Kopi TIMES

Wacana Revisi RUU KUHAP: Perdebatan Baru dalam Sistem Peradilan Pidana

Sabtu, 15 Februari 2025 - 13:10 | 65.13k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Wacana revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) kembali mencuat ke permukaan pada 10 Februari 2025. Pembahasan ini muncul sebagai respons atas berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru mulai 2 Januari 2026.

Sebagai hukum acara pidana yang mengatur proses peradilan dari penyelidikan hingga eksekusi putusan, KUHAP perlu diperbarui agar selaras dengan sistem hukum pidana yang baru. Selain itu, dorongan revisi ini juga didasarkan pada kebutuhan untuk mengadaptasi prinsip-prinsip keadilan modern, termasuk keadilan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif.

Advertisement

Namun, rencana revisi ini tidak lepas dari perdebatan. Beberapa pihak mendukung revisi KUHAP dengan alasan bahwa aturan yang ada saat ini sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman. Di sisi lain, ada pula yang menentang dengan kekhawatiran bahwa revisi ini justru dapat melemahkan sistem peradilan pidana dan memberikan celah bagi penyalahgunaan wewenang.

Pihak yang mendukung revisi antara lain Komisi III DPR RI yang berpendapat bahwa revisi KUHAP adalah kebutuhan mendesak agar sistem peradilan pidana lebih modern dan berorientasi pada keadilan. Mereka menekankan bahwa KUHAP yang berlaku sejak 1981 perlu diperbaharui untuk mengakomodasi prinsip-prinsip baru yang diusung dalam KUHP terbaru.

Mahkamah Agung (MA) juga mendukung revisi ini dengan usulan perlunya aturan yang lebih jelas mengenai penyitaan dan perampasan barang bukti yang bukan milik tersangka atau terdakwa. Usulan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak ketiga yang kerap dirugikan oleh prosedur hukum yang tidak jelas. Selain itu, akademisi dan pakar hukum banyak yang mendukung revisi KUHAP karena dapat memperkuat prinsip due process of law. Revisi ini diharapkan dapat meningkatkan transparansi dalam proses hukum, salah satunya melalui peran Hakim Komisaris yang dapat mengawasi proses penyidikan dan penahanan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di sisi lain, organisasi masyarakat sipil dan aktivis HAM khawatir bahwa revisi ini dapat memberikan ruang bagi kriminalisasi yang lebih luas, terutama terhadap kelompok yang rentan. Salah satu isu yang menjadi perhatian adalah kemungkinan meningkatnya penyalahgunaan kewenangan oleh aparat penegak hukum. Beberapa praktisi hukum, termasuk pengacara pidana, menilai bahwa perubahan dalam RUU KUHAP bisa membuka celah bagi intervensi yang lebih besar dari pihak eksekutif dalam proses peradilan.

Kekhawatiran lainnya adalah beban administratif yang lebih besar akibat aturan baru yang berpotensi memperlambat proses hukum. Dari kalangan dunia usaha, beberapa pihak menilai bahwa revisi KUHAP yang tidak disusun dengan baik dapat berdampak pada kepastian hukum dalam dunia bisnis. Mereka menginginkan agar prosedur hukum tetap sederhana dan tidak berbelit-belit agar tidak menghambat kegiatan ekonomi.

Dari sudut pandang akademisi, revisi RUU KUHAP harus dipandang sebagai upaya pembaruan yang bertujuan untuk meningkatkan keadilan dan efektivitas sistem peradilan pidana. Namun, revisi ini harus dilakukan dengan pendekatan berbasis penelitian yang matang dan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk implikasi hukum, sosial, dan ekonomi. Pertama, revisi KUHAP harus tetap menjaga keseimbangan antara kepentingan negara dalam menegakkan hukum dan perlindungan hak-hak individu.

Prinsip due process of law harus menjadi landasan utama dalam setiap perubahan aturan, sehingga tidak ada ruang bagi kriminalisasi sewenang-wenang atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum. Kedua, perlu ada kajian komprehensif mengenai peran Hakim Komisaris yang diusulkan dalam revisi KUHAP. Jika diterapkan dengan tepat, Hakim Komisaris dapat berfungsi sebagai pengawas independen terhadap tindakan penyidik dan penuntut umum, sehingga dapat mencegah penyalahgunaan proses hukum. Namun, perlu kejelasan mengenai mekanisme kerja dan kewenangan Hakim Komisaris agar tidak tumpang tindih dengan lembaga peradilan lainnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Penggunaan teknologi dalam sistem peradilan pidana harus menjadi bagian integral dalam revisi KUHAP. Dengan perkembangan teknologi, proses penyidikan dan peradilan dapat lebih efisien, misalnya melalui pemanfaatan rekaman elektronik sebagai alat bukti sah atau penggunaan sidang daring untuk mempercepat jalannya peradilan.

Selain itu, aspek keadilan restoratif harus mendapatkan perhatian lebih dalam revisi KUHAP. Prinsip ini memungkinkan penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat untuk mencapai penyelesaian yang lebih adil dan manusiawi.

Hal ini penting terutama untuk kasus-kasus yang tidak bersifat berat, seperti kejahatan ringan dan tindak pidana anak. Akademisi juga menekankan pentingnya partisipasi publik dalam penyusunan RUU KUHAP. Undang-undang yang baik adalah yang lahir dari diskusi terbuka dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat sipil, akademisi, praktisi hukum, serta perwakilan dari lembaga negara yang terkait dengan sistem peradilan.

Dengan demikian, revisi KUHAP seharusnya tidak hanya berorientasi pada perubahan teknis hukum acara, tetapi juga harus mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas. Pembaruan KUHAP harus menjamin bahwa hukum tidak hanya ditegakkan secara ketat, tetapi juga dijalankan dengan adil dan manusiawi. Oleh karena itu, pembahasan revisi ini harus dilakukan dengan cermat, mendengarkan berbagai aspirasi, serta berbasis pada kajian ilmiah yang mendalam agar hasilnya dapat memberikan manfaat bagi seluruh elemen masyarakat. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES