Kopi TIMES

Kitab-Kitab Islam Klasik Pesantren

Selasa, 04 Februari 2025 - 14:38 | 20.86k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Unsur pokok lain yang membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik yang dikarang para ulama terdahulu, mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab.

Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.

Advertisement

Pada sebagian pesantren, sistem penyelenggaran pendidikan dan pengajaran makin lama makin berubah, karena dipengaruhi oleh perkembangan pendidikan di tanah air, serta tuntutan dari masyarakat di lingkungan pondok pesantren sendiri. Namun sebagian pesantren tetap mempertahankan sistem pendidikan yang lama.

Pergeseran-pergeseran nilai yang terjadi menuntut pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitas sebagai lembaga pendidikan Islami.

Pada masa Orde Baru, lembaga pesantren tampaknya memperlihatkan dinamika yang cukup fenomenal. Beberapa aspek dalam pesantren mengalami dinamika, tentunya terkait dengan kondisi-kondisi yang berlangsung di seputar kelembagaan pesantren, terutama sekali tuntutan zaman yang semakin tak terbendung.

Menelusuri periode-periode awal orde baru, pesantren dihadapkan pada situasi-situasi yang cukup krusial. Namun banyak literatur yang menyebutkan bahwa pesantren tampaknya cukup berhasil menjawab tantangan-tantangan tersebut.

Misalnya dalam masa-masa kesulitan ekonomi yang dihadapi Indonesia pada dekade 1950-1960, dinamika pesantren banyak berkenaan dengan pemberian keterampilan, khususnya dalam bidang pertanian, yang tentu saja diharapkan bisa menjadi bekal bagi para santri, selain untuk menunjang ekonomi pesantren bagi sendiri.

Penekanan pada bidang keterampilan ini dengan mudah bisa dipahami. Dalam masa-masa sulit seperti itu, pesantren semakin dituntut untuk self supporting dan self financing. Oleh karena itu, banyak pesantren di pedesaan-seperti di Tebuireng dan Rejoso-mengarahkan para santrinya untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan vokasional di bidang pertanian, seperti penanaman padi, kelapa, tembakau, dan kopi.

Hasil penjualan dari usaha pertanian seperti itu selanjutnya digunakan untuk membiayai pesantren. Pada waktu yang bersamaan, pesantren-pesantren besar, seperti Gontor, Tebuireng, Tambakberes, dan Tegalrejo mulai mendirikan dan mengembangkan koperasi. Melalui koperasi ini, minat kewirausahaan para santri dibangkitkan, untuk kemudian diarahkan menuju pengembangan dan pengelolaan usaha-usaha yang sangat diperlukan bila sang santri kembali ke masyarakat.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Respons pesantren dalam bentuk lain, muncul pada saat timbul semacam persaingan pesantren dengan sistem kelembagaan madrasah modern yang ditempatkan di bawah tanggung jawab dan pengawasan Depag, yang sejak 1950-an melancarkan pembaharuan madrasah, setelah sebelumnya "menegrikan" banyak madrasah swasta.

Untuk merespons perkembangan ini, semakin banyak pesantren yang mendirikan madrasah di dalam kompleks pesantren masing-masing. Dengan cara ini, pesantren tetap berfungsi sebagai pesantren dalam pengertian aslinya, yakni tempat pendidikan dan pengajaran bagi para santri (umumnya mukim) yang ingin memperoleh pengetahuan Islam secara mendalam; dan sekaligus merupakan madrasah bagi anak-anak di lingkungan pesantren.

Boleh jadi, sebagian murid-murid madrasah ini juga menjadi santri mukim di pesantren yang bersangkutan. Tetapi, setidaknya dengan daftar sebagai murid madrasah, mereka kemudian mendapat pengakuan dari Depag. Dengan demikian, mereka memiliki akses lebih besar tidak hanya dalam melanjutkan pendidikan, tetapi juga dalam lapangan kerja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak jarang ditemukan pesantren yang memiliki lebih banyak murid madrasah daripada santri yang betul-betul melakukan tafaqquh fi al-Din.

Lebih jauh lagi, beberapa pesantren tidak berhenti dengan eksperimen madrasahnya, beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan umum di bawah sistem Departemen Pendidikan Nasional; bukan sistem pendidikan agama yang berada di bawah Departemen Agama. Dengan kata lain, pesantren bukan hanya mendirikan madrasah, tetapi juga sekolah-sekolah umum, yang mengikuti sistem dan kurikulum Departemen Diknas.

Di antara pesantren-pesantren yang dapat dipandang sebagai perintis dalam eksperimen tersebut adalah pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, yang pada September 1965 mendirikan Universitas Darul Ulum, yang terdaftar pada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas ini terdiri dari 5 fakultas; dan hanya 1 fakultas yang merupakan fakultas agama Islam.

Pesantren lain yang juga menempuh cara ini adalah pesantren Miftahul Mu'alimin di Babakan Ciwaringin, Jawa Barat, yang mendirikan sebuah STM. Dalam masa-masa lebih belakangan, eksperimen seperti ini dilakukan oleh semakin banyak pesantren, sehingga menimbulkan kekhawatiran banyak kalangan yang ingin mempertahankan identitas pesantren sebagai lembaga pendidikan untuk tafaqquh fi al-Din, atau mempersiapkan calon-calon ulama, bukan untuk kepentingan-kepentingan lain, kususnya pengisian lapangan kerja.

Pada saat yang sama, terdapat kecenderungan kuat pesantren untuk melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren dipegang oleh satu atau dua orang kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren yang bersangkutan.

Tetapi perkembangan kelembagaan pesantren ini, terutama disebabkan adanya verifikasi pendidikan yang diselenggarakannya, yang juga mencakup madrasah dan sekolah umum, maka kepemimpinan tunggal kiai tidak memadai lagi. Banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan, yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.

Salah satu contoh dalam hal transisi kepemimpinan pesantren tadi adalah pesantren Maskumambang di Gresik, yang sejak didirikannya pada tahun 1895 dipimpin oleh keturunan pendirinya, KH. Abdul Jabbar. Tapi pada tahun 1958 kepemimpinan pesantren ini diserahkan kepada yayasan Kebangkitan Umat Islam.

Dengan perubahan pola kepemimpinan dan manajemen ini, maka ketergantungan kepada seorang kiai seperti pada pesantren-pesantren jaman dahulu jarang terjadi lagi. Kenyataan ini merupakan salah satu faktor penting yang membuat pesantren semakin lebih mungkin untuk bertahan dalam mengahadapi perubahan dan tantangan zaman.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pengalaman dan eksperimen pesantren, pada dasarnya sama dalam masa pemerintahan orde baru. Bertitik tolak pada pertumbuhan ekonomi, pemerintah orde baru juga menaruh harapan pada pesantren untuk menjadi salah satu agen perubahan dan pembangunan masyarakat. Dengan demikian, pesantren diharapkan tidak hanya memainkan fungsi-fungsi tradisional, yakni: pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam; kedua, pemeliharaan tradisi Islam; dan ketiga, reproduksi ulama.

Bisa disimpulkan bahwa respons pesantren terhadap modernisasi pendidikan Islami dan perubahan-perubahan sosial ekonomi, yang berlangsung dalam masyarakat Indonesia sejak awal abad ini mencakup: pertama, pembaharuan substansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukan subjek-subjek umum dan vokasional; kedua, pembaharuan metodologi, seperti sistem klasikal, perjenjangan; ketiga, pembaruan kelembagaan, seperti kepemimpinan pesantren, diverifikasi lembaga pendidikan; dan keempat, pembaruan fungsi, dari semula hanya fungsi kependidikan, kemudian dikembangkan sehingga mencakup fungsi sosial-ekonomi.

Secara fisik, pesantren mengalami kemajuan yang cukup fenomenal. Berkat peningkatan kemajuan ekonomi umat Islam, sekrang ini tidak sulit mencari pesantren-pesantren yang memiliki gedung-gedung dan fasilitas-fasilitas fisik lainnya yang cukup megah. Dengan demikian, tidak lagi bisa sepenuhnya diasosiasikan dengan fasilitas fisik seadanya, dengan asrama yang penuh sesak dan tidak higienis, misalnya.

Ekspansi pesantren juga bisa dilihat dan pertumbuhan pesantren, yang semula hanya rural based institution, kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan urban. Lihatlah kemunculan sejumlah pesantren kota seperti di Jakarta, Bandung, Medan, Pekanbaru, Yogyakarta, Semarang, Ujungpandang, atau wilayah sub-urban Jakarta seperti Parung atau Cilangkap. Seperti dikemukakan Zaniarkasyi Dhofier, di antara pesantren perkotaan yang muncul pada tahun 1980-an adalah pesantren esantren Darun Najah Ashidiqiyyah di Jakarta, pesantren Nurul Hakim, al-Kautsar, Darul Rafah di Medan, dan Darul Hikmah di Pekanbaru.

Dengan demikian, pesantren tidak lagi identik dengan kelembagaan pendidikan Islami khas Jawa; tetapi juga diadopsi oleh wiiayah-wilayah lain. Istilah "pesantren" itu sendiri telah cukup lama digunakan, misalnya di Sulawesi atau Kalimantan. Belakangan ini telah cukup lama digunakan-misalnya-di Sumatera Barat untuk menggantikan nama kelembagaan pendidikan agama Islam tradisional lainnya, yakni "Surau" yang terlanjur mengandung konotasi peyoratif. Sehingga di Pasar Usang, sebuah wilayah sub-urban kota Padang, Sumatera Barat, muncul sebuah pesantren dengan nama "Pesantren Modern Prof. Dr. Hamka".

Hal penting dalam pembicaraan mengenai ekspansi pesantren adalah pengadopsian aspek-aspek tertentu sistem pesantren oleh lembaga pendidikan umum. Sebagai contoh, pengadopsian sistem "pengasramaan" murid SMU "unggulan" yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir, walau dengan menggunakan istilah Inggris, Boarding School, seperti yang dilakkan SMU Madania di Parung. Kalau kita perhatikan, sistem boarding sebenarnya merupakan salah satu karakteristik dasar sistem pendidikan pesantren, yang dikenal sebagai sistem santri mukim. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES