Keblinger Ilmu: Sebuah Paradoksal Pengetahuan Di Era Posmo

TIMESINDONESIA, MALANG – Pada dasarnya Ilmu pengetahuan sudah menjadi pondasi utama dalam peradaban manusia, dari zaman filsuf kuno hingga era digital yang serba canggih seperti dewasa ini. Kendati demikian, manusia terus menggali, menganalisis, dan memperluas wawasan. Namun, ironisnya, di tengah perkembangan yang pesat ini, justru dihadapi pada sebuah fenomena yang dapat disebut sebagai keblinger ilmu dalam artian sebuah paradoks di mana ilmu yang seharusnya menjadi cahaya penerang justru bisa terjadi kekeliruan yang pelik.
Paradoks ini terjadi ketika ilmu digunakan bukan untuk mencari hal kebenaran, melainkan untuk membenarkan kepentingan tertentu atau sejenisnya. Konsep ini pada dasarnya sudah ada sejak lama yang acap kali disebut Post-modernisme, di mana segala sesuatu yang sudah ada pada tempatnya, namun keluar dari tempatnya. Mirisnya, paradoksal tersebut dapat dilihat dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial budaya hingga teknologi. Misalnya dewasa ini, dengan Informasi yang berlimpah terkadang tidak membawa pencerahan, melainkan justru membingungkan. Masyarakat yang terpapar begitu banyak data bisa terjebak dalam bias konfirmasi, memilih informasi yang mendukung keyakinan pribadi tanpa mempertimbangkan validitasnya.
Advertisement
Selanjutnya, penyalahgunaan penelitian ilmiah yang tak jarang juga penelitian seharusnya objektif namun menjadi alat legitimasi kebijakan yang justru dapat merugikan banyak pihak. Sisi lainnya, segala bentuk riset bisa saja dimanipulasi demi keuntungan aspek industrialisasi. Begitu juga dalam ranah politik, di mana statistik dan data bisa dimanipulasi agar sejalan dengan agenda utama politik. Jika menilik lebih jauh lagi, paradoks ilmu pengetahuan juga tampak dalam perkembangan teknologi. Manusia menciptakan kecerdasan buatan yagn sejatinya bertujuan untuk mempermudah aktivitas kehidupan masyarakat, tetapi di saat yang sama, terjadi kehilangan banyak lapangan pekerjaan dan menghadapi krisis etika atau adab yang serius. Dalam artian, internet yang seyogianya menjadi sarana penyebaran ilmu malah menjadi ladang hoaks dan disinformasi.
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi wadah untuk mengasah kemampuan berpikir kritis, meningkatkan keahlian, dan memperluas wawasan. Namun, dalam beberapa kasus, terdapat fenomena di mana individu dengan latar belakang pendidikan tinggi justru merasa dirinya paling pintar, meskipun tidak memiliki keahlian khusus yang relevan. Fenomena ini sering kali membawa dampak negatif, baik bagi individu tersebut maupun di lingkungan sekitarnya. Fenomena "Keblinger Ilmu" ini biasanya muncul dari ilusi pengetahuan, di mana seseorang merasa memahami suatu topik hanya karena pernah bersentuhan dengan hal tersebut secara dangkal. Dalam artian kondisi tersebut di mana seseorang yang memiliki sedikit pengetahuan tentang suatu hal justru cenderung melebih-lebihkan pemahamannya. Ironisnya, semakin kurang seseorang memahami sesuatu, semakin yakin bahwa dirinya benar.
Banyak orang yang merasa pintar bukan karena mereka benar-benar mendalami suatu bidang, melainkan karena mereka terpapar banyak informasi. Namun, banyaknya informasi tidak selalu berbanding lurus dengan paradigma pemahaman. Begitu pun sebaliknya, derasnya informasi yang tidak tersaring acap kali membuat orang memilih informasi yang sesuai dengan bias atau keyakinannya sendiri. Hal demikian sering disebut sebagai bias konfirmasi, di mana seseorang hanya mencari dan menerima fakta yang mendukung opininya, sembari mengabaikan bukti lain yang mungkin lebih valid dan relevan.
Orang yang merasa pintar tetapi tidak memiliki keahlian khusus acap kali mengambil keputusan atau memberikan opini yang tidak berdasarkan fakta. Hal demikian tentu saja bisa berdampak buruk, khususnya jika orang tersebut berada di posisi yang memiliki pengaruh, seperti pemimpin organisasi atau pembuat kebijakan. Kepercayaan diri yang tidak didukung oleh kompetensi ini dapat membuat "keblinger," yaitu mengambil langkah-langkah yang salah dan merugikan.
Di era Posmo dewasa ini, pendidikan tidak cukup hanya mengandalkan gelar akademik. Dunia kerja dan masyarakat membutuhkan individu yang memiliki keahlian khusus dan mampu berkontribusi nyata. Keahlian tersebut tidak hanya mencakup aspek teknis, tetapi juga kemampuan untuk mendengarkan, memahami, dan menerima masukan dari orang lain. Kesombongan intelektual hanya akan menjadi penghalang untuk belajar lebih lanjut dan beradaptasi dengan perubahan. Dalam artian, sejatinya manusia adalah yang mampu menyeimbangkan antara Spiritual, Intelektual, dan Emosional Quo.
Oleh karenanya, penting bagi setiap individu untuk menyadari batasan pengetahuannya dan tetap rendah hati. Pendidikan tinggi seyogianya mengajarkan untuk terus belajar, bukan merasa paling benar. Kolaborasi, terbuka terhadap kritik, dan mendalami keahlian tertentu adalah langkah-langkah konkret yang dapat diambil untuk mengantisipasi Keblinger Ilmu. Fenomena ini mengingatkan kita bahwa pendidikan bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang harus terus berjalan. Gelar dan status akademik hanyalah awal dari perjalanan panjang untuk menjadi individu yang benar-benar kompeten dan bijaksana.
Pendidikan tidak hanya tentang menguasai pengetahuan, tetapi juga tentang membangun karakter yang beradab dan nilai. Dengan mengedepankan pendidikan yang berbasis nilai, maka dapat menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga bijak dalam mengimplementasikan ilmu pengetahuan secara jujur, penuh rasa ingin tahu, dan kerendahan hati harus ditanamkan sejak dini. Pada akhirnya, keblinger ilmu adalah tantangan yang harus dihadapi bersama. Setiap individu memiliki tanggung jawab untuk terus belajar dan berkembang. Dalam artian, sangat penting untuk tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi juga pencari kebenaran secara epistemologis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat kembali ke fitrahnya sebagai cahaya yang menerangi jalan, bukan sebagai kabut yang menyesatkan.
***
Oleh: M. Ramadhana Alfaris, Dosen Fakultas Hukum, Ka. Humas, Universitas Widya Gama Malang (UWG)
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |