Kopi TIMES

Peran Media Sosial dalam Penegakan Hukum dan Persepsi Publik

Minggu, 09 Februari 2025 - 17:28 | 65.73k
Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Di era post truth, munculnya diksi "No Viral No Justice" menjadi kritik yang semakin relevan terhadap penegakan hukum dan sistem peradilan. Fenomena ini mencerminkan realitas yang mengkhawatirkan di mana kasus ketidakadilan, terutama yang melibatkan individu yang terpinggirkan, sering kali tidak mendapat perhatian atau tidak terselesaikan kecuali jika mendapatkan sorotan luas di media sosial. 

Viralitas suatu kasus memaksa pihak berwenang untuk bertindak, menimbulkan kekhawatiran tentang ketidakberpihakan dan konsistensi dalam penegakan keadilan. 

Advertisement

Tulisan ini membahas implikasi dari "Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan," serta dampaknya terhadap penegakan hukum, kepercayaan publik, dan sistem hukum.

Media sosial telah menjadi alat yang kuat dalam mengungkap ketidakadilan dan menuntut pertanggungjawaban pihak berwenang. Kasus-kasus yang viral telah membawa perhatian pada insiden kekerasan polisi, pemenjaraan yang salah, dan korupsi yang mungkin tidak akan pernah terungkap. 

Tagar seperti #JusticeFor atau #StopPoliceBrutality telah menggerakkan audiens global, memaksa aparat penegak hukum bertindak di mana sebelumnya mereka ragu. Salah satu contoh yang terkenal adalah kasus George Floyd di Amerika Serikat. 

Video viral tentang kematian Floyd di bawah lutut seorang petugas polisi memicu protes global dan menghasilkan perubahan hukum serta kebijakan yang signifikan. Tanpa penyebaran video tersebut secara luas, kemungkinan besar kasus Floyd akan tenggelam dalam birokrasi, seperti banyak kasus serupa di masa lalu. 

Hal ini menunjukkan bahwa viralitas dapat menjadi mekanisme alternatif untuk keadilan, terutama ketika saluran resmi gagal. Fenomena tersebut juga terjadi di Indonesia dalam beberapa kasus sehingga munculah tagar #noviral#nojustice.

Meskipun media sosial telah berhasil menekan pihak berwenang untuk bertindak, keadilan yang dihasilkannya sering kali bersifat selektif. Banyak kasus ketidakadilan yang tidak pernah menjadi viral, meninggalkan banyak korban tanpa solusi. 

Lanskap digital sangat tidak dapat diprediksi, dan apa yang menjadi viral sering kali bergantung pada faktor arbitrer seperti daya tarik emosional suatu kasus, keberadaan bukti video, atau pengaruh tokoh media sosial.

Misalnya, kasus yang melibatkan individu dengan jaringan media yang kuat atau narasi yang menarik lebih mungkin mendapatkan perhatian dibandingkan dengan warga biasa yang tidak memiliki akses ke platform digital. 

Ini menciptakan ketimpangan di mana beberapa ketidakadilan mendapatkan perhatian besar sementara yang lain diabaikan, memperkuat ketidaksetaraan dalam akses keadilan.

Bahaya Pengadilan oleh Media Sosial

Masalah signifikan lainnya dari fenomena "Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan" adalah meningkatnya pengadilan oleh media sosial (trial by press). Pengadilan opini publik bisa cepat dan tak kenal ampun, sering kali melewati proses hukum yang seharusnya. 

Dalam banyak kasus, individu yang dituduh melakukan kejahatan menghadapi pelecehan daring, doxing, dan ancaman sebelum penyelidikan formal selesai. Sebaliknya, individu yang tidak bersalah dapat menjadi kambing hitam karena konten viral yang menyesatkan atau dimanipulasi.

Salah satu contohnya adalah tuduhan yang salah terhadap beberapa orang dalam kasus kriminal profil tinggi berdasarkan narasi media sosial yang tidak lengkap atau menyesatkan. Setelah sebuah tuduhan menjadi viral, hampir mustahil untuk membalikkan kerusakan reputasi.

Bahkan jika yang dituduh kemudian terbukti tidak bersalah. Ini merusak prinsip due process dan praduga tak bersalah, yang merupakan prinsip fundamental dalam sistem hukum yang adil.

Ketergantungan pada viralitas untuk mencapai keadilan menunjukkan adanya kelemahan serius dalam lembaga penegakan hukum dan peradilan. Jika pihak berwenang hanya bertindak ketika tekanan publik meningkat.

Ini menunjukkan kurangnya akuntabilitas internal dan ketidakefisienan sistemik. Secara ideal, keadilan harus ditegakkan berdasarkan prinsip hukum dan investigasi yang menyeluruh, bukan berdasarkan tren media sosial.

Selain itu, media tradisional berperan dalam memperkuat atau menekan kasus-kasus tertentu. Sering kali, outlet media mengambil cerita viral dari media sosial, semakin meningkatkan pengawasan publik. 

Namun, bias media juga dapat membentuk narasi, terkadang melebih-lebihkan atau mendistorsi fakta untuk menyesuaikan dengan agenda tertentu. Ini menimbulkan kekhawatiran etis tentang peran media dalam mempengaruhi keadilan dan persepsi publik.

Untuk mengurangi dampak negatif dari "Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan," reformasi sistemik sangat diperlukan. Pertama, lembaga penegak hukum harus memperkuat mekanisme akuntabilitas internal sehingga kasus-kasus ditangani berdasarkan merit daripada tekanan publik. Badan pengawas independen dapat membantu memastikan bahwa semua kasus, terlepas dari perhatian media, mendapatkan perlakuan yang adil.

Kedua, pengguna media sosial harus berhati-hati sebelum membagikan informasi yang belum diverifikasi. Program literasi digital dapat mendidik masyarakat tentang penggunaan media sosial yang bertanggung jawab, membantu mencegah penyebaran informasi yang salah, dan memastikan bahwa gerakan keadilan berbasis pada fakta, bukan sensasi.

Terakhir, pembuat kebijakan harus mempertimbangkan integrasi teknologi ke dalam sistem peradilan untuk memastikan pelacakan kasus yang lebih baik dan transparansi. Akses terbuka ke proses peradilan, kamera tubuh untuk penegak hukum, dan mekanisme pelaporan otomatis dapat membantu mengurangi ketergantungan pada media sosial untuk mencapai keadilan.

Fenomena "Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan" menyoroti kekuatan dan kelemahan sistem peradilan modern. Meskipun media sosial berperan penting dalam mengungkap ketidakadilan, ia juga memperkenalkan bias, selektivitas keadilan, dan risiko pengadilan oleh opini publik. 

Agar keadilan benar-benar adil dan dapat diakses, lembaga hukum harus berfungsi secara independen dari tren media sosial, memastikan bahwa setiap kasus-baik viral maupun tidak-mendapatkan penanganan yang layak. 

Sampai saat itu terjadi, frasa "Tidak Viral, Tidak Ada Keadilan" akan tetap menjadi realitas pahit dalam penegakan hukum dan pemerintahan kontemporer.

***

*) Oleh : Anshori, Direktur Pusat Study Hukum dan Sosial Lamongan serta Dosen Fakultas Hukum Universitas Billfath Lamongan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES