Kopi TIMES

Nahwu dan Politik

Kamis, 06 Februari 2025 - 16:21 | 50.68k
 Dodik Harnadi (Pemerhati Kajian Sosial Keagamaan)
Dodik Harnadi (Pemerhati Kajian Sosial Keagamaan)
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam tradisi intelektual pesantren kitab kuning sebagai literatur utama menempatkannya sebagai salah satu rukun pesantren. Demikian menurut Zamakhsyari Dhofir (1980) yang merumuskan 5 rukun pesantren; Kiai, asrama, masjid, santri dan kitab kuning. Urgensi kitab kuning juga dielaborasi oleh Kiai Haji Abdurrahmad Wahid (2001) melalui strukturisasi kurikulum pembelajaran kitab kuning di pesantren.

Ada banyak istilah yang digunakan untuk menyebut kitab kuning; kitab gundul, kitab klasik dan turats adalah sekian diantara nama-nama yang digunakan untuk menyebut kitab kuning. Untuk bisa membaca kitab kuning diperlukan keahlian khusus karena karakteristiknya yang tidak berharkat; karena itu disebut kitab gundul. Ilmu yang perlu dipelajari untuk membekali keahlian membaca dan memahami isi kitab kuning disebut sebagai ilmu instrumental (ilmu alat) yang terdiri dari dua disiplin utama, Nahwu dan Sarraf.  Yang pertama berkaitan dengan prinsip serta aturan struktur kalimat (sintaksis), sementara yang kedua terkait dengan perubahan bentuk kata (sintagmatik/morfologi).

Advertisement

Ada sebuah ungkapan yang boleh jadi memberikan legitimasi pentingnya mempelajari gramatika Nahwu dan Sarraf sebelum menyusuri pemahaman kitab kuning, meskipun sumber materi keduanya juga merupakan kitab kuning. “Nahwu adalah induk pengetahuan, sementara bapaknya adalah Sarraf” (an-nahwu ummul ulum wa al-sharfu abuha).

Bagi kalangan pesantren yang mempelajari gramatika Arab, akan sangat familiar dengan ulama’ Basrah dan Kufah sebagai dua sekolah pemikiran (school of thought) arus utama dalam bidang gramatika. Pandangan-pandangan kedua kelompok seringkali menjadi rujukan para ulama Nahwu yang dipelajari di pesantren. Dialektika keilmuan yang berlangsung panas di antara kedua mazhab ini boleh jadi menyerupai perdebatan panjang abad ke -19 di kalangan ilmuan seperti Max Weber, Carl Manger dan sebagainya yang dikenal sebagai perdebatan metode atau methodenstreit (Naclachlan, 2017)

Menelusuri dialektika kedua mazhab mempertemukan kita dengan sejarah yang tidak hanya semata soal ilmu pengetahuan, tetapi juga soal perebutan legitimasi dengan bumbu-bumbu politik di dalamnya.

Soal Nahwu dan Aroma Politik

Dalam kitab Mughnil Labib (hal. 122), Syekh Ibnu Hisyam menceritakan bagaimana Imam Sibawaih sebagai pemuka ulama’ Nahwu Bahsrah terlibat perdebatan dengan Imam Farra’ dan terutama Imam Kisai, para pemuka Kufah pada masa pemerintahan Harun Arrasyid. Satu waktu, Sibawaih mengunjungi keluarga Barmak- patron terpandang dan berpengaruh dalam dinasti Abbasiyah- di kota Balkan. Yahya bin Khalid pemimpin klan Barmakid yang juga orang dekat Khalifah Harun, memanfaatkan momentum kedatangan Sibawaih untuk menyelenggarakan forum diskusi antara Kisa’i dan Sibawaih; jelas, masing-masing dianggap representasi dari dua kutub utama ilmu alat Basrah dan Kufah.

Bersama Imam Farra’ dari sisi Kufah, Imam Kisa’i terlibat perdebatan tajam dengan Imam Sibawaih dari sisi Basrah; Perdebatan seputar problematika Nahwu, di mana sejarah mencatatnya sebagai problematika zanburiah (al-masail al-zanburiah). Mana yang paling benar di antara ungkapan al-‘aqrab asyaddu lus’atan min al-zanbur fa idza huwa hiya (dhamir dibuat rafa’) atau fa idza huwa iyaha (dhamir dibuat nashab). Bagi Sibawaih, yang benar adalah yang pertama. Sementara format kedua salah secara sintaksis. Sebaliknya, bagi Imam Kisa’i, yang kedua benar.

Mengetahui diskusi mengalami kebuntuan (deadlock), Yahya bin Khalid yang memang dikenal maniak ilmu pengetahuan, menginterupsi. Dia menyatakan, karena tidak ada keputusan, diperlukan seorang pemutus untuk menentukan siapa yang benar di antara pendapat Sibawaih dan Kisa’i. Imam Kisa’i mengusulkan, agar pemutus kebuntuan tersebut adalah komunitas Arab yang hadir. Usul ini disambut dan diterima oleh Yahya bin Khalid. Hasilnya, komunitas Arab lebih sependapat dengan Kisa’i daripada Sibawaih.

Apakah ada motif politik dibalik ‘kemenangan’ Kisa’i? Setidaknya, demikian analisis Syekh Ibnu Hisyam. Menurutnya ada rumor, komunitas Arab terlibat kolusi dengan menerima sejumlah uang untuk mendukung Imam Kisa’i.  Rumor politis lain tentu berkaitan dengan Harun Arrasyid.

Sudah umum diketahui, Imam Kisa’i adalah orang dekat Khalifah. Dua Anak Ar-Rasyid, Al-Ma’mun dan Al-Amin, adalah murid Imam Kisa’i. Karena itulah, Arrasyid memberikan penghormatan tinggi kepadanya. Kedekatan inilah yang dianggap mendasari alasan Arab mendukung Kisa’i daripada Sibawaih.

Jejaknya di Indonesia

Terlepas dari panasnya perdebatan di antara kedua simpul Kufah dan Basrah tersebut, jejaknya sangat terasa dalam tradisi intelektual pesantren di Indonesia. Apakah tradisi pesantren Indonesia menunjukkan preferensi kepada salah satu Madzhab Kufah atau Basrah? Sependek yang kita amati, tidak ada kecenderungan dominan di antara keduanya.

Sebagian bisa saja berpendapat bahwa tradisi gramatika Arab di Indonesia mengikuti Basrah. Contoh paling umum adalah preferensi menggunakan terminologi jar ketimbang khafhad dalam empat sintaks dasar; rafa’ (umumnya kata diakhiri fonem dhammah/ bunyi u, misalnya al-kitabu), nashab (diakhiri fonem fathah/bunyi a seperti al-kitaba), jazam (fonem sukun/konsonan seperti ) dan jar (kasrah/bunyi i seperti al-kitabi).

Namun, asumsi demikian bisa dibantah. Misalnya, dalam hal asal derivasi kata Bahasa Arab, apakah akar katanya adalah fi’il (kata kerja/verb) atau mashdar (kata kerja benda/gerund). Kitab al-Amtsilat al-Tashrifiyah yang ditulis KH. Ma’shum bin Ali mengikuti Madhab Kufah di mana susunan kata dimulai dari kata kerja sebagai asalnya. Padahal seperti dijelaskan Ibnu Malik dalam Alfiyah-nya, asal kata dalam struktur Bahasa Arab menurut ahli Bashrah adalah kata kerja benda.

Dengan demikian, tidak ada patron tetap dalam tradisi intelektual di bidang gramatika. Praktiknya, gramatika yang dipelajari di pesantren cenderung cair, bahkan melakukan konvergensi (talfiq dalam tradisi fiqih). Terlepas dari bumbu politik yang menyelubungi kisah intelektual Ulama’ Basrah dan Kufah mereka adalah simbol dari jiwa zaman (zeitgeist) yang penuh kegairahan intelektual.

*) Dodik Harnadi (Pemerhati Kajian Sosial Keagamaan)

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES