Kopi TIMES

Saham Tergoreng pada 20 Big Caps Penggerak IHSG

Senin, 10 Februari 2025 - 11:37 | 59.97k
Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.
Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Mengapa harga saham bergerak? Apa yang terjadi pada market atau perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) saat ini? Mengapa sampai ada 'saham tergoreng'? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah pertanyaan yang sering kali harus dijawab oleh seorang market analyst seperti saya.  

Meski mengetahui jawaban atas pertanyaan itu sebenarnya belum juga mendatangkan untung atau ‘cuan karung-karung’ (istilah motivator saham masa kini). Tetapi, memiliki jawaban atas pertanyaan tersebut seakan penting bagi mereka yang selalu ‘merasionalisasi’ atau mencari alasan atau mencari jawaban dari pertanyaan mengapa harga itu bergerak, serta apa yang sedang terjadi di pasar.

Advertisement

Salah satu cara yang bisa digunakan, adalah dengan melihat apa yang terjadi pada saham-saham big caps (saham-saham dengan kapitalisasi terbesar) yang ada di Bursa Efek Indonesia.  Jadi begini: Bursa Efek Indonesia (dan beberapa Lembaga Riset Pasar Modal yang lain) memiliki Indeks Harga.   

Indeks Harga ini, memiliki 2 kegunaan utama: pertama, adalah sebagai barometer dari kondisi pasar modal, dan yang kedua adalah sebagai alat yang bisa digunakan sebagai benchmark (acuan) dari mereka yang melakukan investasi.   
 
Sebagai barometer, berarti indeks ini harus bisa melihat kondisi umum perdagangan saham. Kalau indeks tersebut naik, berarti secara umum saham-saham yang berada di dalamnya mengalami kenaikan, sedangkan kalau indeks itu bergerak turun, berarti saham-saham yang berada dalam indeks tersebut secara umum (atau sebagian besar) sedang mengalami penurunan harga.  

Karena sejauh ini seluruh indeks yang ada di Bursa Efek Indonesia adalah Market Cap Weighted Index (Indeks yang disusun serta hitung dengan memperhatikan bobot dari market kapitalisasi dari saham yang berada di dalamnya), maka biasanya, saham yang memiliki kapitalisasi yang lebih besar, bakal memiliki bobot yang lebih besar dalam pergerakan indeks tersebut.  

Itu sebabnya, seorang market analyst akan cenderung lebih memperhatikan saham-saham big caps, saham-saham yang memiliki kapitalisasi terbesar dalam sebuah Indeks.

 

Tergoreng vs Digoreng atau Menggoreng

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, goreng itu memiliki arti: memasak (makanan) kering-kering di wajan (kuali) dengan minyak. Saya mencoba menanyakan apa arti goreng pada Gemini (AI buatan Google).  

Salah satu arti yang ditawarkan adalah: Di media sosial dan forum daring, "goreng" juga sering digunakan sebagai istilah untuk menyebut orang yang suka membuat keributan atau mencari perhatian dengan cara yang negatif.  

Goreng saham memang sebuah istilah yang tidak ada dalam hukum pasar modal Indonesia. Akan tetapi, goreng saham adalah sebuah istilah yang sering dibicarakan oleh para pelaku pasar.  

Dalam tulisan ini, saya ingin menawarkan definisi sebagai berikut: saham yang tergoreng adalah saham yang bergerak naik tinggi, jauh meninggalkan fundamentalnya.  

Jadi begini: seorang investor membeli saham dengan maksud untuk mendapatkan dividen. Dividen itu adalah bisa sebagian atau juga bisa keseluruhan daripada earning per share (EPS). Sebuah saham dikatakan ‘jauh meninggalkan fundamentalnya’ apabila saham itu memiliki price to earnings ratio (PER) yang sangat tinggi. ‘Sangat tinggi’ itu adalah sebuah istilah yang sangat relatif karena setiap orang memiliki standar yang berbeda-beda.  

Bagi saya, yang disebut sebagai price to earning ratio (PER) yang sangat tinggi adalah ketika sebuah saham memiliki PER lebih dari 100. Ketika membeli sebuah saham dengan PER>100, seorang investor harus menunggu sampai 100 tahun hingga dividen yang diterima, bisa membayar jumlah uang yang dikeluarkannya untuk membeli sebuah saham.  

Goreng saham adalah istilah yang tidak ada dalam hukum pasar modal Indonesia.  Menyebut ‘Menggoreng Saham’ atau ‘Saham yang Digoreng’ berarti saya harus menunjukkan ‘pelaku’ atau subjek dari aktivitas ‘Goreng Saham’ tersebut. Karena proses penunjukan atau pembuktian ini kemudian sangat rumit dan lebih sering tidak mungkin untuk dilakukan.

Oleh sebabnya, saya menggunakan kata ‘Tergoreng’ atau ‘tidak sengaja mengalami Goreng’. Nggak tahu gimana prosesnya, tapi yang penting, ketika harga saham sudah mencapai PER>100, berarti dia sudah berada dalam keadaan ‘Tergoreng’.  
Singkatnya: ‘Saham yang Tergoreng’ adalah saham yang mengalami Goreng Saham, sehingga memiliki PER lebih dari 100 kali.

WhatsApp-Image-2025-02-10-at-11.52.35.jpg

Beberapa hal yang bisa kita dapat dari 20 Saham Big Caps di Bursa Efek Indonesia adalah sebagai berikut:

Big Caps Indonesia Sudah Melewati Angka USD10 Miliar

Di market Amerika, sebuah saham dikatakan sebagai big caps apabila memiliki kapitalisasi pasar (market caps) di atas USD10 miliar. Pada tabel di atas, kita bisa melihat bahwa setidaknya sudah ada 13 emiten yang memiliki market caps di atas USD10 miliar (Rp 160 triliun). Big caps Indonesia itu sudah tergolong big caps dunia. Bursa Efek Indonesia itu memang bukan bursa yang kaleng-kaleng. 

Sektor Perbankan Tetap Menjadi Market Cap Terbesar

Pada 20 saham big caps tersebut, terdapat 5 emiten saham perbankan: BBCA, BBRI, BMRI, BBNI, dan BRIS.  Kelima saham itu menjadikan sektor perbankan tetap menjadi yang terbesar dari pergerakan IHSG dengan bobot sebesar 33,7 persen dari total bobot 20 saham big caps.

Terdapat 7 Buah Saham Tergoreng
Sebelumnya, saya sudah menjelaskan bahwa ‘Saham Tergoreng’ adalah saham dengen PER>100.  Dari 20 saham big caps, terdapat 7 dari 20 (setara dengan 35 persen) yang merupakan saham tergoreng. Emiten ini adalah: BREN, TPIA, PANI, CUAN, DNET, DCII, dan SMMA.  

Saham Tergoreng lebih Berpengaruh terhadap IHSG Dibandingkan Saham Sektor Perbankan

Ketujuh saham tergoreng ini, memiliki kapitalisasi pasar setara dengan 34,3 dari 20 saham big caps terbesar. Artinya: sebagai penggerak IHSG, bobot dari saham tergoreng lebih tinggi daripada bobot saham sektor perbankan.

Big Caps Tradisional hanya Tersisa 7
Dari 20 saham big caps tersebut, sebenarnya hanya tersisa 7 emiten yang merupakan saham big caps tradisional. Saham Big Caps Tradisional ini adalah saham yang biasanya menjadi saham big caps, dan IPO sebelum tahun 2010.  Ketujuh saham ini adalah BBCA, BBRI, TLKM, ASII, BBNI, dan ICBP.  Sisanya adalah saham-saham yang IPO setelah tahun 2010.

Harga Saham Big Caps Tradisional Cenderung Murah

‘Saham Murah’ atau ‘Saham Mahal’ itu memang sangat subjektif. Sebagian orang menyatakan bahwa saham yang berada pada PER 12 ke bawah, itu sudah tergolong murah. Dari 7 saham big caps tradisional, setidaknya hanya BBCA dan ICBP yang memiliki PER di atas 12.  

Sisanya, (BBRI, BMRI, TLKM, BBNI, dan ASII) sudah memiliki PER di bawah 12.  ASII bahkan ‘sedikit lagi’ menjadi saham Lo Kheng Hong (LKH) karena PER dari saham ini sudah mulai di angka 5 koma.  Saham pilihan LKH biasanya memiliki PER sekitar 3-5 kali.

Jika Standar Saham Tergoreng Dinaikkan menjadi PER 30 

Saham dengan PER 100 itu tergolong luar biasa sangat mahal banget.  Sudah luar biasa, sangat, dan pake banget lagi.  Mengingat rata-rata PER IHSG dalam 10 tahun terakhir berada di sekitar level 15-16 kali, maka saham dengan PER 30 saja, itu sebenarnya sudah tergolong mahal.  Bahkan, bagi mereka yang menganut paham value investing, saham dengan PER>30 sudah digolongkan sebagai ‘Saham yang Tergoreng’.

Nah, sekarang kalau standar ‘Saham Tergoreng’ ini  kita naikkan (dari PER 100 ke PER 30 itu disebut dinaikkan standar karena saringannya bakal memberikan saham yang lebih banyak) menjadi 30 kali, maka 66,33 persen saham 20 big caps adalah saham tergoreng.

Terakhir, apakah potret dari 20 saham big caps ini menandakan bahwa IHSG sudah terlalu mahal sehinga laik turun? Tidak juga. Saham big caps tradisional yang cenderung berada dalam harga murah, sebenarnya menunjukkan bahwa saham Indonesia (yang berfundamental bagus) sebenarnya masih tergolong murah. 
 
Aksi goreng pada saham-saham saja yang membuat harga saham pada saham 20 big caps menjadi tergolong mahal!  Itu sebabnya: kalau Presiden Prabowo kemudian bilang bahwa “Membeli saham di Indonesia itu adalah JUDI" terus terang saya setuju.  

BEI dan OJK terlihat mengkondisikan agar saham mudah berada dalam kondisi ‘Tergoreng’.  Penggerak saham kemudian berubah dari faktor yang rasional, menjadi hal-hal yang sifatnya tidak rasional, atau bahkan cenderung pompom. 

Dulu, almarhum Hanny Handoko, salah satu dosen kesayangan saya, mungkin juga dosen kesayangan dari teman-teman yang belajar di Fakultas Ekonomi (FE) UGM pada tahun 1980-an hingga 2020-an, pernah memberikan statement yang kurang lebih seperti ini: Indonesia itu penuh dengan local geniuses, kearifan lokal.  

Local geniuses ini adalah ilmu-ilmu yang hanya di Indonesia, kalau dalam konteks umum, konteks akademisi, dianggap sebagai belum tentu benar, salah, aneh, atau malah jadi bahan tertawaan.  

In my humble opinion, fenomena maraknya ‘Saham Tergoreng’ ini adalah fenomena local geniuses. Dalam membuat perdagangan saham di Indonesia bisa berlangsung secara wajar (bukan normal ya, tapi wajar), BEI dan OJK memang sering menggunakan definisi-definisi atau istilah-istilah yang sifatnya adalah local geniuses.  

Hal ini sebenarnya yang secara tidak langsung kemudian menimbulkan banyak ‘hal-hal yang terasa aneh’, seperti di antaranya adalah fenomena penolakan FTSE dan MSCI untuk memasukkan saham BREN ke dalam indeks mereka.  

Apakah lembaga yang memiliki standar kredibilitas yang tinggi seperti FTSE dan MSCI mau memberikan rekomendasi beli (memasukkan saham ke dalam sebuah indeks berarti rekomendasi beli, mengeluarkan dari indeks sering juga diartikan sebagai rekomendasi jual) pada saham-saham dengan PER > 500? Kita sudah lihat jawabannya.  

Akan tetapi, kearifan lokal yang saat ini sedang dipegang oleh OJK dan BEI ini, sepertinya perlu kita telaah lebih lanjut, karena hasilnya sepertinya sangat jauh dari harapan kita bersama. Ikuti kelanjutan dari tulisan ini. Happy trading, semoga barokah (*)

***

*) Oleh : Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES