Kopi TIMES

Prabu Niwatakawaca

Rabu, 29 Januari 2025 - 20:07 | 70.95k
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di dasar samudra, di balik gulungan ombak dan gelombang yang terus berderu, berdirilah Kota Manimati. Megah. Kota itu dibangun oleh Prabu Niwatakawaca dan para Asura, dengan anugerah dari Dewa Brahma.

Di epos Mahabharata disebut keindahannya melebihi kahyangan. Kota itu tak hanya sebuah tempat, tapi simbol kekuatan. Lambang kejayaan yang dibangun di atas angkara murka.

Advertisement

Namun, kemegahan itu berbalut teror. Dari dalam lautan, mereka menyusun siasat. Dunia akan mereka taklukkan. Dengan kekuatan tak tertandingi, mereka berambisi meluluhlantakkan segalanya. 

Tapi, sejarah selalu punya caranya sendiri untuk menyusun akhir dari kesewenang-wenangan.

Berabad-abad kemudian, kisah itu hidup kembali. Kali ini, bukan di dunia mitologi, tapi di perairan laut Tangerang. Pagar laut menjulang, menutup jalan para nelayan. Air yang seharusnya menjadi penghidupan mereka, kini dibatasi pagar. Bukan Asura yang membangunnya, melainkan manusia—yang bersandar pada kuasa dan modal.

Dua nama mencuat. Purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Laut. Sosok yang dulu menjaga perbatasan kini menciptakan batas baru di laut yang seharusnya menjadi hak bersama. 

Pagar laut itu bukan sekadar proyek. Ia adalah simbol kekuasaan. Sebuah 'benteng' yang memisahkan mereka yang berkuasa dengan mereka yang tak bersuara.

Para nelayan terjepit. Ombak adalah hidup mereka. Laut adalah meja makan. Kini, batasan fisik mengungkung mereka. Ruang gerak menyempit. Perlawanan pun muncul. Dari mereka yang selama ini diam. 

Dari suara-suara yang perlahan mulai menggema di media sosial. Dari mereka yang menuntut keadilan. Petinggi negeri pun gusar. Perintah pun dilisankan: Robohkan pagar laut. 

Dulu, Prabu Niwatakawaca adalah raja raksasa. Ia memiliki ambisi menaklukkan kahyangan. Dengan kekuatan sihir, tentara kasatmata, dan baju zirah kebal senjata, ia merasa tak terkalahkan. Namun, di tengah keperkasaannya, ia lupa satu hal: kesewenang-wenangan selalu menumbuhkan perlawanan.

Maka datanglah Arjuna. Kesatria pilihan dewa. Ia menantang Niwatakawaca. Tidak sendiri. Ia ditemani Dewi Supraba. Bersama-sama, mereka mencari celah. 

Hingga akhirnya rahasia kelemahan sang raja terkuak—tersembunyi di kerongkongannya. Maka Arjuna pun melepaskan panah sakti Pasupati. Menembus tubuh kebalnya. Dan sang tiran tumbang.

Kini, pagar laut di Tangerang menjadi simbol baru dari tembok kekuasaan. Tapi siapa Arjuna yang akan melawan? Para nelayan yang kehilangan haknya? Rakyat yang bersuara di media sosial? Ataukah nanti Pengadilan bila ia bermuara ke sana? Jika itu masih berpihak pada keadilan maka akan menjadi panah Pasupati yang menembus tirani pagar laut.

Dulu, Niwatakawaca percaya bahwa dengan kekuatan dan keangkuhan, ia bisa menguasai dunia. Namun, sejarah mengajarkan bahwa setiap kesewenang-wenangan akan menemui batasnya. Bahwa setiap benteng yang berdiri di atas ketidakadilan, pada akhirnya akan runtuh.

Dan pagar laut itu? Tentu ia juga bukan benteng abadi. Ia hanya menunggu waktu untuk roboh bersama pembangunnya. (*)

*Penulis adalah mantan Produser Lapangan CNN Indonesia, kini tenaga ahli anggota DPR RI

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES