketidakpedulian terhadap privasi, kurangnya literasi digital, serta kelemahan sistem hukum dan perlindungan bagi korban kekerasan seksual.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bahaya Media Sosial dan Literasi Digital

Media sosial, pada dasarnya, diciptakan untuk mempermudah komunikasi dan menjembatani interaksi antar individu, tetapi sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan berbagai bentuk kejahatan, termasuk penipuan, pelecehan, hingga kekerasan seksual. Kasus ini menunjukkan betapa rentannya remaja dan perempuan yang berinteraksi secara tidak hati-hati di dunia maya. Banyak orang, terutama remaja yang belum sepenuhnya memahami potensi risiko yang ada, terjebak dalam manipulasi dan eksploitasi. Seringkali, pelaku menyamar sebagai teman atau pasangan yang ideal, memberikan perhatian berlebih untuk menarik korban ke dalam jaringan mereka.

Tidak jarang, para pelaku memanfaatkan ketidaktahuan atau ketidakmatangan korban dalam menjaga privasi mereka. Kejahatan siber semacam ini menggarisbawahi pentingnya pendidikan literasi digital yang memadai. Generasi muda perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya melindungi data pribadi, mengenali tanda-tanda perilaku manipulatif, dan mengetahui risiko yang muncul dari berbagi informasi terlalu terbuka di platform media sosial.

Sebagai contoh, banyak remaja yang merasa nyaman berbagi informasi pribadi mereka di dunia maya tanpa menyadari bahwa data tersebut dapat disalahgunakan. Belum lagi ancaman berupa pemerasan yang muncul setelah korban berbagi foto atau video pribadi. Dalam konteks kasus pemerkosaan ini, interaksi yang dimulai dengan cara yang tampak tidak berbahaya justru bisa berakhir dengan tragedi. Oleh karena itu, pendidikan dan kampanye kesadaran tentang bahaya media sosial sangat penting untuk mengurangi risiko terjadinya kekerasan melalui platform digital.

Peran Orang Tua, Guru, dan Komunitas

Meskipun literasi digital penting, tidak bisa dipungkiri bahwa peran orang tua, guru, dan komunitas juga sangat vital dalam mendampingi remaja saat menggunakan media sosial. Orang tua perlu terlibat lebih aktif dalam pengawasan dan pembinaan anak-anak mereka dalam berinteraksi online. Banyak orang tua yang menganggap media sosial sebagai sesuatu yang hanya perlu diawasi dari jarak jauh, tetapi tidak memahami betapa berbahayanya interaksi yang tidak terkontrol, terutama bagi remaja yang sedang mencari identitas diri.

Komunitas dan sekolah juga memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan yang lebih mendalam tentang etika digital dan potensi ancaman yang ada di dunia maya. Selain itu, penting bagi mereka untuk menciptakan ruang bagi korban kekerasan seksual untuk berbicara dan mendapatkan dukungan tanpa rasa takut akan stigma atau penolakan. Sosialisasi tentang cara melapor, pentingnya pengawalan hukum, serta keberadaan layanan pendampingan bagi korban juga harus semakin digalakkan.

Tanggung Jawab Platform Media Sosial dan Pemerintah

Selain pihak individu dan keluarga, platform media sosial itu sendiri juga harus bertanggung jawab atas perlindungan penggunanya. Banyak platform yang terlalu fokus pada keuntungan finansial dari banyaknya pengguna, tanpa cukup memperhatikan keamanan dan kenyamanan penggunanya, terutama ketika menyangkut masalah kekerasan dan pelecehan seksual. Meskipun banyak platform sudah memperkenalkan fitur pelaporan konten yang tidak pantas atau pelecehan, sistem yang ada masih seringkali lambat dalam menanggapi laporan, dan banyak pelaku yang lolos begitu saja dari hukuman.

Oleh karena itu, platform media sosial harus bekerja sama dengan pemerintah untuk mengembangkan sistem keamanan yang lebih ketat dan memastikan adanya mekanisme pelaporan yang lebih cepat dan responsif. Kebijakan yang mendukung perlindungan data pribadi pengguna juga perlu diperkuat agar informasi pribadi tidak jatuh ke tangan yang salah. Sementara itu, pemerintah perlu terus mendukung penelitian dan pengembangan kebijakan untuk menanggulangi kejahatan siber serta memastikan bahwa hukum yang ada dapat menghukum pelaku kejahatan dengan tegas.

Salah satu langkah penting dalam mengatasi pemerkosaan adalah melalui pendidikan. Sebagian besar pelaku kekerasan seksual tidak memahami batasan-batasan yang jelas mengenai consent (persetujuan). Oleh karena itu, sangat penting untuk mendidik generasi muda tentang konsep persetujuan dalam hubungan seksual. Pendidikan seksual yang komprehensif harus dimulai sejak usia dini, mengajarkan anak-anak untuk menghormati tubuh orang lain, memahami hak-hak mereka sendiri, dan bagaimana berkomunikasi secara terbuka tentang batasan-batasan pribadi.

Selain itu, masyarakat perlu diberdayakan untuk memahami bahwa pemerkosaan bukanlah masalah pribadi korban, melainkan masalah sosial yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Ketika ada kasus pemerkosaan, bukan saatnya untuk menghakimi korban, tetapi untuk mendukung mereka dalam memperoleh keadilan. Keberanian korban untuk melapor harus diapresiasi, bukan dicemooh.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Sayyid hidayatullah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES