Kopi TIMES

Menunggu Kembali BPJS Naker di Bursa Efek Indonesia

Jumat, 14 Februari 2025 - 10:11 | 38.94k
Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.
Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sudah lebih dari 6 bulan terakhir, IHSG berada dalam fase bearish market. Semenjak mendekati level psikologis 8000 pada bulan September 2024, IHSG memang terus bergerak turun dan hingga posisi kemarin yang mendekati level 6.500, IHSG berarti sudah turun sekitar 15 persen dalam waktu 6 bulan terakhir.

Banyaknya pelaku pasar yang desperate (hampir putus asa) rupanya Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Iman Rachman, bahkan sejak Selasa (11/2/2025) sore mulai muncul di media untuk mengajak investor melakukan posisi beli.

Advertisement

Harga saham memang hanya bisa bergerak naik, kalau ada orang yang melakukan posisi beli. Ceritanya, sebuah Bursa Efek itu, seperti sebuah api unggun yang sangat besar.  

Supaya api tersebut bisa tetap menyala, supaya api tersebut bisa menyala dengan terang benderang, Bursa Efek selalu membutuhkan kayu bakar yang baru. Kayu bakar itu adalah orang-orang yang melakukan posisi beli, baik dari Investor lama, serta (terutama) dari investor baru yang masuk ke Bursa Efek.

Nah, hari-hari ini, IHSG sedang terjun bebas. Saya melihat fenomena dimana pasar modal kita itu sekarang sedang berada dalam kondisi ‘tanpa pembeli’. Pihak-pihak yang biasanya menjadi pembeli, saat ini sedang ‘bermasalah’ atau sedang absen, tidak ada di tempat. 

Tidak adanya suplai ‘kayu bakar’ ini yang kemudian membuat harga bergerak turun.  Berikut ini adalah beberapa hal yang membuat tidak adanya pembeli di BEI.  

‘Saham Tergoreng’ sedang Diperangi BEI 
‘Saham tergoreng’ adalah saham yang harganya bergerak naik meninggalkan fundamentalnya, hingga mencapai PER>100. Saham tergoreng ini saat ini berlangsung marak, dimana 7 dari 20 saham big caps di BEI, saat ini statusnya adalah saham tergoreng.  

Maraknya saham tergoreng ini sebenarnya kurang lebih kesalahan dari BEI, karena maraknya saham tergoreng ini terjadi setelah adanya penutupan kode broker di akhir 2021.  

Akan tetapi, dimasukkannya saham tergoreng pada Papan Pemantauan Khusus, dimana saham yang termasuk dalam papan ini perdagangannya dilakukan dengan metode ‘Full Call Auction’, sepertinya adalah cara yang dilakukan oleh BEI untuk menebus kesalahan yang telah dilakukannya.  

Kegagalan BREN selaku saham big caps no 1 untuk masuk ke dalam indeks MSCI Indonesia dan FTSE Global, serta indeks-indeks utama lokal seperti LQ45, memang membuat saham tergoreng mengalami kesulitan untuk distribusi, sehingga harga mengalami penurunan yang cukup tajam pada beberapa hari terakhir.  

Langkah dari BEI ini, sepertinya sedang membuat mereka yang berkecimpung pada saham tergoreng ini mengurangi aktivitas. Minat dari pelaku pasar untuk membeli saham tergoreng bisa menjadi berkurang. 

Fund Manager Kesulitan untuk Mengalahkan Benchmark
Fund manager adalah orang yang mengelola dana milik orang lain. Mereka adalah orang yang berusaha untuk mencetak return setinggi-tingginya, tapi setidaknya, untuk bisa mendapatkan klien baru, mereka harus bisa terlihat ‘cukup pintar’ yaitu dengan cara, mereka arus bisa ‘mengalahkan’ benchmark secara konsisten.  

Mereka ini juga harus akuntabel, harus bisa dipercaya. Artinya: mereka tidak mungkin membeli saham-saham mahal atau membeli saham-saham yang memiliki PER yang tinggi, karena itu bakal terlihat seperti ‘melanggar prinsip kehati-hatian’.  

Strategi yang umumnya adalah strategi Indexing, di mana mereka membuat portfolio mereka semirip mungkin dengan indeks, sehingga mereka bisa dengan mudah mengalahkan atau outperform daripada Indeks.  

Masalahnya: Dengan maraknya saham tergoreng (7 dari 20 saham big caps), maka risiko saham-saham tergoreng masuk ke dalam sebuah indeks menjadi sangat besar. Usaha dari BREN untuk masuk indeks FTSE, LQ45, dan terakhir MSCI (yang untungnya gagal), menunjukkan risiko bahwa cepat atau lambat, fund manager bakal ‘terpaksa’ untuk membeli saham-saham dengan PER tinggi.  

Langkah terbaiknya memang seperti apa yang dilakukan oleh Schroder pada tahun 2024 kemarin: menyatakan untuk keluar dari Pasar Modal Indonesia. Tapi, masa semua terus keluar? Kan tidak bisa! Tapi setidaknya, fund manager kesulitan mengalahkan benchmark, namun berarti mereka sulit kelihatan pintar yang berimbas kesulitan untuk mencari atau menambah dana kelolaan baru. Ini membuat tidak adanya posisi beli dari fund manager.  

Tidak ada posisi beli dari fund manager = tidak ada posisi beli di pasar modal kita. Tidak ada posisi beli = harga sulit untuk bergerak naik.

BPJS Naker Mengurangi Aktivitas atau Tidak Aktif di Bursa Saham

Ini sebenarnya kejadian agak lama.  Kejadian Tahun 2021. Ketika itu, BPJS Ketenagakerjaan (Naker) diselidiki oleh kasus korupsi terkait dengan unrealized loss yang terjadi pada investasi yang dilakukannya.  

BPJS Ketenagakerjaan (dulu biasa disebut sebagai Jamsostek) ini adalah pemain terbesar, terutama pada saham-saham blue chip, saham-saham BUMN. Saham-saham ini adalah saham-saham yang disebut sebagai Big Caps Tradisional. 

Dulu, ketika masih beroperasi, Jamsostek diperkirakan bisa melakukan posisi beli hingga Rp500-600 miliar per hari. Angka ini bisa meningkat hingga Rp900 miliar-Rp1,5 triliun per hari ketika market sedang dalam kondisi buruk atau harga saham jatuh.  

Pasar modal tidak ada pembeli karena Jamsotek mengurangi aktivitasnya. Revisi atas UU BUMN yang menyatakan bahwa Kerugian BUMN BUKAN merupakan Kerugian Negara kemarin, sepertinya memberikan harapan bahwa Jamsostek bisa saja menjadi pembeli dalam waktu dekat ini.  

Tapi, yang saya takutkan adalah: kalau Jamsostek masuk ke pasar modal dengan membeli saham-saham tergoreng. Itu yang amsyong adalah seluruh rakyat Indonesia.

Kekayaan Kelas Menengah yang Tergerogoti

Berita-berita mengenai kondisi ekonomi kelas menengah yang memburuk, sehingga mereka harus menguras tabungan yang mereka miliki, pernah memenuhi lini masa pada beberapa waktu yang lalu. Kelas menengah ini boleh dikatakan adalah konsumen (orang yang memiliki posisi beli) terbesar dari pasar modal kita.  

Mereka melakukan posisi beli, baik secara langsung (melalu transaksi di Bursa Efek Indonesia) maupun tidak langsung (melalui Reksadana/Fund Manager). Selama kondisi ekonomi belum membaik, selama kelas menengah masih belum sembuh, tidak ada posisi beli dari golongan ini.  

Presiden Prabowo Menilai Saham adalah Judi

Kita, mau tidak mau, tetap harus mengakui bahwa Presiden Prabowo Subainto itu memiliki kekuatan yang besar pada seluruh elemen masyarakat, terutama pada rakyat kecil yang mayoritas saat ini.

Pernyataan Presiden yang menyebutkan bahwa saham adalah judi, memang membuat orang sedikit malas untuk melirik saham-saham yang ada di pasar modal.  

Agak susah memang untuk mengubah sudut pandang ini. Tapi setidaknya kita semua memang cukup paham bahwa kalau kita melakukan transaksi pasar modal dengan minim ilmu atau bahkan tanpa ilmu sama sekali, pasar modal memang berasa judi. Itu yang harus kita hindari. 

KSSK Tidak ‘100 Persen Problem Free’
Biasanya, kalau kondisi market sedang buruk, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bisa muncul ke publik, mengadakan konferensi pers, untuk menenangkan masyarakat. Problemnya: setelah Gubernur BI terkena kasus korupsi, sepertinya komite ini sedikit alergi dengan media.

Penjagaan BI atas nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar saja, sepertinya hanya dilakukan BI dengan setengah hati. Rupiah terus melemah ketika cadangan devisa BI sedang berada di rekor tertinggi, ini kan aneh.

Mungkin, kalau media bisa berjanji untuk ‘sedikit lunak’ kepada pihak di KSSK yang bermasalah, bisa saja KSSK muncul untuk menenangkan pasar, sehingga aksi beli dari masyarakat bisa muncul.

Harga saham itu hanya bisa bergerak naik, kalau ada pihak pembeli yang masuk ke dalam pasar. Pihak pembeli untuk saat ini, memang sedang tidak berada di pasar sehingga harga sulit untuk bergerak naik.  Kalau anda bertanya; pembeli mana yang kira-kira memiliki peluang yang paling tinggi untuk bisa masuk ke pasar? 

Jawaban saya adalah; kalau Jamsostek masuk ke pasar, kalau BPJS Naker kembali melakukan posisi beli, sepertinya bearish market ini bisa selesai.  

Tapi, sepertinya untuk bisa masuk ke pasar modal, BPJS Naker perlu kibaran bendera start sekurangnya dari Menteri BUMN Eric Thohir, agar mereka bisa percaya diri dan leluasa untuk melakukan posisi beli (Asal jangan terus beli saham tergoreng saja, malah KPK yang nanti semakin ribut di pasar modal).

Pada Selasa (11/2/2025) sore lalu, lini masa sudah dipenuhi dengan ajakan dari Direktur Utama BEI Iman Rachman untuk melakukan posisi beli. Akan tetapi, tanpa posisi beli yang dilakukan oleh pemain-pemain besar, sepertinya IHSG juga masih sulit untuk bisa bangkit, kembali naik dari bearish trend yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

Kalau anda mencari obat untuk Bearish Market ini, yang bisa membuat harga saham-saham blue chip melonjak tinggi, mari kita tunggu, kapan Jamsostek akan bereaksi kembali. Kalau Jamsotek balik, bear market kelar. Happy Trading, semoga barokah.

***

*) Oleh : Satrio Utomo, Komunitas Trader Saham Rencana Trading.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES