Kopi TIMES

Gerilya Ataukah Perang Terbuka? Mengulik Strategi Kedaulatan Pangan Pemerintahan Prabowo-Gibran

Kamis, 06 Februari 2025 - 05:35 | 192.26k
Prof. Mangku Purnomo. PhD.  Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Prof. Mangku Purnomo. PhD. Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Dua hari ini riuh dimedia sosial, terkait statemen Presiden tentang kesiapan negara mengambil alih penggilingan padi swasta, kewajiban Bulog untuk membeli gabah seharga Rp6.500 setiap kilogram sebanyak 3 juta ton beras. Presiden tetap dengan lugas terus membahas masalah pangan di tengah viralnya kasus pagar laut dan gas LPG.

Penyataan presiden ini membuktikan bahwa pangan adalah masalah yang sangat urgen! Sebagai peneliti pembangunan pertanian, pernyataan-pernyataan tersebut seolah seperti peluru-peluru yang ditembakkan dari kegelapan pada jantung permasalahan, atau istilah saya ”gerilya”.

Advertisement

Kenapa dari kegelapan? Karena roadmap strategi ketahanan pangan pemerintah memang hingga saat ini belum utuh kita dapatkan. Sebagaimana diketahui, masalah pangan ini sangat pelik, banyak aktor yang terlibat dan dipenuhi berbagai prilaku ”greedy” mulai dari bisnis hulu seperti pupuk, obat-obatan, benih, dan alat mesin pertanian.

Memperbaikinya berarti ”perang” melawan sebuah sistem yang telah menggurita berpuluh tahun seolah telah menjadi ”mafia” pangan yang tak terkalahkan. Membahas satu persatu kerumitan ituh butuh pendalaman dan waktu lama, tentunya saya hanya  membahas bagaimana tiga peluru dari kegelapan tersebut akan bekerja.

Strategi Sporadik Kedaulatan Pangan

Istilah ”sporadik” atau ”gerilya” saya pilih karena saya belum memahami strategi yang cukup komprehensif disampaikan oleh pejabat terkait bahkan hingga presiden. Semua orang, termasuk para peneliti pertanian masih menerka-nerka apa sebenarnya strategi utama pembangunan ketahanan pangan ini. Karena itu, maka istilah ”gerilya” saya pakai untuk menenangkan hati dan berprasangka baik bahwa pemerintah memiliki agenda yang handal dan kompehensif. Yang saya istilahkan sebagai ”perang terbuka”! Karena kita sangat paham masalah pangan ini bukanlah masalah yang sepele. Melibatkan alam dalam produksinya, melibatkan banyak aktor dengan berbagai macam kepentinganya.

Ada peran negara yang tidak kalah penting termasuk politik nasional dan internasional. Tetapi, dari sisi efektivitas, tiga sasaran presiden tersebut sangat tepat, langsung pada bottle next permasalahan ketahanan pangan selama ini.

Peluru Pertama, penggilingan padi. Selama ini penggilingan padi kerap luput dari pantauan atau hampir tidak terkuak apa perannya secara pasti dalam carut marut ekonomi perberasan kita.

Penempatan statusnya juga ambigu, murni swasta dengan pola bisnis murni, ataukah bagian dari aktor penyangga stok pangan tidak pernah jelas? Terutama penggilingan-penggilingan medium dan kecil yang mengakar dan memiliki hubungan erat di petani beras baik sosial maupun ekonomi. Alam mereka di dunia bisnis, sementara harus berhubungan dengan Bulog atau negara dengan alam regulasi.

Tugas Bulog menampung beras, sesuai peraturan, sementara tidak berkemampuan dan berwenang membeli gabah sebagai bahan baku utama beras. Pelimpahan pembelian gabah pada penggilingan atau mitra-mitra bulog inilah yang menjadikan situasi rumit. Sulit melakukan kontrol pada level operasional. Kenyataan di level operasional, pasar gabah mengikuti logika suply demand murni sementara harga pemerintah tetap.

Saat ini paling tidak panen tahun 2024, beras telah bergeser ke korporasi besar. Korporasi besar kelihatan agak loyo akhir-akhir ini ditandai dengan kurang agresifnya mereka di lapangan.

Situasi ini akan membahayakan karena harga gabah bisa rendah di pasar, sehingga mengontrol mitra-mitra Bulog yang ribuan untuk membeli gabah sesuai dengan intruksi presiden akan sangat sulit.

Penggilingan-penggilingan selama ini sebenarnya cukup dilema. Selama ini mereka tetap memasok Bulog saat harga tinggi sebenarnya hanya untuk menjaga hubungan baik saja karena bisa menjadi tumpuan saat harga murah.

Saat harga baik, tentu mereka lebih suka masuk pasar. Inilah posisi ambigu penggilingan. Sangat rentan menjadi greedy.

Tak heran jika presiden mengancam akan membangun penggilingan baru jika mereka tidak membeli sesuai harga HPP. Artinya, negara telah mendeteksi dititik inilah sumber carut marut beras kita.

Peluru Kedua masalah kebijakan ”harga”. Apakah efektif? Mari kita uraikan bagaimana harga yang ditetapkan pemerintah itu rielnya berjalan?

Pada situasi harga pasar beras tinggi melebihi HPP, penggilingan padi harus bersaing dengan penggilingan besar yang kadang-kadang ”bermain” harga hingga mereka kesulitan mendapatkan barang dari petani. Mereka berkejar-kejaran dengan korporasi besar untuk mendapatkan gabah, akhirnya Bulog yang kesulitan mendapatkan beras.

Pada situasi seperti ini petani memang diuntungkan, tetapi Bulog akan kesulitan untuk membangun cadangan pangannya. Inilah yang menjadi legitimasi impor, tidak hanya sekedar banyaknya produksi, tetapi masalah stok pangan yang dikuasai pemerintah kecil karena kebijakannya sendiri.

Pada situasi harga gabah lebih rendah, maka penggilingan padi dan Bulog menjadi tumpuan harapan petani. Jika kuota hanya 3 juta ton beras maka hanya dibutuhkan kurang lebih 5,5 hingga 6 juta ton GKG.

Jikapun Bulog membuka pembelian langsung dengan asumsi produksi di atas 50 juta ton, maka akan membludak. Bisa menimbulkan masalah baru jika tidak diantisipasi.

Karena itu, butuh sebuah persiapan yang komprehensif tidak hanya sekedar kebijakan harga. Jika ini sudah dipikirkan dan disusun strateginya, maka saya yakin presiden kita sedang melakukan perang gerilya.

Tentu, pemerintah menyadari betul setiap tindakan mengusik ”mafia” akan menghadapi serangan balik. Jika mereka bersepakat tidak membeli selama musim panen cukup sebulan saja, harga akan manukik tajam dan akan terjadi penumpukan di pasar. Kalaupun pemerintah tetap mau menampung, gudang-gudangnya tidak didesain untuk menyimpan gabah.  

Peluru Ketiga, masalah target 3 juta ton beras. Ini cukup ambisius, karena musim panen segera tiba juga fasilitas yang belum ada. Baik uang ataupun infrastruktur bahkan mungkin juga aturan hukum serta SDM. Selama ini kita hanya berkutat diseputar 1,5 hingga 2 juta ton beras saja. Bisa jadi target ini tidak realistis.

Tetapi jika semangat tetap terjaga beserta dukungannya, tentu saja target akan tercapai. Beberapa kali saya bertemu dengan teman-teman dari Bulog, bahkan sempat meninjau beberapa fasilitasnya insa Allah mereka mampu.

Dari sisi teknis saat ini, dengan target 3 juta ton beras, dipastikan harga gabah tidak akan turun dipasaran sehingga petani tidak rugi serta para spekulan akan berpikir dua kali untuk bermain dengan harga.

Sebenarnya target 3 juta ton jika ditinjau dari rasio jumlah penduduk kita yang hampir 280 juta jiwa amatkan kecil. Paling minim tentunya kebutuhan pangan rakyat hingga musim panen berikutnya. Jika target 50 juta GKG ya sejumlah itu minimal. Karena selama ini kebutuhan dan panen beras kita memang sangat sedikit surplusnya.

Angka surplus berkisar antara satu juta ton saja sehingga sangat rentan posisinya. Itupun berbagai kalangan masih meragukan akurasi datanya. Jika perang seminggu saja, maka dipastikan kita akan kesulitan mendapatkan beras. Sementara kita paham petani padi saja saat ini kadang tidak memiliki cadangan beras. Apalagi para buruh pabrik di perkotaan. Maka pidato presiden yang konsisten bicara pangan dan energi selama ini, bahkan ancaman pada penggilingan padi menjadi sangat beralasan.

Dampak Praktis dan Strategis 

Jika penggilingan padi tertib. Paling tidak pada tahun ini. Maka dipastikan harga akan stabil. Artinya gejolak pada tingkat petani akan berkurang. Ada perubahan prilaku dikalangan penggilingan padi pastinya karena presiden sangat konsen. Bahkan serius mengancam. Dilihat dari pola kerja presiden, rupanya isu-isu strategis yang sering ”dihilangkan” tiba-tiba muncul. 

Ini sesuatu yang sering luput dari pengamatan kita. Kita tahu, hubungan Bulog dengan penggilingan padi ini rumit karena terbangun bertahun-tahun. Ada dua potensi, memudahkan kerja pengadaan beras, tetapi juga potensi citing jika kurang pengawasan. Paling apes, petugas-petugas muda dilapangan ”dikerjai” oleh pemilik penggilingan yang memang pemain lama. Tetapi rupanya presiden sangat well inform bahwa disitulah kunci dari kemandekan kebijakan pemerintah.

Kenapa peluru harga ini sangat krusial? Dari sisi praktis, harga yang ditetapkan Rp. 6.500._ relatif harga yang moderat saat ini. Petani sebagai produsen mendapat harga yang layak dan para karyawan pabrik mendapat harga yang tidak mencekik.

Kita tahu bersama industri kita belum mampu menggaji karyawannya sebagaimana negara maju sehingga pangan murah tetap diperlukan. Tapi, rejim pangan murah ini tetap harus dianggap sebagai transisi saja jika mau menjadi negara maju. Kedepan tentunya tidak lagi demikian polanya. Kebijakan harga ini harus mengacu betul pada pasar dengan tetap memperhatikan input produksi dan kesejahteraan petani.

Selama ini harga pembelian pemerintah (HPP) selalu di bawah harga pasar. Akhirnya Bulog kesulitan mendapatkan barang.

Dengan penetapan pembelian berupa gabah, sementara stok yang harus disimpan adalah beras, maka masalah harga ini tidak akan pernah beres. HPP dalam mengacu harga gabah, sementara Bulog menyimpan dalam bentuk beras.

Jika kebijakan stok gabah dilakukan, maka policy harga bisa berjalan lebih efektif. Kebijakan ini dapat menjadi pintu masuk pengalihan subsidi dari sarana produksi ke harga.

Subsidi pupuk, subsidi alat mesin pertanian (ALSINTAN) yang sering tidak tepat kegunaan dan sarasan sudah waktunya masuk ke subsidi harga. Subsidi harga memang tidak pernah tersentuh hanya menjadi wacana saja. Padahal inilah ujung masalah ”kemandekan” sektor pertanian. Kita tahu bahwa harga langsung bersentuhan dengan kantong petani. Harga yang bagus adalah kunci bagi semangat mereka untuk terus berproduksi.

Masalah stok. Jika tahun ini mampu mengumpulkan 3 juta ton, dengan anggaran kurang lebih 33 triliun rupiah asumsi harga beras 11 ribu rupiah, maka potensi spekulasi para pemain beras berkurang. Belum lagi sisa cadangan tahun 2024 baik dari dalam negeri dan import yang kurang lebih diatas 5 juta ton, maka dipastikan pasar beras akan relatif stabil.

Lembaga-lembaga pemerintah termasuk Bulog seakan mendapatkan media latihan untuk memperbesar kapasitas. Tiga juta adalah jumlah yang besar dengan kapasitas sekarang yang dimiliki pemerintah. Tetapi jika berhasil, seiring peluru-peluru lain yang disiapkan pemerintah, semoga saja demikian, maka ada harapan arah jelas visi pembangunan cadangan pangan kita.

Agenda Jangka Panjang

Sudah waktunya Bulog menyimpan gabah yang lebih lama daya tahannya. Stok betul-betul hanya untuk membangun cadangan pangan. Beras biar pasar saja yang bekerja dan lebih banyak dikerjakan oleh swasta. Istiqomah disini disertai dengan pembangunan silo-silo modern yang mampu menampung gabah dalam jumlah besar dan waktu lama.

Jika pemerintah serius, maka Bulog mampu menyimpan gabah hingga 10 tahun. Jika setiap tahun ditargetkan menyerap 10 persen produksi padi nasional maka akan terkumpul 25 juta ton gabah kering giling dalam lima tahun. Jumlah yang akan menakutkan siapa saja yang bermain-main atau berspekulasi dengan beras.

Hal ini juga akan mengurangi intervensi-intervensi pasar rutin, panitia-panitia inflasi, satgas-satgas pangan dan masih banyak lagi cost akan hilang dengan sendirinya. Negara tidak lagi dipandang sebelah mata oleh para mafia pangan, karena hanya memiliki stok 1 sampai 2 juta ton saja.

Tentu saja ini butuh sebuah cara radikal. Tidak hanya sekedar out of the box, tetapi berpikir without box. Kenapa? Karena pangan bukan sekedar ekonomi, tetapi ada unsur politik, juga harga diri bangsa.

Jika membangun silo-silo masih dengan pola-pola penyertaan modal seperti PSN sebagaimana selama ini dilakukan terlalu lama. Ini harus intruksi khusus presiden dan dalam waktu cepat! Tanpa sarana gudang yang memadai akan terjadi muntahan gabah sehingga menambah lagi biaya.

Setiap sentra produksi dapat dihitung secara pasti berapa kapasitas gudang yang dibutuhkan sekaligus berapa yang akan tetapi diperdagangkan melalui jalur tradisional selama ini. Jika para pemain penggilingan ini kesulitan, maka mereka bisa mendapatkan gabah dari bulog dengan harga yang juga tertetapkan secara wajar.

Bulog akan menjadi lembaga pengelola stok pangan yang hebat. Bukan untuk masuk dipasar beras normal sehingga menyaingi beras produksi penggilingan padi, tetapi murni sebagai pemupuk cadangan pangan.

Bulog akan bertransformasi menjadi agen negara dalam menjalankan politik pangan dunia. Istilah saya ”Global food player” karena akan menggunakan cadangan yang dia miliki sebagai alat diplomasi negara.

Lembaga strategis sebesar Bulog mustinya tidak berumit ria dengan ribuan penggilingan padi yang bermacam-macam motivasinya. Biarkan mereka berbisnis pangan pada level lokal, jika mengganggu stabilitas harga baru diintervensi. Termasuk memberi ruang swasta yang masuk pada bisnis beras.

Jika demikian, maka negara akan semakin berdaulat karena menguasai cadangan pangan yang cukup untuk seluruh rakyatnya. Paling tidak beras, Padi! Masih ada sumber pangan lain yang juga harus kita pikirkan berikutnya.

Jika beras sudah oke, maka harus masuk ke diversifikasi, pendidikan pangan, dan berbagai program lainnya. Lembaga-lembaga baru terkait pangan sudah sangatlah banyak. Kualitas pangan, keamanan pangan, serta berbagai budaya pangan juga akan tumbuh subur menjadi kekayaan bangsa kita.

Meski terkesan sporadis, tetapi saya melihat presiden sangat akurat membidik sasaran yang selama ini menjadi penghambat pembangunan kedaulatan pangan kita. Implementasi menjadi kebijakan, program, dan implementasi yang sifatnya praktis operatif masih memerlukan kerja keras.

***

*) Oleh : Prof. Mangku Purnomo. PhD, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES