
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bagaimana rasanya didiskriminasi selama sepuluh tahun? Presiden berganti, papan nama kementeriannya berganti, menterinya juga berganti, diskriminasi tetap berlanjut.
Maka, jangan heran jika dalam waktu dekat akan ada aksi mogok nasional dosen ASN Kemendikti Saintek. Pertama dalam sejarah bangsa. Dosen harus menempuh jalan perjuangan yang berbeda. Pena dan keyboard, sudah tak mempan untuk berjuang selama sepuluh tahun belakangan ini. Ya, berjuang menagih utang negara berupa pembayaran tunjangan kinerja.
Advertisement
Jika aksi mogok nasional dosen ASN ini benar terjadi. Maka, ini adalah tamparan keras kepada pemerintahan Prabowo. Pertama dalam sejarah bangsa, terjadi mogok dosen nasional.
Benarkah selama ini belum pernah terjadi dosen ASN melakukan aksi mogok? Jika secara nasional memang belum pernah terjadi. Namun jika di lingkup PTN sudah pernah terjadi.
Tahun 2022 lalu, dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) ITB melakukan mogok menuntut kesejahteraan. Bahkan, Togar Mangihut Simatupang, yang saat ini menjabat Sekjen Kemendikti Saintek, termasuk dalam barisan dosen yang menyepakati aksi mogok itu.
Masih segar, tahun lalu, dosen FK Unair juga mengancam akan mogok. Aksi ini dipicu karena pencopotan Dekan FK Unair oleh rektor.
Dua kasus mogok dosen dari PTN besar tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya dosen tidak akan kehilangan kehormatannya, kehilangan harga dirinya, hanya karena melakukan aksi mogok. Bahkan pendukung aksi mogok dosen beberapa waktu lalu, kini bisa menjadi pejabat di kementerian.
Namun disadari atau tidak, tiap dosen masih mempunyai nurani. Masih ada kegelisahan, apakah harus sampai mengorbankan generasi bangsa, meninggalkan kelas dan laboratorium. Tapi apakah itu semua bisa menutupi diskriminasi sepuluh tahun terakhir ini? Melupakan utang negara yang tidak dibayarkan?
Butuh jiwa korsa, dan ini masalah serius di perjuangan dosen ASN Kemendikti Saintek. Terdapat segregasi di dosen ASN Kemendikti Saintek.
Bentuk PTN sangat mempengaruhi rendahnya jiwa korsa ini. PTN Satker, PTN BLU, dan PTNBH, ketiganya seolah menjadi pembatas munculnya jiwa korsa di dosen ASN Kemendikti Saintek. Lagi-lagi kesenjangan pendapatan sangat mungkin terjadi di ketiga bentuk PTN ini.
Jiwa korsa juga tidak dapat terbangun karena ada sosok-sosok perongrong perjuangan. Dosen yang bersuara, dosen yang berjuang, justru distigma sebagai manusia yang tidak bersyukur. Terkadang aneka dalil hingga peribahasa dan kata bijak kuno disematkan.
Perspektif antar dosen boleh berbeda. Pendapat antar dosen boleh tak sama. Namun yang dibutuhkan oleh sesama dosen ASN Kemendikti Saintek saat ini adalah empati.
Jiwa korsa juga sulit terwujud karena dosen juga beragam tipenya. Ada yang seperti Aris di Ipar Adalah Maut, namun ada pula yang seperti Pak Bakti di Dosen Ghaib. (*)
***
*) Oleh: Slamet Widodo, dosen ASN Kemendikti Saintek
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |