Kopi TIMES

Dosen Dimiskinkan: Suara Keprihatinan dan Keadilan di Balik Pendidikan Tinggi Indonesia

Selasa, 04 Februari 2025 - 07:33 | 34.17k
Adiguna Sasama Wahyu Utama, Dosen ASN Kemdiktisaintek, Sekretaris ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia) Jawa Timur.
Adiguna Sasama Wahyu Utama, Dosen ASN Kemdiktisaintek, Sekretaris ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia) Jawa Timur.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Hari ini, 3 Februari 2025, menjadi hari yang tidak biasa di Indonesia. Ratusan dosen ASN Kemdiktisaintek dari seluruh penjuru negeri bangkit menyuarakan keluh kesah dan kekecewaan mereka. Pendapatan yang minim (hanya 2-4 juta per bulan), beban kerja dan adminsitratif yang berat serta mengada-ngada, serta berbagai “kesulitan” yang seolah-olah sengaja dibuat agar mereka tidak mendapatkan sertifikasi sebagai pendidik, melanjutkan studi, serta mencapai puncak karir mereka yaitu menjadi guru besar. 

Para dosen yang seharusnya menjadi pilar pembangunan SDM unggul bangsa Indonesia bahkan dihina dan diremehkan! Bayangkan dosen berstatus CPNS dengan latar belakang Pendidikan S3 hanya diberi pendapatan yang bahkan lebih rendah dari penghasilan kurir jasa ekspedisi yang bisa mencapai 5-6 juta per bulan. Kenyataan ini membuat kita mempertanyakan nilai dan penghargaan terhadap profesi yang seharusnya mencetak masa depan bangsa.

Advertisement

Rasa kekecewaan ini bukan semata karena soal nominal pendapatan yang rendah. Lebih dalam lagi, ia mencerminkan betapa terabaikan dan diperlakukan tidak adilnya para pendidik yang telah mengabdikan hidupnya untuk mencerdaskan generasi penerus. Dalam dunia yang terus berkembang dan bersaing di era globalisasi, kualitas pendidikan merupakan modal utama dalam meraih kemajuan. 

Namun, dengan kondisi finansial yang “merendahkan”, bagaimana mungkin dosen bisa memberikan yang terbaik bagi mahasiswa? Sistem penghargaan yang ada justru menyiratkan bahwa ilmu dan dedikasi mereka dianggap sepele, seolah-olah tak lebih berharga daripada pekerjaan tukang parkir mini market.

Kita harus bertanya, apa logika di balik kebijakan yang memberikan penghargaan lebih tinggi kepada profesi yang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Sementara dosen yang telah menempuh jalan panjang studi S2/S3-mendapatkan bayaran yang jauh lebih rendah? 

Realitas ini sungguh memprihatinkan, karena mengirimkan pesan kelam kepada masyarakat bahwa pendidikan tinggi dan dedikasi dalam mengembangkan ilmu tidak dihargai dengan sepatutnya. Jika para pendidik terus diperlakukan seperti ini, maka ke depannya motivasi untuk mengejar gelar tinggi dan mengabdikan diri dalam dunia akademik akan semakin luntur. 

Apalagi motivasi para generasi Z seperti peserta “Clash of Champion” Ruang Guru. Memang mereka bersedia jadi dosen di pelosok negeri dengan gaji awal hanya 2-3 juta rupiah per bulan? Hal ini tentunya berdampak buruk pada kualitas pendidikan dan inovasi di tanah air.

Tidak hanya dosen ASN, dosen swasta pun tidak luput dari permasalahan ini. Bahkan, mereka menghadapi diskriminasi yang lebih berat lagi. Banyak dosen swasta yang harus bergulat dengan berbagai keterbatasan, mulai dari infrastruktur, fasilitas riset, hingga penghargaan finansial yang jauh dari kata setimpal dengan kerja keras mereka. 

Dalam bayangan publik, profesi dosen seharusnya dihormati karena mereka adalah arsitek masa depan bangsa. Namun, kenyataan yang terjadi justru mencerminkan kontras yang tajam antara idealisme dan praktik di lapangan. Perlakuan tidak adil ini menciptakan luka mendalam dalam jiwa para pendidik, menimbulkan pertanyaan serius mengenai arah kebijakan pendidikan nasional.

Beberapa pejabat tinggi dan figur publik bahkan pernah menyatakan bahwa kondisi ini “pantas” dan “sesuai dengan sistem”. Pernyataan seperti ini sangat menyakitkan hati. Bila para pemimpin seharusnya menjadi contoh teladan dalam hal keadilan dan penghargaan terhadap setiap profesi, maka komentar seperti itu justru menandakan adanya jurang nilai antara kebijakan pemerintah dan harapan masyarakat. Tentu saja, pernyataan dari tokoh-tokoh seperti Prof. Togar M. 

Simatupang, Prof. Satryo S. Brodjonegoro, Menteri Keuangan, Wapres, hingga Presiden sendiri, harus menjadi bahan renungan mendalam. Jika penghargaan terhadap pendidikan tinggi tidak ingin hanya berakhir pada retorika belaka, maka kebijakan nyata untuk meningkatkan kesejahteraan dosen harus segera dilaksanakan. Jika tidak, bukan tidak mungkin kita akan kehilangan generasi pendidik yang berkualitas.

Melihat kenyataan yang ada, kita pun harus mempertanyakan arah kebijakan di bidang pendidikan. Apakah kita benar-benar ingin menjadikan sistem pendidikan yang hanya menekankan pada angka-angka statistik dan target-target kuantitatif? Atau, apakah sudah saatnya kita mengutamakan kualitas dan penghargaan terhadap mereka yang mengabdikan hidupnya demi mencerdaskan generasi? 

Saat ini, dosen bukanlah “sapi perah” yang hanya diperas tanpa mengindahkan nilai dan martabat profesinya. Mereka adalah insan yang telah mengorbankan banyak hal demi kebaikan bangsa, dan sudah sepantasnya mereka diperlakukan dengan adil serta dihargai layak sesuai dengan kontribusinya.

Rasa keprihatinan ini harus menjadi pemicu perubahan. Saatnya masyarakat, serikat pekerja, dan berbagai elemen pendidik bersatu untuk menyuarakan tuntutan keadilan. Kita tidak boleh lagi tinggal diam melihat betapa murahnya harga diri para pendidik yang kerap kali dijadikan korban sistem yang timpang. 

Suara mereka adalah cermin realita yang harus kita perbaiki bersama. Gerakan ini tidak hanya tentang menuntut kenaikan gaji, melainkan juga tentang pengakuan atas nilai moral, intelektual, dan etika profesi yang telah dibangun dengan susah payah. Inilah momen untuk merombak sistem dan memastikan bahwa setiap dosen mendapatkan penghargaan yang selayaknya.

Sudah saatnya kita mengakhiri segala bentuk diskriminasi dalam dunia pendidikan. Pesan yang tersirat dalam gerakan ini adalah bahwa setiap profesi, terutama yang berkaitan dengan pembangunan ilmu pengetahuan dan karakter bangsa, harus dihargai. Kita harus menolak sistem yang meremehkan jasa para pendidik, dan sebaliknya, mendukung kebijakan yang memberikan penghargaan serta insentif yang layak. 

Dalam era persaingan global, kualitas pendidikan merupakan pondasi utama untuk mencapai kemajuan. Jika dosen terus diperlakukan tidak adil, maka masa depan bangsa pun akan terancam. Mari kita dukung upaya pembenahan dan perbaikan kebijakan demi terciptanya keadilan bagi seluruh pendidik di Indonesia.

Kita, sebagai masyarakat yang mencintai pendidikan dan kemajuan bangsa, memiliki tanggung jawab untuk menyuarakan kekecewaan dan keprihatinan ini. Tidak hanya untuk para dosen, tapi juga untuk generasi yang akan datang. 

Perjuangan mereka adalah investasi untuk masa depan yang lebih baik. Namun, bagaimana mungkin kita berharap akan perubahan jika para pembuat kebijakan terus menutup mata terhadap penderitaan para pendidik? 

Sudah saatnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat dan penggiat pendidikan ditegakkan, bukan hanya retorika belaka. Mari kita bersatu dan berjuang demi keadilan, demi penghargaan yang layak bagi mereka yang telah mengabdikan diri untuk negeri ini. (*)

***

*) Oleh : Adiguna Sasama Wahyu Utama, Dosen ASN Kemdiktisaintek, Sekretaris ADAKSI (Asosiasi Dosen ASN Kemendikti Saintek Seluruh Indonesia) Jawa Timur.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES