Kopi TIMES

Hewankah Kita? Stigma Atau Realita Bangsa

Senin, 03 Februari 2025 - 08:38 | 817.62k
Oleh: M. Ramadhana Alfaris, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Widya Gama Malang.
Oleh: M. Ramadhana Alfaris, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Widya Gama Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sedikit menengok ke belakang, sejak era kolonial, bangsa Indonesia acap kali dianggap seperti hewan oleh para kolonial. Anggapan tersebut muncul lantaran tidak kompetitif, hanya bisa diperintah, dan tidak mampu bersaing sehingga dianggap seperti hewan. Hal demikian, sempat disampaikan oleh Presiden Pak Prabowo dalam pidatonya yang menyinggung soal sejarah tentang sewaktu masa kolonialisme Belanda terdapat prasasti di kolam renang bekas Belanda bertuliskan Honden En Inlander Verboden yang artinya Anjing dan Pribumi Dilarang. Stigma ini bukan hanya datang dari luar, tetapi secara tidak sadar juga terus dipertahankan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Jika direnungkan secara mendalam, hal demikian sejatinya membuat miris mengetahui hal tersebut, apalagi ini berkaitan dengan jati diri dan harga diri bangsa.

Tanpa disadari, nuansa tersebut seolah-olah masih terbawa hingga saat ini, seperti halnya banyak masyarakat yang suka tampil seperti hewan menggunakan busana dengan motif hewan, mengidentifikasi diri dengan sifat-sifat hewan tertentu, hingga membentuk budaya pop yang menjadikan karakter hewan sebagai daya tarik utama. Sejak dini, anak-anak di sekolah sudah dikenalkan dengan berbagai gimmick atau karakter bahkan foto profil pribadi yang ditampilkan mengasosiasikan dengan binatang favorit. Selanjutnya, banyak publik figur yang membangun personanya dengan meniru ekspresi dan gaya hewan tertentu yang seolah-olah itu adalah sesuatu yang membanggakan juga menghibur.

Advertisement

Sisi lainnya, bukti nyata bahwa bangsa ini seolah masih dikondisikan seperti hewan yaitu tercantum dalam dokumen identitas resmi, yaitu Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada bagian status, terdapat dua opsi Kawin atau Belum Kawin. Padahal, secara bahasa dan makna, diksi "kawin" lebih sering digunakan untuk makhluk secara umum seperti tumbuhan, hewan, dan makhluk lainnya notabene manusia. Pada dasarnya, istilah "kawin" memang berlaku secara umum untuk seluruh makhluk hidup, termasuk tumbuhan, hewan, dan manusia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "kawin" didefinisikan sebagai proses membentuk keluarga dengan lawan jenis dan melakukan hubungan yang bersifat intim.

Sementara itu, diksi "nikah" secara definitif lebih spesifik, yakni ikatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan agama. Ini menunjukkan bahwa "kawin" memiliki cakupan yang lebih luas, sedangkan "nikah" mengacu pada aspek hukum dan religiusitas. Diksi "nikah" lebih tepat untuk manusia lantaran kata tersebut memiliki nilai dasar yang luhur dalam hal ini khusus untuk manusia yang mana dalam prosesnya mengandung unsur kesakralan. Tetapi, mengapa Negara tetap memilih kata "kawin"? Apakah masih bagian dari warisan paradigma kolonial yang tanpa sadar masih mengakar dalam sistem birokrasi bangsa? atau, apakah karena bangsa ini masih dikategorikan sebagai bangsa yang berkembang?

Pasalnya, manusia sejatinya berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia memiliki derajat yang tinggi dibandingkan makhluk hidup lain. Derajat ini tidak hanya terletak pada kemampuan intelektual, tetapi juga pada moralitas, spiritualitas, dan sistem nilai yang dianutnya. Oleh karenanya, kata-kata yang dilekatkan kepada manusia seharusnya berbeda, lantaran derajatnya memang berbeda serta memiliki nilai filosofis historis. Penggunaan istilah yang lebih sesuai seperti "nikah" tidak hanya mencerminkan penghormatan terhadap manusia sebagai makhluk yang bermartabat, tetapi juga menunjukkan kepekaan budaya dan agama yang menjadi pondasi bangsa.

Bahasa Sebagai Cerminan Peradaban

Pada dasarnya, sejak dahulu, bahasa selalu menjadi cerminan peradaban sebuah bangsa. Bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi budaya , tetapi juga simbol identitas, kebanggaan, dan martabat suatu masyarakat. Pilihan kata yang digunakan untuk objek ataupun subjek dalam bahasa menunjukkan wawasan suatu bangsa terhadap dunia, termasuk bagaimana bangsa tersebut memandang dirinya sendiri. Pelekatan kata yang tidak tepat pada manusia sebagai subjek utama bisa mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap martabat manusia itu sendiri.

Dapat dikatakan, ketika sebuah bangsa menggunakan bahasa dengan sembarangan, misalnya menyamakan istilah yang digunakan untuk manusia dengan istilah yang lebih sering diasosiasikan dengan hewan, hal demikian mencerminkan minimnya kesadaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya, bangsa yang memperhatikan pemilihan kata secara hati-hati menunjukkan peradaban yang maju, di mana bahasa mencerminkan penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai luhur.

Sebagai bangsa yang berlandaskan Pancasila, sila kedua berbunyi Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, di mana manusia hidup untuk kehidupan sesuai kodratnya sebagai manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial, dengan berbagai aspek pendukungnya untuk mencapai keadilan dan keberadaban. Adab dalam hal ini adalah perilaku positif dan alamiah yang melekat pada manusia. Adab mencerminkan nilai-nilai luhur, seperti menghormati martabat manusia, menjalankan keadilan, dan menjaga tata krama dalam kehidupan bermasyarakat. Ketika manusia tidak diperlakukan sesuai dengan derajat dan adabnya, maka nilai sila kedua ini sesungguhnya sedang diabaikan dan tanpa disadari sedang menjauhkan diri dari nilai-nilai kemanusiaan.

Sebuah Kontemplasi

Kontemplasi mendalam akan pentingnya harkat dan martabat manusia perlu menjadi evaluasi terhadap kemajuan bangsa, seperti penggunaan istilah resmi yang digunakan dalam dokumen-dokumen kenegaraan. Hal demikian dapat diawali dengan mengevaluasi istilah "kawin" dan "nikah" pada kolom status di KTP. Hal ini bukan sekadar perbaikan semata, tetapi juga menjadi simbol pengakuan atas martabat manusia yang berbeda dari makhluk lainnya.

Generasi muda perlu diajarkan untuk memahami pentingnya memilih diksi yang tepat dalam menggambarkan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dengan begitu, tidak hanya menghindari stigma lama tetapi juga mampu membangun identitas bangsa yang lebih bermartabat. Sisi lainnya, masyarakat perlu mengetahui dan memahami karakteristik manusia yang unik, seperti intelektualitas, kreativitas, dan moralitas. Hal ini bisa dilakukan dengan mendukung konten budaya yang lebih mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Penggunaan istilah-istilah yang tidak mencerminkan nilai kemanusiaan perlu dievaluasi secara menyeluruh. Dengan segala perbaikan tersebut, dapat membangun sebuah bangsa yang lebih maju dan menghargai martabat manusia notabene menghapus stigma kolonial yang masih tersisa dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.

***

*) Oleh: M. Ramadhana Alfaris, Dosen Fakultas Hukum, Universitas Widya Gama Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES